Mahabbah (Mencintai Allah)

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
3 min read

Oh Allah, anugerahkanlah kami cinta-Mu,
Dan cinta kepada siapapun yang mencintai-Mu
Dan amalan yang akan membimbing kami kepada cinta-Mu
(sebuah doa Nabi Muhammad Saw)

Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.

Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah SWT, untuk menuju ke jenjang ahwal yang lebih tinggi. Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi’ah al-Adawiyah (96 H – 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja’ dari tokoh sufi Hasan al-Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja’ (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, al-hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi’ah al-Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT.

Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi’ah, apakah engkau benci kepada syetan? Dia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad Saw? Dia menjawab, “Saya cinta kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi cintaku kepada Khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi’ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al-Qusyairi, pengarang Risalah al-Qusyairiyyah yang mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya – menurut Qusyairi – dinamakan Rahmat; kemudian jika iradah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka (ghadlab). Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al-Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta di identikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah SWT. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (kaum salaf) sangat menekankan metode tafwidl dalam permasalahan yang bersifat Ilahiyah.

Syaikh Junaid al-Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada-Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi, seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat :

  1. Mahabbah orang awam, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan dzikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya.
  2. Mahabbah orang shiddiq (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang shiddiq ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah.
  3. Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.

Banyak sekali dalil naqli, Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan Khalik-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah 5: 54)

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”” (QS. Ali Imran 3: 31)

Sabda Rasulullah Saw, diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.” (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah Saw, diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, Rasulullah Saw menuturkan bahwa Jibril as memberitahukan bahwa Allah SWT telah berfirman, “Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya.” (HR. Ibnu Abidunya, Al-Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na’im)

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Disiplin Sufi

Memahami Konsep Wujud Menurut Syekh Nuruddin Ar-Raniri

Jaminan Malaikat kepada Mereka yang Gemar Bersholawat

Semua Indah pada Waktunya

Kedudukanmu di Sisi Allah Tampak pada Posisimu Difungsikan sebagai Apa

Syaikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al-Jilli

Sejarah Tarekat Syadziliyah

Khauf – Takut Kepada Allah

Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqh Tahawwulat

80 Miliseconds: Jarak Tuhan dan Manusia

Ilmu Dirasah dan Ilmu Wiratsah

Tidak Ada Tasawuf Tanpa Syariah

Pengertian Bertarekat

Kaum Tarekat: Militan atau Apolitik?

Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi

Sejarah Tarekat Shiddiqiyyah

Hati-Hati dengan Prasangkamu Karena Mata Sering Kali Menipu

Shuhbah Membangun Mahabbah

Mahabbah (Mencintai Allah)