Adab (Etika) Dalam Shalat

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
4 min read

Se­orang hamba yang memiliki adab dalam shalatnya sebelum masuk waktu shalat maka ia seakan-akan sedang shalat, ketika mau melakukan shalat, berangkat dari suatu kondisi ruhani yang tidak bisa ditinggalkan ketika ia sedang shalat.”

Sebab di antara etika sebelum shalat ialah selalu muraqabah dan menjaga hati dari berbagai bentuk bisikan, bersitan pikiran dari luar, lalu menepiskan ingatan segala sesuatu selain Allah SWT. Maka ketika ia hendak melakukan shalat dengan hati yang khusyu’ dan hadirnya jiwa, maka seakan-akan ia berangkat dari suatu shalat untuk melakukan shalat yang lain.

Dengan demikian ia tetap dengan niat dan perjanjian yang telah ia lakukan ketika awal memasuki shalat. Ketika ia keluar dari shalat, ia kembali pada kondisi ruhani semula yakni dengan hati yang khusyu’, hadir, menjaga bersitan pikiran dari luar dan muraqabah, sehingga seakan-akan ia tetap dalam shalat sekalipun ia sudah keluar dari shalat. Inilah adab (etika) dalam shalat.

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda:
“Seorang hamba dianggap berada dalam shalat sepanjang ia menunggu shalat (yang lain).“ (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah ra dan Anas ra).

Inilah adab yang dibutuhkan oleh seseorang yang menunggu dan hendak menjalankan shalat serta yang sedang shalat. Saya pernah melihat orang ketika menjalankan shalat, wajahnya terlihat merah dan pucat ketika ia sedang bertakbir yang pertama, karena ia sangat takut akan Keagungan Allah SWT.

Saya juga melihat orang yang tak mampu menghitung raka’at shalatnya. Sehingga ia meminta kepada salah seorang temannya yang duduk di sampingnya untuk menghitungkan berapa raka’at ia shalat. Sebab ia berusaha menjaga hatinya agar tetap berada dalam perjanjian yang ia lakukan di awal kali memasuki shalat. Ia khawatir terjadi kesalahan dalam dirinya sebab ia tidak tahu lagi berapa raka’at ia melakukan shalat. Oleh karenanya ia minta ban­tuan orang lain untuk menghitungkan rakaat-rakaat yang telah ia lakukan, sehingga ia yakin.

Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abdullah setiap kali usai shalat merasa lemah lunglai, sehingga hampir tidak mampu berdiri dari tempatnya. Namun tatkala waktu shalat yang lain tiba, kekuat­annya pulih kembali. Kemudian ia berdiri di mihrab laksana pasak. Begitu selesai shalat ia kembali lemah seperti sediakala dan tak mampu berdiri dari tempat duduknya.

Saya juga melihat seseorang yang bepergian jauh melalui gurun pasir sendirian, sementara ia tidak pernah meninggalkan wirid­-wirid sunnahnya, shalat malam, keutamaan-keutamaan dan adab­-adab lain yang ia lakukan pada saat ia tidak dalam bepergian. Ia berkata, “Kondisi-kondisi ruhani kaum Sufi ini se­yogyanya sama antara sedang dalam perjalanan dengan ketika sedang berada di rumah.”

Salah seorang saudara saya menemani dalam satu tempat, adat kebiasaannya, ketika habis makan ia langsung berdiri dan shalat dua raka’at, sehabis minum ia juga berdiri dan shalat dua raka’at, sehabis memakai pakaian ia shalat dua raka’at, ketika masuk dan keluar masjid ia shalat dua raka’at. Demikian juga tatkala ia marah atau senang ia shalat dua raka’at.

Sekelompok sahabat-sahabat kami kaum Sufi pernah beper­gian bersama Abu Abdillah Ahmad bin Jabban ra, mereka bercerita kepada saya tentang kebiasaan Abu Abdillah, “Setiap kali perjalanan di gurun pasir telah mencapai satu mill, ia tidak akan duduk sebelum shalat dua raka’at terlebih dahulu, kemudian menyusul teman-temannya.”

