Adab dalam Berdzikir

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
4 min read

Berdzikir mempunyai adab-adab tertentu, baik sebagai penghantar, sesudah, atau ketika pelaksanaannya. Ada adab yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.

Sebelum melaksanakan dzikir, sebaiknya sang salik terlebih dulu bertobat, membersihkan jiwa dengan olah ruhani (riyadhoh), melembutkan sirr (batin) dengan menjauhkan dan dengan kaitan hati dengan makhluk, memutuskan segala penghalang, memahami ilmu-ilmu agama, dan mempelajari syarat rukun dalam fardlu ‘ain, mempertegas tujuan-tujuan luhur sebagai spirit tahapan utamanya, yang bersifat syar’i. Ia juga harus memilih dzikir yang sesuai dengan kondisi batinnya. Setelah itu, barulah ia berdzikir dengan tekun dan terus menerus.

Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu; hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa terwujud dengan memakan makanan yang halal. Dzikir walau pun bisa melenyapkan bagian-bagian yang berasal dari makanan haram, tetapi manakala batinnya sudah kosong dari yang haram atau syubhat, maka dzikir tersebut akan lebih mencerahkan qalbu.

Namun, jika dalam batinnya masih terdapat sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh dzikir. Pada kondisi tersebut, fungsi dzikir sebagai penerang qalbu menjadi sifatnya lebih lemah. Ibarat air yang dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat benda yang terkena najis tadi menjadi lebih bersih.

Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci ulang sehingga ketika benda yang dicuci itu teiah bersih dari najis, ia akan bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian pula saat dzikir turun ke dalam qalbu. Kalau qalbu tersebut gelap, dzikir akan membuatnya terang. Tetapi, kalau qalbu tersebut sudah terang, dzikir akan membuatnya jauh lebih terang.

Ketika dzikir dilaksanakan hendaknya disertai niat ikhlas. Majelis tempat dzikirnya diberi aroma wewangian untuk para malaikat dan jin. Ketika duduk hendaknya bersila menghadap kibiat, bila berrdzikir sendirian. Tetapi, kalau bersama-sama, hendaknya ia berdzikir dalam lingkungan majelis. Selanjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan.

Sebagian Ulama berpandangan, jika ia berada di bawah bimbingan seorang Syaikh (Mursyid), ia membayangkan sang Syaikh sedang berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti jalan ruhani. Selain itu, hendaknya qalbu dan dzikirnya itu dikaitkan dengan orientasi sang Syaikh disertai keyakinan bahwa semua itu bersambung dan bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Sebab, Syaikh-nya itu merupakan wakil Nabi Muhammad Saw.

(Namun, sejumlah Ulama Thariqah Sufi melarang membayangkan wajah Syaikh, karena apa pun seorang Syaikh atau Mursyid kategorinya tetap makhluq. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, maka disanalah Wajah Allah.” Bukan wajah makhluk. Dikhawatirkan pula, jika di akhir hayat seseorang, yang tercetak dalam bayangannya adalah wajah makhluk, para Ulama Sufi mempertanyakan, apakah ia secara hakiki husnul khotimah atau su’ul khotimah? Pent.)

Ketika membaca La Ilaaha Illalloh dengan penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas pusar perut. Ialu, dengan membaca Laa Ilaaha hendaknya ia berniat melenyapkan segala sesuatu selain Allah SWT, dari qalbu. Dan ketika membaca Illalloh, hendaknya ia menghujamkan ke arah jantung, agar Illalloh tertanam dalam qalbu, kemudian mengalirkan ke seluruh tubuh serta menghadirkan dzikir dalam qalbunya setiap saat.

Sebagian Ulama mengatakan, “Pengulangan dzikir tidak benar, kecuali dengan refleksi makna, selain makna yang pertama.” Dan tingkatan dzikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca Laa Ilaaha Illalloh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah SWT. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berdzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah SWT, berarti ia telah menempatkan berhala bagi dirinya.
Allah SWT berfirman, “Tahukah kamu orang yang mempertuhankan hawa nafsunya.” (Q.S. al-Furqan: 43) “Janganlah kamu membuat Tuhan selain Allah.” (Q.S. al-Isra’: 22). “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah syetan.” (Q.S. Yasin : 60).

