Dalam beberapa kasus menunjukkan keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi penjajah. Jumlah kasus seperti ini, jika dikehendaki, dapat dideret lebih banyak lagi. Pertanyaan patut diajukan: apakah sikap militan itu memang melekat pada tarekat, atau hubungan itu kebetulan saja? Apakah ada faktor dalam ajaran, amalan dan organisasi tarekat yang mendorong kepada militansi politik? Atau contoh-contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat biasanya cenderung untuk menjauhkan diri dari urusan politik?
Ikhwal tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. Para pejabat jajahan Belanda, Perancis, Italia dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena – dalam pandangan mereka – fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Untuk ini, bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel daripada penelitian ilmiah. Oleh karena bahaya politik yang mereka cerna, banyak pejabat telah menganjurkan larangan atau pembatasan terhadap kegiatan tarekat. Meskipun kecurigaan terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial. Di Republik Turki, misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah terjadi pemberontakan nasionalis Kurdi yang dipimpin oleh syaikh-syaikh tarekat Naqsyabandiyah. Larangan resmi sampai sekarang masih tetap berlaku – walaupun belakangan ini kegiatan tarekat mengalami perkembangan baru. Larangan yang lebih ketat lagi telah berlaku di (almarhum) Uni Soviet; dan di republik-republik bagian Uni Soviet yang Muslim, jaringan tarekat merupakan oposisi bawah tanah yang paling penting.
Persepsi kedua, sebaliknya, menganggap perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggungjawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia. Para pengkritik tarekat menekankan aspek asketis (zuhud) dan orientasi ukhrawi; dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat konon lazim menjauhkan diri dari masyarakat (khalwat, uzlah). Kalau kalangan Islam “tradisional” (Aswaja) dianggap lebih kolot, akomodatif dan apolitik dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik. Pandangan ini, seperti akan kita lihat, terlalu sederhana. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi Islam (seperti yang terlihat di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir) dan suburnya proses perkembangan tarekat.
Sebagai pengamatan awal kita bisa mencatat bahwa dua persepsi tentang tarekat ini berkenaan dengan situasi-situasi yang berbeda. Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat yang telah dikenal berlangsung terhadap penguasa yang bukan Muslim atau sekuler (Turki). Dalam negara Muslim merdeka jarang terjadi pemberontakan atau sikap oposisi radikal dari kalangan tarekat. Dalam hal ini, kaum tarekat tidak berbeda dari kalangan Islam “tradisional” pada umumnya. Malahan – ini merupakan pengamatan kedua – orang tarekat seringkali begitu dekat kepada penguasa. Daripada menjauhi urusan politik, syaikh-syaikh tarekat cenderung mendekati penguasa. Syaikh Yusuf Makassar menjadi penasehat dan menantu Sultan Ageng Banten; Syaikh Abdussamad melalui surat menasehati Sultan Mataram. Dan para penguasa, sebaliknya, tidak jarang mencari dukungan moral dan spiritual dari syaikh tarekat.
Syaikh dan Sultan
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang paling besar, dengan cabang-cabangnya di hampir seluruh dunia Islam, menyebar dari Yugoslavia dan Mesir sampai Cina dan Indonesia. Hasil pengamatan yang telah dilakukan banyak sarjana menunjukkan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit politik. Contoh klasik adalah Syaikh `Ubaidallah Ahrar (Khwaja Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarekat ini, yaitu Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi. Sumber sejarah lokal menggambarkan Khwaja Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang).
Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari semua lapisan masyarakat, dengan demikian memperkokoh bobot politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon pengganti Sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwaja Ahrar, Abu Sa’id. Syaikh kemudian tetap sebagai guru, penasehat dan pelindung spiritual raja Abu Sa’id dan kemudian penggantinya ‘Abd al-Lathif. Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi islamisasi lanjutan pemerintahan; atas desakan Khwaja Ahrar-lah, Abu Sa’id konon telah mengubah beberapa aturan ‘urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syari’ah. Khalifah-khalifah Khwaja Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan lokal di Asia Tengah.
Dari Asia Tengah, tarekat Naqsyabandiyah kemudian menyebar ke Barat (Turki Utsmani) dan ke Tenggara (India Moghul), dan banyak di antara syaikh-nya yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan elit, terkadang sampai Sultan sendiri. Di Turki, Sultan Bayezid II (akhir abad ke-15) terkenal sebagai penguasa yang memiliki hubungan akrab dengan berbagai guru tarekat, sedangkan di India, Sultan Aurangzeb (pertengahan abad ke-17) sedikit banyak juga dipengaruhi oleh beberapa syaikh Naqsyabandiyah. Merekalah yang punya andil dalam perubahan besar kehidupan beragama di bawah Sultan ini. Agama resmi yang diciptakan Sultan Akbar, Din-i Ilahi, yang merupakan perpaduan Islam dan Hindu, digantikan dengan Islam yang murni dan berorientasi syari’ah.
