Nama lengkapnya adalah Ma’ruf bin Faizan Abu Mahfudz al-Ibid bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun al-Rasyid dinasti Abbasiyah, namun para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang sufi yang dikenal dengan Al-Karkhi, sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama tempat kelahirannya Al-Karkhi.
Beliau dibesarkan di Baghdad dan di kota itu pula beliau menimba berbagai macam ilmu kepada para ulama fiqih dan memperdalam ilmu tasawuf kepada para sufi terkenal. Dari pergaulan dengan para sufi itulah membawa beliau menjadi seorang zahid. Selain belajar di Baghdad, beliau juga mengembara ke negeri lain untuk menambah wawasan keilmuannya. Pengembaraan itu membawa dirinya banyak dikenal di negeri orang dan ia pun dikunjungi banyak orang sehingga ia bukan hanya dikenal oleh penduduk bumi, namun juga dikenal oleh penghuni langit.
Menurut pakar sejarah, kedua orang tuanya memeluk agama Kristen dan menurut yang lain menganut agama Sabiah. Diriwayatkan ketika Ma’ruf al-Karkhi pada usia meningkat remaja ia sangat menentang ajaran gurunya yang mengatakan bahwa Allah merupakan salah satu oknum Tuhan. Ma’ruf al-Karkhi menentang pendapat ini, katanya Tuhan hanya satu. Karena pendapatnya yang berbeda dengan pendapat gurunya, ia dipukul oleh gurunya dan ia melarikan diri dan bersembunyi. Karena kedua orang tuanya telah kehilangan anak yang dicintainya dan mengharap kepulangan anaknya dan orang tuanya berjanji kalau anaknya mau pulang agama apa saja yang dipeluk anaknya dianut juga oleh kedua orang tuanya. Setelah sekian lama ia memeluk agama Islam di bawah bimbingan Ali bin Musa ar-Ridha, setelah ia pulang ia pun mengatakan bahwa ia telah memeluk agama Islam yang kemudian disusul oleh kedua orang tuanya.
Ma’ruf al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah ulama di Bagdad yang di antaranya adalah Daud at-Tha’i, Bakar bin Humais dan Farqad as-Sabukhi. Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sufi yang terkemuka di Baghdad. Ia membuka halaqah sufi, dan di antara murid-muridnya yang terkenal di kemudian hari adalah Sari as-Saqati. Sebagai sufi ia juga dikenal di kalangan fuqaha sebagai seorang faqih. Diriwayatkan ada dua orang faqih Baghdad yang terkemuka; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Main berdiskusi tentang sujud sahwi dan keduanya belum sepakat. Untuk lebih lanjut mereka berdua ingin menanyakan pendapat Ma’ruf al-Karkhi. Ma’ruf al-Karkhi menjawab dari sudut pandang tasawuf yang katanya: sujud sahwi merupakan hukuman kepada hati karena lalai mengingat Allah.
Menurut pada peneliti tasawuf, Ma’ruf al-Karkhi adalah tokoh yang mengembangkan konsep ajaran cinta dalam tasawuf. Menurutnya cinta harus dilanjutkan sampai ke titik thuma’ninah (ketenangan) jiwa. Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagiaan yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui ma’rifah (pengenalan) akan yang dicinta. Apabila yang dicintai telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketentraman dalam hati dan kecillah segala urusan kebendaan dalam penglihatan hati. Di antara makna tasawuf yang dikembangkan Ma’ruf al-Karkhi ialah; tasawuf adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan makhluk. Mencari hakikat tidaklah berbeda dengan mencari ma’rifat itu sendiri karena ma’rifat adalah ujung ilmu pengetahuan yang dikembangkan sufi ialah ilmu syariat, ilmu thareqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.
Ma’ruf al-Karkhi adalah seorang sufi yang dikuasai oleh perasaan cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabi’ah al-Adawiyah. Berkenaan dengan cinta kepada Allah, Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran, ia merupakan pemberian atau karunia Tuhan. Cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikaruniakan oleh Allah.
Tentang martabat ruhani yang tinggi yang dicapai oleh Ma’ruf al-Karkhi tidak disangsikan lagi. Dikisahkan bahwa suatu hari Ahmad bin Fath mimpi bertemu dengan Bisyir bin Haris yang telah wafat lebih dahulu. Ahmad bin Fath menyatakan tentang keadaan yang dialami Ma’ruf al-Karkhi, dirinya diampuni Allah. “Kulihat Ahmad bin Hanbal berdiri sedang antara mereka terdapat pembatas. Karena Ma’ruf al-Karkhi menyembah Tuhan bukan mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, karena itu ia diangkat ke tempat yang tinggi yang tidak ada pembatas antaranya dengan Tuhan.” Begitulah pengakuannya tentang martabat Ma’ruf al-Karkhi. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan sufi memiliki banyak karamah yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.
Sebagai seorang sufi yang terkenal beliau mempunyai beberapa keistimewaan dan kelebihan, antara lain sebagai berikut :
Beliau banyak dikunjungi oleh orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal. Mereka berkunjung kepada al-Karkhi karena mereka pernah bermimpi mengunjungi beliau.
Salah seorang murid beliau yang bernama Sarri as-Saqathi pernah menuturkan, “Dalam tidurku, aku pernah bermimpi melihat Ma’ruf al-Karkhi seolah berada di Arasy. Pada waktu itu, Allah SWT berfirman: “Siapakah dia?” Para Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui ya Tuhan.” Maka Allah SWT berfirman: “Orang itu adalah Ma’ruf al-Karkhi yang sedang mabuk Cinta kepada-Ku.”
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud al-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf, tasawuf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf al-Karkhi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendefinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syari’at.
Seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur At-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku”, maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekkah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku luka.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Di sepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdo’a kepada Allah sehingga anak-anak muda itu mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya”, ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi gubernur. Suatu hari sang gubernur melihat Ma’ruf sedang makan roti, bergantian dengan seekor anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang Syi’ah mendobrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa ar-Ridha, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergeletak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarri as-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir”, maka Ma’ruf pun berwasiat, “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqati meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat Ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma. “Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu, Anak-anak yang lain mendapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain. “Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Aku pun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, aku pun berubah.
Suatu hari Ma’ruf batal wudlu. Ia pun segera bertayamum. Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?” Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang berta’ziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.