Di antara adab mereka adalah tidak suka menjadi imam, tidak senang shalat di barisan (shaf pertama, baik di Mekkah atau di luar Mekkah). Mereka juga sangat tidak suka memperlama shalat. Adapun ketidaksukaan mereka menjadi imam, meskipun mung­kin mereka hafal Al-Qur’an dan lebih memilih menjadi ma’mum di belakang orang yang bisa membaca al-Fatihah dan surat-surat lain dengan baik adalah karena sabda Rasulullah Saw: “Imam itu menanggung (ma’mumnya), sedangkan mu’adzin adalah orang yang dipercaya.“ (HR. Ibnu Hibban dari Aisyah ra, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah dari Abu Hurairah, dan Ahmad dari Abu Umamah).

Sedangkan ketidaksukaan mereka berada di shaf awal adalah untuk menghindari berebut dengan orang-orang yang pada umumnya berdesakan. Karena pada umumnya orang-orang selalu berebut untuk bisa shalat di shaf terdepan. Meskipun dalam sebuah hadist disebutkan bahwa di shaf awal memiliki ke­utamaan, namun mereka lebih mengutamakan orang lain. Namun jika shaf awal itu kosong mereka juga akan menggunakan kesem­patan utama itu dengan sebaiknya.

Sedangkan keengganan mereka untuk memperlama shalat, maka gangguan alpa dan was-was juga akan semakin banyak. Sementara itu sibuk dengan keabsahan amal itu lebih baik dibanding dengan amalan-amalan banyak dan lama.

Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang paling ringan shalatnya dengan penuh kesempurnaan.” (HR. Malik, Bukhari-Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Saya mendengar Ibnu `Alwan -rahimahuliah- berkata, “Junaid al-Baghdadi -rahimahullah- sekalipun sudah sangat lanjut usia dan lemah tenaganya, ia tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya. Kemudian ia ditanya tentang hal itu. Maka ia menjawab, “Ini adalah kondisi ruhani, dimana dengan kondisi ruhani ini saya bisa ‘sampai’ kepada Allah SWT, di awal hidupku. Lalu bagaimana saya bisa meninggalkannya di ujung hidupku?”

Di antara adab mereka dalam shalat adalah, bahwa shalat itu memiliki empat cabang:

  • Hadirnya hati di mihrab,
  • Kesaksian akal di sisi Sang Maha Pemberi,
  • Kekhusyu’an hati tanpa ada keraguan dan
  • Tunduknya anggota badan tanpa terpaksa.

Sebab dengan hadirnya hati akan menyingkap hijab, sedangkan dalam kesaksian akal akan menghilangkan cercaan dan teguran dari Allah, dalam kekhusyu’an hati akan membuka pintu-pintu Tuhan dan dengan menundukkan anggota badan akan ada pahala.

Maka barangsiapa shalat namun hatinya tidak pernah hadir, ia adalah orang yang shalat dengan alpa. Barangsiapa shalat de­ngan tanpa kesaksian akal, maka ia adalah orang yang shalat dengan lupa. Dan barangsiapa shalat dengan tanpa kekhusyu’an hati maka ia adalah orang yang shalat dengan kesalahan. Barangsiapa shalat tanpa menundukkan anggota badan maka ia shalat dengan anggota yang merenggang dan jauh dari Tuhannya.

Sedangkan orang yang sanggup melakukan semuanya dengan sempurna maka ia adalah orang yang shalat dengan memenuhi syarat shalat. Inilah sebagian yang bisa saya hadirkan saat ini dari adab-adab mereka dalam shalat. Semoga Allah memberi taufik kepada kita. * Syaikh Abu Nashr as-Sarraj

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Dua Penjaga Manusia

Mustahil Bersyukur

Surah Yasin: Pengalaman Mistis Imam Ibn ‘Arabi

Seorang Murid dan Sayyidina Khidhir

Tingkatan Wali Allah

Abu Dzarr al-Ghiffari: Pelopor Gerakan Hidup Sederhana

Memasuki Singgasana Tauhid Harus Meninggalkan Asbab

Surga

Rasa Percaya Memang Tidak Bisa Dipaksakan

Dimensi Kemanusiaan Sufisme dan Thariqah

Adab Menziarahi Ulama

Aneka Kunci di Kehidupan Dunia dan Akhirat

20 Sifat Mustahil bagi Allah

Sulthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Jadilah Engkau Bumi, Agar Padamu Tumbuh Mawar

Beradab Agar Berilmu

Sejarah Tarekat Qadiriyah

Khauf – Takut Kepada Allah

Adab (Etika) Dalam Shalat