Dalam hadits, Rasulullah Saw juga bersabda, “Sungguh rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham.” Dinar dan dirham tidak disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian qalbu kepada keduanya.

La Ilaaha Illalloh, tidak benar diucapkan kecuali dengan penafian segala hal selain Allah dari diri dan qalbunya. Manakala dalam dirinya masih ada gambaran inderawi, walau seribu kali diucapkan, maka maknanya tidak membekas di qalbu. Namun, bila qalbu tersebut telah kosong dari hal-hal selain Allah SWT, meskipun hanya membaca kata Allah, satu kali saja, ia akan menemukan kelezatan yang tak bisa diungkapkan.

Syaikh Abdurrahman al-Qana’y mengatakan, “Suatu kali aku mengucapkan La Ilaaha Illalloh, dan tak pernah kembali lagi padaku.” Di kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam yang setiap kali ia membaca La Ilaaha Illalloh, tubuhnya dari kepala hingga kaki berubah warna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba mewujudkan kalimat La Ilaaha Illalloh, sebagai kondisi qalbunya, lisan tak bisa mengaksentuasikan.

Meskipun La Ilaaha Illalloh adalah muara segala orientasi, ia adalah kunci pembuka hakikat qalbu, selain akan mengangkat derajat para salik ke alam rahasia Ketuhanan.

Ada yang memilih untuk membaca dzikir di atas dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tak sempat masuk. Cara membaca dzikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi salik yang masih lemah dalam mendaki jalan spiritual akibat belum terbiasa. Selain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para ulama, ini adalah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah SWT.

Menurut sebagian ulama, memanjangkan bacaan La Ilaaha Illalloh lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan, dalam benaknya muncul semua yang kontra Allah, kemudian, semua itu ditiadakan seraya diikuti dengan membaca Illalloh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengokohkian sifat Ilahiyah, yaitu walaupun dinafikan dengan Laa Ilaaha secara nyata, sesungguhnya ia telah menetapkan dengan “Illa” keadaannya, namun “Illa” itu sendiri merupakan cahaya yang ditanamkan dalam qalbu yang kemudian mencerahkannya.

Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di saat sedang membaca la ilaha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata Illalloh, (kecuali Allah SWT).

Sementara menurut yang lain, bila kalimat tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wilayah kekufuran menuju iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang lebih utama.

Manakala sang salik terdiam dengan upaya menghadirkan qalbunya, karena bersinggungan dengan anugerah ruhani dibalik dzikir berupa kondisi ghaybah (kesirnaan diri) setelah dzikir, yang disebut juga dengan “kelelapan”, maka jika Allah SWT mengirim angin untuk menebar rahmat-Nya berupa hujan, Allah SWT juga mengirim angin dzikir untuk menebar rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan ruhani dan riyadhoh tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang pedzikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.

Sedangkan bagi pedzikir yang kehilangan pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan dzikir dan rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allah, Allah, Allah atau Huw, Huw, Huw, Huw, atau La, La, La, atau Aa..Aa..Aa.. atau Ah, Ah, Ah, atau suara yang berbunyi. Adabnya adalah pasrah total pada anugerah Ilahi yang membuatnya tenang dan diam.

Semua adab di atas diperlukan oleh mereka yang akan melakukan dzikir lisan. Adapun dzikir qalbu tidak membutuhkan adab-adab tersebut.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Teks Keputusan Muktamar “Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah?”

Istiqamah-lah Sampai Engkau ke Tahap Cinta

Ketika Ulama Terdahulu Menguji Muridnya

Tiga Kategori Dzikir & 4 Pembagian Dzikir

Definisi Mursyid

Al-‘Arsy, Al-Kursi, Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-Qalam

Keutamaan Seorang Mursyid Thariqah

Intiqal, Ittihad, Hulul & Ittishal

Keagungan Rasulullah: Milik-Mu, Wahai Rabb-ku

Kasyaf (Terbukanya Tirai Keghaiban)

Hakikat Adab dalam Tasawuf

Anjuran untuk Tidak Langsung Minum Air Setelah Dzikir

Tentang Allah

Baiat Thariqah di Stasiun

Adab-Adab bagi Salik

Hedonic Threadmill

Surah Yasin: Pengalaman Mistis Imam Ibn ‘Arabi

Antara Pikiran dan Tenang

Adab dalam Berdzikir