Tasawuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber Kesaktian

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
4 min read

Seperti diketahui, setiap kerajaan di Nusantara memiliki dan sangat menghargai pusaka, benda-benda yang dianggap sakti. Raja-raja juga mengumpulkan orang maupun binatang yang “aneh” di sekitar mereka untuk meningkatkan kesaktian dan keabadian kerajaan. Agaknya, bukan suatu kebetulan kalau kerajaan-kerajaan Nusantara baru mulai masuk agama Islam setelah Islam mulai diwarnai ajaran tasawuf wahdatul wujud dan tarekat-tarekat. Karya sejarah legendaris seperti Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa raja-raja sangat tertarik kepada ajaran tasawuf dan mempunyai penasehat yang ahli tasawuf. Dari tasawuf diharapkan, antara lain, kesaktian yang lebih hebat daripada kesaktian pra-Islam.

Teori tasawuf mengenai kewalian di adaptasi sehingga banyak raja dulu mengklaim diri sebagai wali dan insan kamil. Dengan demikian konsep-konsep yang diambil dari tasawuf digunakan sebagai pengganti legitimasi pra-Islam yang menyatakan raja sebagai Siva-Buddha atau bodhisattva. Di kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara), ajaran tasawuf mengenai martabat tujuh (yang merupakan penyederhanaan dari teori tajalli’nya Ibnu Arabi) telah dipakai sebagai legitimasi sistem politik kerajaan itu. Proses emanasi (tajalli) diidentikkan dengan stratifikasi masyarakat. Menurut teori sufi martabat tujuh, pada tiga tahap pertama proses tajalli Tuhan bersifat tanzih (transendental, secara mutlak berbeda dari sifat-sifat alam), sedangkan empat tahap berikut (dengan sifat tasybih, immanen) merupakan manifestasi-Nya dalam alam semesta.

Di Buton, tiga golongan bangsawan (yang dulu, agaknya, dianggap berasal dari dewata) diserupakan dengan tiga tahap tanzih itu, sedangkan empat tahap tasybih diidentikkan dengan empat lapisan masyarakat: raja, bangsawan, orang awam dan budak. Ini barangkali merupakan contoh yang paling ekstrim dari “pribumisasi” ajaran tasawuf di Indonesia. Dalam proses islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara, tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting – walaupun dalam proses itu, ajaran tasawuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibnu ‘Arabi dan Al-Jili, misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan tarekat – dzikir, wirid, ratib dan sebagainya – juga diterapkan dengan tujuan di luar tasawuf. Orang Nusantara masa dulu sangat menaruh perhatian kepada kemampuan supranatural – kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan dan segala ilmu gaib lainnya.

Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara tasawuf dan magis. Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan “tenaga dalam”, tujuan yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan debus, yang dulu juga terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat Rifa’iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dsb) yang berasal dari amalan tarekat, walaupun penerapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan tarekat masa kini. Tentu saja, tarekat tidak bisa diidentikkan dengan kegiatan magis itu sendiri.

Dalam sejarah tarekat terlihat, seperti dalam sejarah Islam pada umumnya, gelombang demi gelombang pemurnian. Syaikh-syaikh yang disebut di bagian depan artikel ini semuanya pada zamannya merupakan pemurni agama, dalam arti bahwa mereka berusaha menggantikan praktek-praktek lokal dengan ajaran dan amalan yang mereka peroleh di tanah Arab – termasuk penekanan kepada syari’ah. Tuntutan masyarakatlah yang senantiasa mendorong kepada penerapan “praktis” yang berbau magis. Ambillah, sebagai contoh, perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, yang selalu syari’ah oriented, di pulau Lombok. Pada abad lalu tarekat ini punya pengaruh besar di Lombok; penganutnya berkiblat kepada Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi di Makkah, guru yang paling ortodoks. Sekarang tarekat ini hampir tidak dikenal lagi; tetapi waktu saya melakukan pelacakan sejarahnya, akhirnya saya bertemu dengan dua orang keturunan guru Naqsyabandiyah yang pertama. Mereka sekarang tidak dikenal lagi sebagai guru agama tetapi sebagai guru kekebalan. Amalan-amalan yang mereka ajarkan kepada pemain silat perisai di sana, ternyata tetap merupakan amalan-amalan Naqsyabandiyah!

