Makna Musyahadah dan Mukasyafah dalam Ilmu Tasawuf

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
5 min read

Antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua maqam keadaan yg tidak dapat dipisahkan atau dalam artian saling berkaitan. Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH (penyaksian) jika tak terjadi MUKASYAFAH (tersingkap tabir).

Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH (tersingkap tabir) jika tidak adanya MUSYAHADAH (penyaksian).

MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/fakasyafna (terbuka tirai), yaitu tersingkapnya tirai/penghalang yg telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yg disebutkan dalam Al-Qur’an:

فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ

“Maka Kami singkapkan tutup (yg menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (QS. Qaf: 22)

Menurut istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yg menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian² menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah (pengenalan kepada Allah).

Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fit Tauhid. Dengan demikian, fana‘ dalam pemahaman Imam Al-Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yg tinggal dalam kesadaran hanya yg Esa.

Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam (alam ghaib), yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan (alam ruhani).

Adapun pintu yg lain terbuka ke arah panca indra yg berkaitan dengan alam dunia (fisik) yg merupakan cerminan (pantulan) apa yg ada di alam kemalaikatan (Lauhul Mahfudz).

Pintu yg terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal keajaiban mimpi yg benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati di tengah tidur akan hal² yg akan terjadi di kemudian hari atau kejadian² ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi.

Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya.

Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan.

Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening.

Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari.

Kasyf Aqli

Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya (pendakiannya).

Kasyf Bashari

Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan Allah.
Dan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini.

Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan Keagungan.
Melalui makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan.

Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan.

Musyahadah

MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”

Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Juga Allah berfirman:

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’am: 79)

Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu:

“Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.”

Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan Allah.
Sebenarnya dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah.

Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yg bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.

Dalam hal ini Syaikh Ibnu Atha’illah menyatakan:

Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu.

Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu.

Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu.

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya.

Kesadaran MUSYAHADAH (menyaksikan) dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah (kondisi ruhani) masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya.

Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu:
“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.”

Kontemplasi (pengosongan diri) tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil.

Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.”

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.”

Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain.

MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya.

MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.”

MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia bathin) dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.”

MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”

MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya.

Demikianlah keterangan tentang keadaan maqam MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH, semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua. Wallaahu a’lam

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Syaikh Ma’ruf al-Karkhi: Peletak Dasar Ajaran Cinta

Bahagia Mengamalkan Ajaran Islam; Catatan YM. Abu Tentang YM. Ayahanda Guru

Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Jaminan Malaikat kepada Mereka yang Gemar Bersholawat

Gejolak Hati Melebihi Air yang Mendidih

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi

Simbolisme Huruf dan Angka

Pentingnya Adab dalam Beribadah

Wali Abdal dalam Kajian Tasawuf

Kisah Teladan Abah Habib Luthfi Bin Yahya

Filsafat Seruling dalam 3 Pertanyaan Retorik

Sejarah Tarekat Shiddiqiyyah

Merdeka dari Teori dalam Suluk

Sejarah Tarekat Rifa’iyah

Adab (Etika) Dalam Shalat

Ritual dan Ajaran Tarekat Khalwatiyah

Syari’ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah

Nabi Musa as. di Hari Kiamat

Makna Musyahadah dan Mukasyafah dalam Ilmu Tasawuf