(8 Prinsip/Asas Dzikir di formulasikan oleh Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs., 3 Asas terakhir oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi qs.)
1. Hush dar dam (sadar sewaktu bernafas)
Suatu latihan konsentrasi: salik yg bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas, dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (Al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam (menjaga langkah)
Sewaktu berjalan, murid/salik haruslah menjaga langkah²nya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan² (ruhani)nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yg tidak relevan.
3. Safar dar watan (melakukan perjalanan di tanah kelahirannya)
Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yg mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari Mursyid yg sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yg akan menjadi perantaranya dengan Allah (Jami’ul Ushul, Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman (sepi di tengah keramaian)
Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus-menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal² lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yg lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yg sama hatinya tetap tertaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik di legititimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
Catatan: Setiap murid/salik seyogyanya senantiasa menghadirkan hati (hudhurul qolbi) kehadirat Allah Ta’ala dalam segala keadaan, baik di waktu bersunyi sendiri maupun dlm keramaian orang banyak.
Dlm tarekat Naqsyabandiyah ada 2 bentuk khalwat:
1. Berkhalwat lahir, salik yg melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yg sunyi dari keramaian orang, pada waktu tertentu yg sudah ditentukan Guru Mursyid.
2. Berkhalwat batin, hati sanubari salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia² kebesaran Allah Ta’ala walaupun berada di tengah keramaian orang.
5. Yad kard (ingat/menyebut)
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula laa ilaaha illallaah), atau formula dzikir lainnya yg diberikan oleh seorang Guru, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak terbatas dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah Ta’ala yg permanen.
Catatan: Selalu berkekalan dzikir kepada Allah Ta’ala, baik dzikir Ismu Dzat (Allah Allah Allah), dzikir Nafi Itsbat (Laa Ilaaha Illallaah), sampai pada keadaan yg disebut² tadi kita rasakan dengan kesadaran bahwa Dia Maha Hadir meliputi kita dalam setiap keadaan.
6. Baz gasyt (kembali/memperbarui)
Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal² yg menyimpang (melantur), murid/salik harus membaca setelah dzikir tawhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula Ilaahi Anta maqshudi wa ridhaka mathlubi (“Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu lah yg kuharapkan”). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimah ini haruslah senantiasa berada di hati salik, untuk mengarahkan perasaannya yg paling halus kepada Allah Ta’ala semata. (Kebanyakan kitab pegangan Naqsyabandiyah mengajarkan salik untuk mengucapkan kalimah ini dalam hati sebelum memulai dzikir Ismu Dzat dan mengucapkannya sekali lagi di antara dzikir tawhid yg berurutan.
Catatan: Bagi yg sudah suluk dan sudah mendapat izin mengamalkan dzikir Nafi Itsbat, bisa memahami penjelasan asas ini. Bagi yg belum paham, segeralah bersuluk.
7. Nigah dasyt (waspada)
Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah supaya pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yg tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku salik agar sesuai dengan makna kalimah tersebut. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi qs. mengutip seorang Guru: “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
Catatan: Salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yg dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar (contohnya: berangan-angan sesuatu hal duniawi, ingin kaya, ingin pangkat derajat, ingin dipuji, ingin ini itu). Karena godaan yg mengganggu itu adalah masalah yg besar, yg tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarekat ini. Syaikh Abu Bakar al-Kattani qs. berkata, “Aku menjaga pintu hatiku selama 40 tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah Ta’ala, sehingga hatiku menjadi tidak mengenal seorang pun selain Allah Ta’ala.”
Tawajjuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah Ta’ala terhadap Nur Dzat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata². Haliyah/keadaan ini baru dapat dicapai oleh seorang salik, setelah dia mengalami fana’ dan baqa’ yg sempurna.
8. Yad dasyt (mengingat kembali)
Penglihatan yg diberkahi: secara langsung menyaksikan Dzat Allah, yg berbeda dari Sifat² dan Nama²Nya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah; itulah derajat ruhani tertinggi yg dapat dicapai.
Hal ini semula dikaitkan pada pengalaman langsung Kesatuan dengan Yang Ada (wahdat al-wujud); Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qs. dan pengikut²nya bahkan mengemukakan dalil adanya tingkat yg lebih tinggi, di mana sang sufi sadar bahwa kesatuan (kemanunggalan) ini hanyalah bersifat fenomenal, bukan ontologis (wahdat al-syuhud).
9. Wuquf zamani (memeriksa penggunaan waktu salik)
Mengamati secara teratur bagaimana salik menghabiskan waktunya. (Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi qs. menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika salik secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterima kasih dan bersyukur kepada Allah, jika salik tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya.
Catatan: Seperti juga disampaikan Syaikh Abul Abbas al-Mursi qs., murid & khalifah Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs., sekaligus juga Guru Mursyidnya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari qs. (pengarang kitab Al-Hikam). Dalam amaliahnya wuquf zamani ini, hendaknya setiap hari kita selalu muhasabah, introspeksi diri, dalam 2-3 jam kita setiap harinya itu, lebih banyak ingat atau lupanya kepada Allah Ta’ala.
Jika lebih banyak ingatnya, sadarilah itu semata karunia Allah, syukuri nikmat itu, banyak²lah Sholawat sebagai wujud syukur kita. Jika lebih banyak lupanya kepada Allah, sadari bahwa itulah kelemahan diri kita, sebab tebalnya hijab kita, maka perbanyaklah istighfar, dan mengistiqomahkan shalat syukrul wudhu & shalat taubat, seperti yg sudah diajarkan Guru kita.
10. Wuquf ‘adadi (memeriksa hitungan dzikir salik)
Dengan hati² berapa kali salik mengulangi kalimah dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana²). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yg telah ditetapkan sebelumnya.
11. Wuquf qalbi (menjaga hati tetap terkontrol)
Dengan membayangkan hati seseorang (yg di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yg lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya.
Sebagaimana yg dikatakan Syaikh Ubaidullah al-Ahrar qs., “Keadaan hati salik selalu hadir bersama Allah Ta’ala.” Pikiran yg ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indra untuk melakukan tawajjuh dengan mata hati yg hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yg ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.