Tingkatan Wali Allah

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
8 min read

Syaikh Abu Hasan Ali al-Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Mahjub, mengatakan bahwa wali Akhyar sebanyak 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar sebanyak 7 orang, wali Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3 orang dan wali Quthub atau Ghauts sebanyak 1 orang. Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu `Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah membuat pembagian tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:

1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Ka’bah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.

4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu (Muhyiddin ibnu ‘Arabi) mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah. Pada tahun 586 H di Spanyol, Muhyiddin ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Sahabat Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku pernah juga bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur di malam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.

5. Wali Nuqobaa
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syari’at. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

6. Wali Nujabaa
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman Nabi Muhammad Saw, sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam ra. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib. Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara. Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat Nabi Muhammd Saw.

Jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau muncul dari mukasyafah) maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H. Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya, yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A’immah, Autad, Abdal, Nuqaba dan Nujaba.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya sebagaimana gelar Khatamun Nubuwwah yang disandang oleh Nabi Muhammad Saw?

Ibnu Arabi menjawab :
Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa as. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syari’at setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa as, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Nabi Isa as sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad Saw, bergabung dengan para Wali dari ummat Nabi Muhammad Saw lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa as, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi Isa as kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirr-nya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syari’at dengan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad Saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa as. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa as, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.

Di lain tempat, Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian Muhammad. Beberapa wali yang pernah mencapai derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-Ghauts) pada masanya :

  • Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
  • Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
  • Syaikh Yusuf al-Hamadani
  • Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
  • Syaikh Ahmad ar-Rifa’i
  • Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
  • Syaikh Ahmad Badawi
  • Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili
  • Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
  • Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi
  • Syaikh Ibrahim Addusuqi
  • Syaikh Jalaluddin Rumi

 

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Beliau pernah berkata, “Kakiku ada diatas kepala seluruh wali.” Menurut Abdul Rahman Jami’ dalam kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka di berbagai abad sungguh-sungguh meletakkan kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Syaikh Ahmad ar-Rifa’i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi Muhammad Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Muhammad Saw yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata : “Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah”. Kata murid: “Tuan Guru adalah Ghauts!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghautsiyah”.

Al-Imam as-Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad ar-Rifa’i telah melampaui “Maqamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum). Sebelum wafat, beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menanggung bilahinya para makhluk. Fatwanya, aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Ar-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk.”

Kemudian beliau menggosok-gosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar. Yang diderita oleh Sayyidi Ahmad Ar-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana ya Syaikh?. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum.” Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Auliya Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu dhuhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.

Syaikh Ahmad Badawi
Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak sedetik pun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.

Pada usia dini beliau telah hafal Al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Suatu hari, ketika beliau telah sampai ke tingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, menawarkan kepadanya: “Manakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad ar-Rifa’i, dengan lembut, dan karena menjaga tata krama murid kepada gurunya, ia menjawab; “Aku tak mengambil kunci kecuali dari al-Fattah (Allah).”

Peninggalan Syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan Shalawat Badawiyah Sughro dan Shalawat Badawiyah Kubro.

Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili
Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah SWT secara istiqamah.
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar biasa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah SWT.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat Dzatnya Allah SWT dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau menjawab, “Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasulullah Saw, Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Usman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril as, Mika’il as, Isrofil as, Izro’il as dan ruh yang agung.” Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syari’at, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat.” Syaikh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiyallahu’an Asy-Syaikh Abul Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah SWT apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku.”

Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiyaallahu’an Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah SWT, apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi Muhammad Saw menjawab, “Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul kepada Abu Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku.”

Peninggalan Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar. Orang yang mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib Bahar ditulis Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili di Laut Merah (Laut Qulzum).

Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili pernah berlayar menumpang perahu. Di tengah laut angin tidak bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili melihat Rasulullah Saw. Beliau datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili melafazkan doa-doa. Usai Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Adab dalam Berdzikir

Masyayikh Ahli Silsilah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah

Filsafat Seruling dalam 3 Pertanyaan Retorik

Merdeka dari Teori dalam Suluk

Adab Memakai ‘Imamah (Surban)

Insan Kamil

Syaikh Ahmad bin Muhammad Abu al-Husain an-Nuri

Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah

Kisah Teladan Abah Habib Luthfi Bin Yahya

Tarekat Kita

Anjuran untuk Tidak Langsung Minum Air Setelah Dzikir

Rumah Bau Melati

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Teks Keputusan Muktamar “Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah?”

Petunjuk Bagi Murid Dalam Memilih Guru

Ahli Musibah

Surga

Jika Tak Mampu Menangis, Berpura-puralah Menangis

Tingkatan Wali Allah