Manaqib Syaikh Baha’uddin Naqshbandi

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
27 min read

Sumber:
1) Terjemahan ini diambil dari: link
2) Teks bahasa Inggris: link


Judul:
MANAQIB SYAIKH BAHA’UDDIN NAQSHBANDI
Syaikh Muhammad Baha’uddin Naqshbandi Uwaysi al Bukhari

Kidung subuh sang merpati hutan, haru sendu membirukan

Air mataku membangunkan lelapnya,

tidurku pun tergugah tangisnya

Tak saling kami mengerti, tatkala saling mengeluhkan

Tetapi ku tahu duka hatinya

dan dukaku pun telah dipahaminya

(Abul-Hasan an-Nuri )

Syah Naqsyband qs adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau menjernihkan kemanusiaan dengan Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan spiritualnya. Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau adalah bintang yang berhiaskan Mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya. Beliau menghiasi bahkan setiap sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasul-Allah sallallahu alayhi wasallam. Cahayanya menembus setiap lapisan ketidak pedulian.

Keluarbiasaannya melahirkan bukti terhempasnya asa tertepis dari keraguan hati kemanusiaan. Keajaibannya yang penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah kematiannya dan menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa mendatang. Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih dalam buaian.

Beliau menghisap nektar ilmu ghaib secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Jika Muhammad saw bukanlah Rasul yang terakhir, mungkin beliau akan menjadi Rasul. Segala Puji bagi Allah swt yang telah mengirimkan seorang mujaddid (yang menghidupkan agama Islam). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya.

Beliau menyebarkan petunjuknya dari Utara hingga Selatan, dan dari Timur hingga ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba raya. Beliau adalah Ghawts teragung, Busur Perantara, Sultannya para Awliya, Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam semesta ini oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allah membuat yang baik menjadi yang terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik. Beliau adalah Guru dari thariqat ini dan Syaikh dari Matarantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang terbaik.

Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-‘Arifan, dekat Bukhara. Allah menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia thariqat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi qs. Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari thariqat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal qs. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam hubungannya dengan Rasulullah saw, karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs, yang telah mendahuluinya selama 200 tahun.

Awal Mula dari Bimbingannya dan Bimbingan Dari Awal Mulanya

Syah Naqsyband qs berumur delapan belas tahun ketika beliau dikirim kakeknya ke kampung Samas untuk melayani Syaikh thariqat, Muhammad Baba as-Samasi qs, yang telah memintanya. Dari awal persahabatannya dengan Syaikh tersebut, Beliau melihat anugerah yang tak terhitung di dalam dirinya, dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan ibadah. Dari masa mudanya, beliau bercerita, Aku akan bangun lebih awal, tiga jam sebelum shalat Fajar, berwudhu, dan setelah melaksanakan shalat sunnah, Aku akan bersujud, memohon pada Tuhan dengan do’a berikut, ‘Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menjalankan kesulitan-kesulitan dan rasa sakit dari Cinta-Mu.’ Lalu Aku akan shalat Fajar bersama dengan Syaikh.

Ketika beliau keluar, suatu hari beliau melihat ke arahku dan berkata, seolah-olah beliau telah bersamaku ketika Aku berdo’a tadi, ‘Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdo’amu. Daripada berkata, ‘Ya Allah swt! Anugerahkanlah ridha-Mu pada hamba yang lemah ini.’ Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau Tuhan dalam Kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya untuk mengujinya, sang hamba tak boleh meminta untuk berada dalam kesulitan. Hal ini berarti tidak menghormati Tuhanmu.’

Ketika Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan Aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-‘Arifan, yang merupakan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt bagiku, karena Aku menjadi dekat dengan Sayyid Amir Kulal qs. Aku tinggal dan melayaninya, dan beliau mengatakan padaku bahwa Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs telah berkata jauh hari sebelumnya bahwa, ‘Aku tak akan senang denganmu bila engkau tidak memeliharanya dengan baik.’

Suatu hari, Aku duduk bersama seorang teman, dalam pengasingan (khalwat), tiba-tiba langit terbuka dan suatu pemandangan yang agung datang padaku dan Aku mendengar sebuah suara yang berkata, ‘Tidakkah cukup bagimu meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat Kami sendirian saja?’ Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke sebuah sungai di mana Aku lalu menyeburkan diri.

Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang belum pernah Aku lakukan sebelumnya, Aku merasa seolah-olah sedang shalat dalam Hadirat-Nya. Segalanya begitu terbuka ke dalam hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kashf). Seluruh semesta lenyap dan Aku tak menghiraukan apa pun kecuali berdo’a ke Hadirat-Nya.

Di awal keadaan ketertarikanku, Aku pernah ditanya, ‘Mengapa engkau ingin memasuki Jalan ini?’ Aku menjawab, ‘Agar apa pun yang Aku katakan dan Aku kehendaki akan terjadi.’ Aku dijawab, ‘Itu mustahil. Apa pun yang Kami katakan dan apa pun yang Kami kehendaki, itulah yang akan terjadi.’

Dan Aku berkata, ‘Aku tak bisa melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan apapun yang Aku suka, atau, Aku tak menginginkan Jalan ini.’ Lalu Aku menerima jawabannya, ‘Tidak bisa. Apapun yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.’ Lalu Aku berkata lagi ‘Apa pun yang Aku katakan dan apa pun yang Aku kerjakan itulah yang pasti terjadi.’

Kemudian Aku pun ditinggalkan sendirian selama lima belas hari, hingga Aku menderita depresi yang luar biasa. Kemudian Aku mendengar sebuah suara, ‘Wahai Baha’uddin qs, apapun yang kau inginkan, akan Kami kabulkan.’ Aku amat bergembira. Aku berkata, ’Aku ingin diberi sebuah thariqat yang akan memimpin siapa pun yang berjalan di atasnya akan langsung menuju ke Hadirat Ilahi.’ Dan Aku melihat suatu pemandangan yang agung dan sebuah suara berkata, ’Apa yang kau minta, telah dikabulkan.’

Kemajuan dan Perjuangannya dalam Thariqat

Syah Naqsyband qs menyatakan, ”Suatu saat Aku sedang mengalami ekstase dan tanpa akal pikiran (tidak sadar), berpindah dari sini ke sana, tak menyadari apa yang tengah kulakukan. Kakiku robek dan berdarah karena duri pada saat gelap. Aku merasa diriku ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal qs.

Saat itu malam sungguh gelap tanpa bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki apapun kecuali sebuat jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di rumahnya, Aku menemukan beliau sedang duduk bersama para sahabatnya.

Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada para pengikutnya, ’Bawa dia keluar, Aku tak menginginkan dia berada di rumahku.’ Mereka lalu mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha menguasaiku, mencoba meracuni kepercayaanku kepada Syaikhku. Pada saat itu hanya Perlindungan Allah swt dan Rahmat-Nya-lah satu-satunya pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah swt dan demi Syaikhku.

Lalu Aku berkata pada egoku, ‘Aku tak memperkenankanmu untuk meracuni kepercayaanku terhadap Syaikhku.’ Aku begitu lelah dan tertekan sehingga Aku merendahkan hati di depan pintu kesombongan, meletakkan kepalaku di bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah dengan Nama Allah bahwa Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku gemetar dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit membuatku merasa nyaman.

Aku ingat keadaan tersebut, hingga Aku membeku. Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku, membuatku tetap hangat. Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa melihatku secara fisik. Beliau menginjak kepalaku, yang masih berada di bawah pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ’Wahai anakku, kau telah dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan pakaian Cinta Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah Aku dan Syaikhku kenakan.

Allah swt senang denganmu, Rasulullah saw senang denganmu, semua Syaikh dari Matarantai Emas senang denganmu.’ Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama beliau menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami sebelumnya. Hal ini membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat diriku memasuki rahasia Muhammadun Rasul-Allah saw. Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realitas Muhammad saw).

Hal ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia dari LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari wahdaniyyah (Keunikan Allah). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahasia Asma’ Allah dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahasia ahadiyya (Ke-Esa-an Allah). Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya dapat diketahui lewat rasa di dalam hati.

Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran kota Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, khususnya di musim dingin, Aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal. Suatu malam Aku dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa qs dan membacakan al-Fatihah baginya.