Tetapi dalam budaya Islam Timur Tengah juga terdapat berbagai tradisi “magis Islam”, yang kadangkala disebut dengan istilah hikmah dan thibb. “Ilmu” yang berasal dari budaya pra-Islam (seperti wafaq, rajah, dsb) biasanya disebut hikmah, sedangkan thibb (“pengobatan”) berdasarkan fawa’id ayat Qur’an dan sebagainya. Dua-duanya oleh kalangan luas dianggap sebagai bagian dari Islam, dan ulama-ulama besar yang ortodoks (seperti Ghazali, Suyuti, Ibn Qayyum al-Jauzi) pernah menulis kitab mengenai ilmu-ilmu ini. Ilmu-ilmu ini sering melekat pada tarekat; banyak guru tarekat sekaligus punya nama sebagai ahli thibb dan/atau hikmah. Menulis jimat dan isim sudah termasuk pekerjaan biasa untuk seorang syaikh tarekat; syaikh yang tidak bisa (atau tidak mau) memberikan muridnya jimat penyelamat dapat dikatakan fenomena langka.

Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal, hanya merupakan aspek kurang penting dalam pertarekatan (walaupun punya daya tarik kuat). Namun pada situasi tidak aman, dalam perang atau pemberontakan, aspek ini menjadi sangat menonjol. Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat yang mempelopori pemberontakan melainkan para pemberontak yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus laporan resmi menyebutkan bahwa menjelang pemberontakan, orang berjubel mendatangi syaikh-syaikh tarekat yang punya nama sebagai ahli kesaktian, untuk minta di bai’at oleh mereka.

Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun 1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan yang dinamakan “beratip be’amal” – barangkali suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong-bondong datang di bai’at dan diberikan jimat-jimat. Seperti dalam kasus perlawanan di Palembang, mereka berdzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi, dan kemudian menyerang tanpa mempedulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan menjadi jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum beratip be’amal tewas tertembak.

Dalam kasus ini tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan. Pada zaman revolusi kita juga melihat fenomena yang sama. Banyak dari pemuda-pemuda yang siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah Sukabumi, misalnya, Kyai Ahmad Sanusi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan silat “sambatan” (yaitu, murid-muridnya secara supranatural menguasai jurus-jurus yang tak pernah mereka pelajari). Banyak dari pemuda-pemuda yang aktif ikut dalam revolusi di daerah itu minta di bai’at olehnya. Kartosuwirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa barat, juga pernah belajar kekebalan dan silat ghaib pada beberapa guru tarekat, antara lain Kyai Yusuf Tauziri. Di Banten, Kyai Abdurrahim Maja, guru debus yang terkenal, memimpin sebuah lasykar Sabilillah yang konon kebal semuanya (tetapi kemudian gugur di Tangerang). Dari daerah lain kita mendengar cerita serupa.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Kunci Kebahagiaan: Mengenal Tuhan dan Hukum Al-Qur’an

Wali Abdal dalam Kajian Tasawuf

Adab (Etika) Dalam Shalat

Ngobrolin Gusti Allah

Tarekat Kita

Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam

Kopi Panas dan Jin

Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah

Kisah Sayyidina Abu Bakar (ra) & Siti Aisyah (ra) Tentang Berterima Kasih

Kemenyan, Tradisi Yang Dilupakan

Rumah Bau Melati

Memahami Konsep Wujud Menurut Syekh Nuruddin Ar-Raniri

Makna Pikiran, Pendahuluan dan Turunannya

Khirqah

Memperbanyak Dzikir

Ketika Allah Menghendaki Hamba-Nya Menjadi Wali

Malam Bersama Mawlana Rumi

Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Tasawuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber Kesaktian