Dalam salah satu surat kepada Sultan Aurangzeb, Syaikh Muhammad Ma’shum menganjurkannya untuk menunaikan jihad dalam dua dimensinya, yaitu perang melawan kafir (dalam hal ini negara tetangga Qandahar yang Syi’i) dan perang melawan nafsu. Ketika tarekat Naqsyabandiyah masuk Indonesia, terlihat pendekatan yang mirip. Syaikh Isma’il Minangkabawi, yang telah menjadi khalifah Naqsyabandiyah di Makkah, kembali ke Nusantara sekitar tahun 1850 dan menjadi guru dan penasehat raja muda Riau (Yang Dipertuan Muda), Raja Ali. Waktu Syaikh Isma’il kembali ke Makkah, adik Raja Ali, Raja Abdullah, menjadi khalifahnya. Raja Abdullah kemudian menggantikan kakaknya sebagai penguasa. Setelah Raja Abdullah meninggal, penggantinya, Raja Muhammad Yusuf ingin memperkuat legitimasinya sebagai penguasa dan pergi ke Makkah untuk minta ijazah khalifah Naqsyabandiyah dari Syaikh Muhammad Salih al-Zawawi.
Demikian halnya sultan-sultan Pontianak, pernah menjadi murid Syaikh Muhammad Salih dan putranya, Syaikh Abdullah al-Zawawi. Syaikh Abdullah al-Zawawi pernah datang ke Indonesia dan tinggal di istana Pontianak dan Kutai. Di Sumatera Utara, Sultan Deli dan Pangeran Langkat pada tahun 1880-an dikenal sebagai murid tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Abdul Wahhab, yang berasal dari Rokan (Riau), mendirikan desa Naqsyabandiyah Babussalam di Langkat dan senantiasa mendapat perlindungan oleh istana Langkat. Di pulau Jawa, tarekat Naqsyabandiyah gagal merangkul raja-raja, tetapi ada beberapa bupati yang menjadi pengikut setia. Laporan Belanda abad ke-19 mencatat bahwa, guru-guru tarekat Naqsyabandiyah sengaja pada awalnya mendekati kaum bangsawan dan pamong praja, sehingga mendapat restu dari atas, dan barulah kemudian menaruh perhatian kepada lapisan masyarakat lainnya.
Pendekatan guru-guru tarekat ini terhadap sultan dan penguasa lainnya sangat bermanfaat dari sudut pandang sang syaikh. Salah seorang ulama penentang tarekat menulis dengan nada sinis mengenai keberhasilan Syaikh Isma’il Minangkabawi di Riau: “dan itu Haji Isma’il sudah balik kembali ke negeri Makkah dengan bawa uwang terlalu banyak adanya”. Komentar senada sering pula terdengar terhadap ulama-ulama yang dekat pada penguasa. Di samping itu ada dampak lain juga. Semua syaikh yang disebut di atas juga berhasil mempengaruhi sikap beragama penguasa yang mereka dekati. Riau, Pontianak, Deli dan Langkat menjadi wilayah tempat syari’ah diindahkan, atau dalam bahasa para pejabat Hindia Belanda, penguasa setempat cenderung kepada “fanatisme”.
Di Cianjur, masjid tiba-tiba mulai dikunjungi khalayak ramai pada tahun 1885-an setelah bupatinya masuk tarekat Naqsyabandiyah (sehingga ada pejabat yang panik dan mencurigai ada persiapan untuk pemberontakan). Di Kutai, yang budayanya masih campuran, kalangan istana dianjurkan berhenti minum minuman keras oleh Syaikh Abdullah al-Zawawi, dan seterusnya. Mengapa para sultan seringkali mengembangkan hubungan akrab dengan seorang (atau beberapa orang) syaikh tarekat dan bersedia mendengarkan nasehat-nasehatnya? Kita memang jauh lebih sering melihat ulama tarekat daripada kaum fuqaha sebagai penasehat sultan dan raja. Alasannya bermacam-macam, tapi salah satu yang penting adalah karamahnya syaikh tarekat.
Kekuatan spiritual syaikh diharapkan bisa melindungi dan melestarikan kerajaan. Syaikh yang ahli kasyaf bisa menunjukkan kapan harus perang dan kapan damai, apa hari terbaik untuk sebuah keputusan dan apa hari na’as. Raja yang sadar bahwa ia telah berbuat banyak dosa mendapat ketenangan hati berkat bimbingan ruhani seorang syaikh. Kehadiran orang yang dianggap “keramat” di lingkungan istana diharapkan dengan sendirinya akan membawa berkah. Yang tidak kalah pentingnya, kehadiran syaikh bisa memperkokoh legitimasi penguasa di mata rakyat. Dalam kenyataannya, peranan syaikh di istana bisa bervariasi dari guru agama sampai jimat hidup.