Nabi ﷺ bersabda,
“Jika Allah tertawa kepada seorang hamba, maka dia tidak akan diperhitungkan (tidak dihisab).”
(Musnad Abu Ya’la dan Musnad Ahmad).
Alkisah, umat Nabi Musa (as) atau bani Israil dilanda kemarau yang berkepanjangan selama 7 tahun lamanya. Tempat tinggal mereka menjadi gersang, air minum susah, tanaman dan hewan-hewan banyak yang mati. Hal ini membuat kehidupan mereka menjadi sengsara. Banyak dari mereka mengeluh tak sanggup lagi menjalani kehidupan dengan penuh kesengsaraan tanpa air.
Dengan keadaan seperti ini, maka pada suatu hari Nabi Musa (as) mengajak umatnya untuk shalat istisqa, berharap agar Allah Ta’ala menurunkan hujan kepada mereka. Shalat istisqa pun dilaksanakan oleh Nabi Musa (as) dan ummatnya. Beliau mengajak umatnya yang berjumlah 70.000 ribu melakukan sholat ditengah padang pasir yang luas.
Setelah melaksanakan shalat istisqa, Allah Ta’ala kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi Musa, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Musa! Bagaimana Aku akan mengabulkan doa mereka (ummat nabi Musa)? Sedangkan doa-doa mereka tertutupi hijab karena dosa-dosa mereka. Hati mereka amatlah buruk. Mereka merengek tanpa dibalut keyakinan bahwa Aku akan mengijabah doa mereka. Mereka tak yakin bahwa Aku-lah Sang Pengijabah doa. Dan mereka merasa aman dari murka-Ku. Pergilah, wahai Musa! Pergi temui salah satu hamba-Ku yang bernama Barkh. Pintalah ia agar meminta-Ku untuk menurunkan hujan sampai Aku menurunkannya.”
Ketika Nabi Musa (as) bertanya tentang sosok Barkh al-Aswad, Beliau tidak diberi tahu secara langsung. Beliau bertanya-tanya kesana-kemaripun tak kunjung menemukannya. Sampai pada suatu hari, ketika Nabi Musa (as) berada di sebuah jalan di suatu kota dan setelah pencarian yang cukup lama, Beliau melihat seseorang berkulit hitam, berparas sederhana dan tampak di dahinya bercampur debu. Dengan petunjuk cahaya Allah Ta’ala yang diberikan kepada Nabi Musa (as), Nabi Musa (as) pun akhirnya mengetahui bahwa sosok yang Beliau cari selama ini ada di hadapannya.
Dengan segera Beliau menghampiri dan memberi salam ke sosok yang bernama Barkh tersebut.
“Siapa nama kamu?” tanya Nabi Musa (as) setelah mengucapkan salam kepadanya.
“Nama saya Barkh,” jawab orang tersebut. Lantas Nabi Musa (as) berkata, “Ternyata benar! Kamu adalah orang yang saya cari selama ini. Aku diperintah Allah untuk menemuimu. Aku diperintah agar aku memintamu untuk berdoa kepada-Nya agar Allah menurunkan hujan kepada kami di kemarau panjang ini.”
Tanpa berfikir panjang, Barkh pun menengadahkan tangan dan berdoa dengan seraya berkata, “Wahai Allah Tuhanku, apakah kemarau panjang ini adalah perbuatanmu? Apakah kemarau panjang ini karena ketidaksabaran-Mu? Apa yang membuat sumber-sumber air-Mu habis? Ataukah angin sudah tidak lagi taat kepada-Mu? Ataukah Engkau kebabisan sesuatu? Ataukah Engkau sangat murka kepada para pendosa? Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berbuat salah? Engkau menciptakan rahmat (kasih sayang) dan Engkau memerintahkan untuk menyayangi? Ataukah Engkau menunjukkan kepada kami bahwa Engkau tercegah dan tertolak? Ataukah Engkau takut kehilangan sesuatu sehingga Engkau mempercepat siksaan?”.
Saat Barkh terus berkata-kata dengan nada yang sedikit menekan dan belum berhenti dari munajatnya, hujan deras pun turun membasahi Nabi Musa (as) dan bani Israil. Dalam waktu setengah hari, Allah kembali menumbuhkan rumput-rumput dan pepohonan.
Setelah bermunajat, Barkh pulang ke rumahnya, sedangkan Nabi Musa (as) mendatanginya. Barkh pun berkata, “Bagaimana menurutmu ejekan dan cemoohku saat aku bermunajat kepada-Nya, sedang Dia membenarkan dan mengabulkan munajatku dengan menurunkan hujan?”
Nabi Musa (as) marah besar, amarah itu membuat Nabi Musa (as) hendak memukul Barkh. Saat akan memukul Barkh, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Musa! Jangan kau lakukan perbuatan itu. Sesungguhnya Barkh membuat-Ku tertawa tiga kali dalam sehari.”
Itulah Barkh, manusia yang membuat Tuhan tiga kali tertawa dalam sehari atas perbuatan yang diridhai-Nya.
Wallahu a’lam.
———
Kisah Barkh membuat Tuhan tertawa ini tertuang dalam beberapa literatur klasik di antaranya: kitab Ittihafus Sadatil Muttaqin Bisyarhi Ihyai Uluumiddin (Muhammad ibn Muhammad al-Hasaniy az-Zabidiy:1205 H), Kitab Minanul Kubra (Imam Abdul Wahab As-Sya’raniy: 973 H), dan kitab Musakkinul Fuad (Syeikh Zainuddin Ibn Ali ibn Ahmad al-Jab’i al-Aamiliy: 965 H).