Ketika Aku tiba, Aku menemukan dua orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilah pedang di sabukku. Mereka mengarahkan kudanya ke nisan Syaikh Mazdakhin qs. Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid Syaikh tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku dengan hati Syaikh itu.

Selama proses meditasi tersebut sebuah pandangan terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana itu. Aku merasa mengenalnya. Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta ini yang kulihat adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan besar yang terdiri dari Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs dan Sayyid Amir Kulal qs.

Kemudian Aku merasa takut dengan orang yang tinggi besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga merasakan cinta terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang makin membesar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata pada diriku sendiri, ’Siapa gerangan manusia agung ini?’ Aku mendengar sebuah suara di antara orang-orang di kerumunan itu berkata, ‘Orang agung yang membesarkanmu di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia melihat jiwamu manakala masih berupa atom di Hadirat Ilahi.

Kau telah berada dalam pelatihannya selama ini. Dialah Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs dan kerumunan yang sedang kau lihat itu adalah khalifah yang membawa rahasia agungnya, rahasia Matarantai Emas.’ Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing Syaikh seraya berkata, ‘Yang ini Syaikh Ahmad qs, ini Kabir al-Awliya qs, ini ‘Arif Riwakri qs, ini Syaikh Ali Ramitani qs, yang ini Syaikhmu, Muhammad Baba as-Samasi qs, yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu. Apakah kau mengenalnya?’ ‘Ya’, kataku.

Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa saat silam sekarang masih ada di rumahmu, dan dengan berkah Allah telah menyembuhkan banyak penderitaan dalam hidupmu.’ Lalu suara lain datang dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan ini.’ Aku bertanya apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan Aku pun mengambil tangannya. Kemudian beliau mulai menceritakan tentang suluk (perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya.

Beliau berkata, ‘Kau harus membenahi sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak terlihat dapat dikuatkan dalam dirimu dan rahasia-rahasianya dapat terlihat. Kau harus memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam syari’ah Rasulullah saw dalam setiap keadaanmu. Kau harus “menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar” (QS 3:110, 114) dan tetap pada standar tertinggi dari syari’ah dan meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala bentuknya (bid’ah), dan buatlah al-Hadits sebagai qiblatmu.

Kau harus menyelidiki kehidupannya (sirah) dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk mengikuti dan membaca al-Quran baik siang maupun malam, serta melaksanakan shalat dengan segala ibadah tambahannya (nawafil). Jangan abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw.’

Begitu Abdul Khaliq qs selesai, khalifahnya berkata padaku, ’Agar yakin akan kebenaran pandangan ini, beliau mengirimkan suatu tanda begimu. Besok, pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun al-Ambikuti qs, yang akan menghakimi dua orang. Katakan padanya bahwa si Turkilah yang benar dan si Saqqa-lah yang salah. Katakan padanya, ’Kau mencoba membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah dirimu dan bantulah si Turki.’ Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan si hakim terus membela si Saqqa, katakan padanya, ’Aku memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada si Saqqa, ‘Wahai Saqqa, engkau sedang dahaga.’ Dia akan mengerti apa arti dahaga itu.

Sebagai bukti kedua, kau harus bilang kepada si Saqqa, ‘Kau telah meniduri seorang wanita dan dia menjadi hamil, dan kau telah memiliki bayi yang telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi itu di bawah pohon pinus.’ Dalam perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin qs, bawalah tiga butir kismis dan lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal qs. Dalam perjalananmu menuju beliau kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan memberimu sebantal roti. Ambillah rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun dengan Syaikh tersebut.

Lanjutkan hingga kau menemukan sebuah karavan. Seorang petarung akan mendekatimu. Nasihati dan dekati dia kembali. Dia akan menyesal dan akan menjadi salah seorang pengikutmu. Kenakanlah topimu dan bawa jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal qs.’

Setelah itu mereka memindahkan aku dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali pada diriku sendiri. Hari berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya kepada keluargaku tentang jubah yang telah disebutkan dalam pandangan itu. Mereka membawanya ke hadapanku dan berkata, ’Ini telah ada di sana sejak lama sekali.’ Ketika Aku melihat jubah itu keharuan yang mendalam melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin qs.

