Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi: Sang Imam Khwajagan

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
3 min read

Syaikh Baha’uddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaysi Al Bukhari qs. dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal 15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syaikh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda-tanda aneh yaitu bau harum semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs., seorang wali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Syaikh Baba as-Samasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Syaikh Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.

Setelah Syaikh Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syaikh Muhammad Baba as-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Syaikh Muhammad Baba as-Samasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Syaikh Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Syaikh Muhammad Baba as-Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syaikh Muhammad Baba as-Samasi) wafat. Sebelum Syaikh Muhammad Baba as-Samasi wafat, beliau mengangkat Syaikh Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syaikh Muhammad Baba as-Samasi, Syaikh Naqsyabandi belajar ilmu tarekat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syaikh as-Sayyid Amir Kullal qs.

Syaikh Naqsyabandi pernah bertemu secara ruhani dengan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs. dan di ajarkan dzikir khafi serta suluk. Sejak masa Syaikh Arif ar-Riwkari qs. sampai Syaikh Amir Kullal qs., dzikir/tawajjuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau dzikir sendiri secara khafi, Syaikh Naqsyabandi tidak pernah ikut bertawajjuh dengan Syaikh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar, hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid-murid gurunya yang tidak mengerti duduk persoalan. Akan tetapi Syaikh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syaikh Naqsyabandi. Suatu hari Syaikh Naqsyabandi di panggil oleh Gurunya dan berkata, “Wahai putraku Baha’uddin, kebetulan sekali pada waktu ini saudara-saudara kita terutama para Khalifahku sedang berkumpul, aku akan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh para hadirin: Baha’uddin! Supaya engkau tahu, bersamaan khidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah melaksanakan wasiat guruku almarhum Syaikh Muhammad Baba (lalu Syaikh Amir Kullal memberi isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya: Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai kering, tetapi wadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah beberapa faedah yang perlu dari mereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan cita-citamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar-ancar carilah guru dari tanah Tajik dan dari tanah Turki”.

Setelah meminta izin dari Syaikh Amir Kullal, selanjutnya Syaikh Naqsyabandi berguru kepada Syaikh ‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun, kemudian berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terakhir, kepada Syaikh Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syaikh Naqsyabandi telah melaksanakan titah gurunya (Syaikh Amir Kullal), demikian juga fatwa-fatwa dari Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani untuk memperdalam ilmu-ilmu syari’at secara mendalam sehingga sempurnalah ilmu yang Beliau peroleh. Syaikh Baha’uddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran tarekatku, akhir dari pelajaran semua tarekat”.

Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqand, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang dipimpinnya tersebar dengan cepat dan termasyhur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia.

Beliau meletakkan dasar-dasar dzikir qalbi yang sirri, dzikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadah semata-mata Lillahi Ta’ala, tergambar dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilaahi Anta maqshuudi waridlaaka mathluubi”. Secara murni meneruskan ibadat Thariqatus Sirriyah zaman Rasulullah Saw, Thariqatul Ubudiyyah zaman Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra dan Thariqatus Shiddiqiyah zaman Sayyidina Salman al-Farisi ra. Beliau amat masyhur dengan keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan ma’rifatnya. Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan i’tikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan adab suluk yang teguh. Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun.

Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad Ala’uddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Aththar qs. dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi qs, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syaikh Naqsyabandi meneruskan Ilmunya dan menjadi penerus Beliau untuk mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Tentang Futuwwah

Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam

11 Prinsip Dzikir

Kisah Teladan Abah Habib Luthfi Bin Yahya

Jadilah Engkau Bumi, Agar Padamu Tumbuh Mawar

Kabar Gembira Bagi Mereka Yg Banyak Berdzikir

Beradab Agar Berilmu

Keutamaan Seorang Mursyid Thariqah

Syaikh Abu Yazid al-Busthami: Raja Mistikus

Sulthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Syaikh Fariduddin Attar: Penyair Sufi Yang Melegenda

Tauhid dan Makrifatullah

Peran Politik Kaum Sufi

Adab Murid Pada Guru Mursyid

Shuhbah Membangun Mahabbah

Puisi Yunus Emre

Simbolisme Huruf dan Angka

Kisah Mawlana Rumi Membeli Khamr

Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi: Sang Imam Khwajagan