Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshori, al-Mursi ra. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa’ad bin Ubadah ra, pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol. Al-Mursi melewatkan masa kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghafal Al Qur’an dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Secepat kilat terlihat kehebatan dan kecerdasannya.
Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita: “Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru tadi mengatakan: “Seorang Sufi tidak pantas menghitamkan yang putih.” Seketika aku menjawab: “permasalahannya bukan seperti yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang Sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa.”
Al-Mursi kecil juga mengatakan: “Ketika aku masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal) lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: “Wahai orang yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal, kalau dia merasa.
Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.
Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meninggal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalanannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahnya.
Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili sebagai berikut: “Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab: “Aku mau beristikharah dulu!” Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. Sejurus kemudian lelaki itu berkata: “Aku telah menemukan penggantiku sekarang”! Di saat itulah aku terbangun.
Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syaikh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syaikh Abu Hasan berkata padaku: “Telah aku temukan penggantiku sekarang.” Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang: “Siapa namamu?” Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar: “Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!”.
Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (zawiyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama’, pedagang juga orang awam.
Syaikh as-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab: “Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abu ‘Abbas al-Mursi)”. Setelah itu Syaikh as-Syadzili kembali lagi ke Iskandariyah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad Saw dalam mimpinya.
Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariyah ini: “Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariyah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: “Hai Ahmad…!”, aku menjawab: “Iya Tuanku”, Beliau berkata: “Allah telah menciptakan Adam as dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi. Demi Allah… Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga. Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta’rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta’rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)”.
Begitulah Syaikh As-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Syaikh Abu Hasan itu sendiri. Sebagaimana Syaikh as-Syadzili sendiri pernah mengatakan: “Wahai Abu Abbas… demi Allah, aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah aku, dan aku adalah kamu. Wahai Abu Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya.”
Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Suatu ketika Syaikh as-Syadzili ada di rumah Zaki as-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: “Kemana Abu Abbas?” Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: “Wahai anakku… bicaralah! Semoga Allah memberkahimu… bicaralah! jangan diam”, maka Syaikh Abu Abbas mengatakan: “Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu.”
Pada banyak kesempatan Syaikh as-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: “Inilah Abu Abbas, semenjak dia sampai pada makrifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan.
Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh as-Syadzili bekata: “Wahai Zaki… berpeganglah pada Abu Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu Abbas ini. Hai Zaki… Abu Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna.”
Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh as-Syadzili mengatakan: “Wahai Nadli… tetaplah bersopan santun pada Abu Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariyah!” Syaikh as-Syadzili juga mengatakan: “Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah.”
Imam Sya’rani menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: “Berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara'”. Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata: “Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dan tangan Tuhan.” Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Syaikh Abu Abbas mengatakan : “Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama’ fiqih bidang spesialisasi mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialisasi kami.”
Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqih dan tasawuf. Syaikh Ibnu Atha’illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani: “Syaikh Abu Abbas berkata padaku: “Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?” Tersirat dalam hatiku bahwa Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: ” Kitab apa ini?”, Aku jawab: “Ini kitab kamusnya.” Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: “Tanyakan padaku apa saja, terserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya.” Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: ” Wahai Abdullah… ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu.”
Dalam penafsiran ayat “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan.” (QS. 1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, “Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syari’ah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Jam’.
Kedekatannya dengan Allah menyebabkan ia banyak mempunyai karomah, di antaranya:
- Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A’sidah (sejenis makanan). Iskandariyah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya: “Bukankah A’sidah itu untuk musim dingin?”. Dengan tenang al-Mursi menjawab: “A’sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini.”
- Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: “Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah, otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar.”
- Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariyah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: ” Selama aku ada di tengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk.” Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariyah sampai Syaikh Abu Abbas al-Mursi meninggal dunia.