Insan Kamil

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
2 min read

Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad Saw sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/ruh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.

Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam as. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.

Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan ruhani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan ruhani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.

Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi MuhammadSaw. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan ruhani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Pentingnya Adab dalam Beribadah

Khatir, Waham & Ilmu yang Haqq

Shalawat Fatih

Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?

20 Sifat Mustahil bagi Allah

Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Keutamaan Seorang Mursyid Thariqah

Petunjuk Bagi Murid Dalam Memilih Guru

Ketika Ulama Terdahulu Menguji Muridnya

Mengenal Qolbu, Ruh, Akal dan Nafsu

Anjuran untuk Tidak Langsung Minum Air Setelah Dzikir

Tentang Allah

Cara Wushul Tercepat

Membelah Lautan: Pentingnya Ber-Thariqah (Transkrip)

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Manaqib Syaikh Baha’uddin Naqshbandi

Sejarah Tarekat Rifa’iyah

Syaikh Abu Abbas al-Mursi: Khalifah Besar Syadziliyah

Insan Kamil