Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan tujuan sangat mulia yaitu untuk mengabdi pada-Nya, senantiasa berserta dengan Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Sempurna. Akan tetapi seiring berjalan waktu, ditambah oleh faktor luar diri dan dalam diri maka manusia berubah, melenceng dari tujuan penciptaaan tersebut.
Allah menurunkan Nabi dan Rasul tidak hanya satu orang, tapi sangat banyak disepanjang sejarah peradaban manusia sampai kepada Nabi Terakhir yaitu Rasulullah Muhammad Saw. dengan satu tujuan untuk membawa manusia kembali kepada tujuan penciptaan itu yaitu untuk mengabdi kepada-Nya, untuk senantiasa beserta dengan-Nya agar manusia senantiasa bahagia yg di dalam kitab suci disebut dengan surga.
Manusia terdiri dari unsur zahir dan unsur bathin, dimana unsur yg tidak nampak (bathin) itu apabila disusupi oleh setan maka segala geraknya menjadi gerak setan dan tentu saja akan senantiasa ingkar kepada tujuan hakiki dia diciptakan oleh Allah Ta’ala.
Manusia di zaman modern ini dengan segala fasilitas dan kelimpahan justru hilang rasa syukur dan rasa bahagia di dalam hati karena dari dalam dirinya akan terus ada dorongan untuk mencapai sesuatu yg dianggap ada namun sebenarnya semu. Manusia yg tidak akan puas dengan kemewahan duniawi bisa dipastikan dia sedang mengalami luka bathin atau penyakit bathin yg tidak disadarinya.
Orang yg pernah mengalami penghinaan waktu kecil akan terus mencari pujian sampai dia meninggal dunia. Membeli kendaraan mewah, memiliki barang mewah dan lain² sebenarnya upaya dia untuk mendapatkan pengakuan, hal yg tidak pernah ada di hatinya. Ketika pujian dan sanjungan atas barang yg dimilikinya itu hilang (tentu orang tidak mungkin selamanya memuji barang yg sama) maka dia akan mengganti barang tersebut dengan yg lebih bagus lagi dan terus seperti itu.
Bisa juga orang mengejar kemewahan dunia karena di dalam dirinya ada unsur ketakutan yg tidak disadari. Takut tidak diakui, takut kehilangan orang yg dicintai dan takut tidak mendapat tempat di dalam pergaulan dunia.
Maka dia “membayarnya” dengan memiliki kemewahan agar ketakutan itu hilang. Ketika orang lain tidak lagi melirik atau tertarik dengan apa yg dia miliki, maka secara mati-matian dia akan membeli barang lain agar perhatian dan pengakuan itu tetap ada, sehingga ketakutan di dalam dirinya itu hilang.
Sayangnya, karena faktor penyebab utama itu jauh di dalam diri bahkan tersimpan di alam bawah sadar (subconscious) maka sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa puas dengan apa yg dia miliki, karena jiwa tidak akan pernah bisa digantikan dengan benda. Fenomena orang yg mengejar dunia tanpa henti dan tanpa puas itu dikenal dengan istilah Hedonic Threadmill.
Bersumber dari Positive Psychology, istilah hedonic pertama kali ditemukan oleh Brickman dan Campbell (1971) dalam bukunya yg berjudul Hedonic Relativism and Planning the Good Society.
Kemudian tahun 1991 Michael Eysenck menambah kata treadmill, maka dialah yg pertama kali mempopulerkan istilah Hedonic Treadmill. Konsep ini untuk mendefinisikan korelasi antara uang dan kebahagiaan. Menurut pendapat Eysenck, peningkatan pendapatan yg diperoleh dalam bentuk gaji atau penghasilan dari berbisnis belum tentu berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan hidup.
Bisa diartikan bahwa hedonic treadmill adalah sebuah tendensi level emosi kebahagiaan seseorang yg cenderung kembali ke asal, tidak berubah, tetap atau berada di tempat meskipun mencapai kesuksesan.
Pada intinya, hedonic treadmill adalah orang yg berlari dan mengejar sesuatu namun tetap berada di tempat.
Banyak sekali orang yg terjerumus dan meyakini bahwa meningkatkan standar hidup dari hari ke hari akan semakin meningkatkan rasa bahagia mereka. Pada kenyataannya, hal tersebut hanyalah kebahagiaan semu, dan membuat kita tidak kemana-mana.
Penyebab hilang rasa bahagia dan senang dari apa yg telah dimilikinya itu bukan saja karena sifat dasar manusia itu mudah bosan tapi memang dari dalam dirinya ada masalah yg di dalam bahasa tasawuf disebut penyakit hati atau penyakit bathin yg tidak akan sembuh hanya dengan ibadah² zahir saja.
Orang bisa saja dengan rajin ibadah kemudian “menekan” keinginan dari dalam diri dengan alasan agama tapi itu tidak bersifat alamiah karena penyakit itu masih ada di dalam diri yg semakin ditekan akan meledak suatu saat. Jangan heran orang yg melakukan tindakan tidak terpuji justru dari orang yg rajin ibadah, orang terpelajar dan keturunan dari orang baik², karena luka bathin mereka tidak akan sembuh.
