Dalam agama Islam, banyak sekali aliran keagamaan yang berkembang, baik dalam bidang ilmu kalam (teologi) atau akidah, fikih, tasawuf, maupun lainnya.
Sedikitnya terdapat 42 tarekat mu’tabarah (terkenal) di dunia. Mulai dari tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Khalidiyah, Mufaridiyah, hingga Rifa’iyah.
Tarekat Rifa’iyah, khususnya, pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan. Pendirinya adalah Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah, Irak bagian selatan, pada 500 H (1106 M). Sedangkan, sumber lain menyebutkan, ia lahir pada 512 H (1118 M).
Abu Bakar Aceh dalam buku Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik memaparkan, Ar-Rifa’i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Sewaktu berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syaikh tarekat.
Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut, ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi’i. Pada usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah sembilan sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.
John L. Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern menyebutkan, garis keturunan sufi Ar-Rifa’i sampai kepada Syaikh Junaid Al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl At-Tustari (wafat 896 M).
Pada 1145, Ar-Rifa’i menjadi syaikh tarekat ini ketika pamannya (yang juga merupakan syaikhnya) menunjuknya sebagai pengganti. Dia kemudian mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat dia wafat kelak.
Tarekat Rifa’iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembagaan sufisme. Di bawah bimbingan Ar-Rifa’i, tarekat ini tumbuh subur.
Dalam tempo yang tidak begitu lama, tarekat ini berkembang luas ke luar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal tersebut disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh Timur Tengah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Tarekat Rifa’iyah berkembang di kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, wilayah Kaukasus, dan kawasan Amerika Utara. Para murid Rifa’iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut. Setelah beberapa lama, jumlah cabang Tarekat Rifa’iyah meningkat dan posisi syaikh pada umumnya turun-temurun.
Tarekat ini juga tersebar luas di Indonesia, misalnya di daerah Aceh terutama pada bagian barat dan utara, di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun, di daerah Aceh, tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang memiliki makna tabuhan rabana yang berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat ini.
Meskipun terdapat di tempat-tempat lain, menurut Esposito, Tarekat Rifa’iyah paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak, dan Amerika Serikat.
“Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmani (Ottoman), Rifa’iyah merupakan tarekat penting. Keanggotaannya meliputi sekitar tujuh persen dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi di Istanbul,” tulis Esposito.
Pendiri Tarekat Rifa’iyah
Bahkan, sejumlah pengikutnya meyakini Syaikh Ar-Rifa’i mendapat anugerah dari Allah sebagai salah satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit lepra, kebutaan, dan lainnya. Sejak kecil, ia sudah memiliki berbagai keistimewaan. Pada usia 21, ia sudah mendapatkan ijazah dari pamannya untuk mengajar. Syaikh Ahmad Rifa’i wafat pada 587 H.
Rifa’iyah di Turki
Pada masa berikutnya, sebagaimana ditulis John L. Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, di Turki, dikenal sosok bernama Kenan Rifa’i (wafat 1950). Syaikh Kenan tinggal di lingkungan yang mencakup banyak orang Turki yang berbudaya dan berpendidikan tinggi, termasuk kaum perempuan dan orang-orang Kristen.
Syaikh Kenan mengajarkan sufisme sebagai cinta universal. Kecenderungan ini dimodifikasi oleh Samiha Ayverdi – membimbing orang-orang yang setia kepada ajaran Syari’ati setelah Syaikh Kenan wafat – dengan terbit karya politiknya yang tajam di Istanbul pada 1979 yang berjudul Let Us Be Not Slaves but Masters.
Kaum Rifa’iyah di Tripoli, Lebanon, mulai aktif sejak 1984. Pada saat itu, terdapat lima zawiyah terkenal yang masih mempraktikkan ritual dzikir.
Di Suriah, setelah Naqsyabandiyah, Rifa’iyah merupakan tarekat yang paling tersebar luas dan dinamis. Sejak awal 1980-an, cabang Suriah yang paling signifikan adalah cabang Syaikh Abdul Al-Hakim Abdul Al-Basith Al-Saqbani. Dia dan orang-orang yang berkaitan dengannya telah menerbitkan banyak tulisan para syaikh Rifa’iyah.
Cabang utama Tarekat Rifa’iyah di Irak telah dipimpin oleh keluarga Al-Rawi. Beberapa tahun terakhir, di bawah arahan Syaikh Khasyi Ar-Rawi dari Baghdad, kaum Rifa’iyah Irak seperti halnya di Suriah menerbitkan sejumlah naskah Rifa’iyah lama.
Cabang Rifa’iyah ketiga terletak di negara bagian New York. DR Muhyiddin Shakoor, seorang psikolog konseling, menuliskan keterlibatannya dengan mereka dalam bukunya yang bertajuk The Writing on the Water. Ia menghubungkan para syaikh Tarekat Rifa’iyah cabang New York ini secara garis keturunan dengan kaum Rifa’iyah di Kosovo.