Orang ditakuti dengan dosa hanya bisa pada level anak², ketika intelektual manusia meningkat, pengetahuan bertambah maka hal itu tidak lagi bisa menjadi obat untuk mencegah mereka tidak melakukan tindakan tercela.
Maka tasawuf lewat bimbingan Guru Mursyid yg Kamil Mukammil kemudian menyalurkan Kalimah Allah yg diwarisi dari Rasulullah Saw. ke dalam diri manusia maka segala angkara murka akan lenyap seketika.
Kemudian tentu diperlukan upaya dan kesungguhan dari murid untuk senantiasa berdzikir agar jiwanya terus bersih dan selaras dengan kehendak-Nya. Sebagaimana badan yg harus kita jaga, kita bersihkan, diberi makan agar sehat, tentu saja ruhani kita memerlukan hal yg sama. Badan kita tanggung jawab kita dan ruh kita pun tangggung jawab kita sendiri untuk kita bersihkan.
Membersihkan badan dengan air dan tentu saja membersihkan ruhani dengan Dzikrullah, Mengingat Allah. Maka kalau kita perhatikan surat al-Maidah 35,
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوٓا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجٰهِدُوا فِى سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang² yg beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yg mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 35)
Disitu ada 2 hal pokok yg harus diperhatikan agar mendapat kemenangan dunia akhirat, yaitu Menemukan WASILAH dan BERJIHAD, bersungguh-sungguh di dalam berdzikir. Bersungguh-sungguh dalam ibadah tanpa WASILAH hasilnya sia², begitu pula jika tidak bersungguh-sungguh setelah mendapat WASILAH, juga sia².
Tasawuf mempunyai satu konsep sangat hebat yg diwarisi dari Rasulullah Saw. yaitu ‘UBUDIYAH. Manusia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan Sifatul ‘Ubudiyah agar Allah Ta’ala berkenan menghampiri dengan sifat Rububiyah. Ibarat aliran listrik yg negatif berhampiran kepada aliran listrik yg positif, maka secara otomatis aliran negatif akan berganti menjadi aliran positif. Atas dasar inilah kenapa Para Nabi/Rasul mempunyai mukjizat dan Para Wali mempunyai Keramat, karena Beliau² itu telah sempurna di dalam sifat ‘Ubudiyah-nya.
Ketika Kalimah Allah telah bersemayam di dalam diri manusia maka manusia akan senantiasa selaras dengan kehendak-Nya yg didalam istilah agama disebut dengan di-Ridhai-Nya.
“Tangan Allah di atas tangan mereka..” (QS. Al-Fath [48]: 10)
Maka tingkatan paling tinggi bahkan Allah Ta’ala sudah tidak lagi melihat satu kesalahan pun pada diri hamba-Nya, pada diri kekasih-Nya. Nabi Khidir as. yg membunuh anak kecil tetap berada di dalam keridhaan-Nya (hal yg tidak berlaku untuk orang awam). Atas dasar inilah kita baru paham kenapa Nabi Muhammad Saw. itu masuk kepada level Maksum (tidak berdosa dan tidak memiliki dosa) karena memang di dalam diri Beliau ada Kalimah Allah, ada Nur al-Qur’an yg gerak zahir tidak akan mengotori jiwa dan hati Beliau. Memberi sedekah atau membunuh (berperang) tetap mendapat nilai terbaik di mata Allah Ta’ala.
“Maka (sebenarnya) bukan kamu yg membunuh mereka, melainkan Allah yg membunuh mereka, dan bukan engkau yg melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yg melempar.” (QS. al-Anfal [8]: 17)
Bukan hanya Rasulullah Saw. sendiri yg di-ridhai Allah Ta’ala, tapi juga para sahabat Beliau yg senantiasa bersama Beliau secara zahir dan bathin (Rabithah), juga orang² setelah Beliau sampai akhir zaman yg tetap berpegang pada Tali Allah, pada Wasilah sehingga tetap mendapat bimbingan zahir bathin dari Rasulullah Saw. lewat Para Khalifahnya, Para Ahli Silsilah.
Maka tujuan hakiki dari Berguru tidak lain agar kita semua menjadi orang yg dirihai-Nya, hal yg sangat mudah diucapkan dalam bahasa zahir (syariat) dan dibutuhkan perjuangan untuk benar² mendapat pengakuan secara bathin (hakikat) dari Sang Pemberi Ridha yaitu Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan memberikan semangat untuk kita semua di dalam menempuh jalan kepada-Nya. Ketika jalan yg ditempuh sudah benar, maka lanjutkanlah kaki dengan kesungguhan agar tujuan tercapai yaitu mendapat ridha-Nya, senantiasa bersama-Nya dunia dan akhirat.