Aku shalat Fajar bersamanya dan kemudian Aku menyampaikan tanda yang sangat membuatnya terkejut. Si Saqqa itu ada dan dia menyangkal bahwa si Turki itu yang benar. Lalu Aku menyampaikan bukti-bukti itu kepada beliau. Dia menerima yang pertama namun menyangkal yang kedua.

Lalu Aku mengajak orang-orang yang berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat masjid. Mereka menurut dan menemukan seorang anak yang terkubur di sana. Si Saqqa lalu datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat, namun semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin qs dan orang lain yang berada di masjid itu benar-benar terkejut.

Aku bersiap untuk melakukan perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan telah memegang ketiga kismis kering. Maulana Syamsuddin qs mencoba menahanku dengan berkata, ’Aku sedang melihat dalam dirimu ada penyakit karena merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Penyembuhmu berada di tangan kami.’ Aku menjawabnya, ‘Wahai Syaikhku, Aku adalah anak dari orang lain dan Aku adalah pengikutnya. Bahkan bila kau tawarkan untuk merawatku dengan susu dari maqam yang lebih tinggi, aku tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya Aku berikan hidupku dan daripadanya.

Aku mengambil bay’at.’ Kemudian beliau terdiam dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak seperti yang telah diperintahkan hingga Aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya. Aku mengambil rotinya seperti yang telah diperintahkan. Kemudian Aku menemukan sebuah karavan. Mereka bertanya dari mana Aku berasal. Aku bilang, ’Ambikata!’ Mereka bertanya kapan Aku berangkat. Aku bilang, ‘Pada saat matahari terbit.’ Mereka terkejut dan berkata, ’Desa itu bermil-mil jauhnya dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menempuh jarak itu.

Kami meninggalkan desa itu tadi malam dan kau di saat matahari terbit, namun kau telah menyusul kami.’ Aku melanjutkan (perjalanan) hingga Aku bertemu dengan seorang tukang kuda. Dia menyapaku, ‘Siapa kau?’ Aku takut kepadamu!’ Aku bilang, ‘Di tangankulah kau akan bertobat.’ Dia lalu turun dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahannya di hadapanku dan bertobat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya. Dia menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal qs.

Ketika Aku menemuinya, Aku menyerahkan jubah kepadanya. Beliau terdiam untuk beberapa saat dan kemudian beliau berkata, ’Ini adalah jubah Azizan. Aku diberi tahu tadi malam bahwa kau akan membawanya kepadaku, dan Aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapisan penutup.’ Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan pribadinya. Beliau mengajariku dan menempatkan dzikir khafa di dalam hatiku. Beliau memerintahkan Aku untuk memelihara dzikir itu siang dan malam. Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang sulit, maka Aku memelihara dzikir khafa yang merupakan bentuk dzikir tertinggi.

Sebagai tambahan, Aku biasa menghadiri kumpulan murid-murid luar untuk belajar ilmu syari’ah dan al-Hadits, dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah saw dan para Sahabatnya. Aku melakukannya karena pandangan itu menyuruhku demikian, dan hal ini menyebabkan perubahan besar dalam kehidupanku. Semua yang diajarkan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs dalam pandangan itu melahirkan buah yang diberkahi dalam kehidupanku. Ruhnya selalu menemani dan mengajariku.

Tentang Dzikir Zahar dan Dzikir Khafa

Disebutkan dalam Kitab al-Bahjat as-Saniyya bahwa dari masa Mahmud al-Faghnawi qs hingga masa Sayyid Amir al-Kulal qs mereka terbiasa melakukan dzikir zahar (dengan suara keras) pada saat berkumpul dan dzikir khafa (dalam hati) bila sedang menyendiri. Namun ketika Syah Baha’uddin Naqsyband qsmenerima rahasianya, beliau hanya menjalankan dzikir khafa.

Walaupun pada saat berasosiasi dengan Sayyid Amir Kulal qs, bila mereka mulai berdzikir zahar, beliau biasanya beranjak dan pergi ke kamarnya untuk mengerjakan dzikir khafa. Hal ini membuat beberapa murid agak kecewa, meski Syaikhnya melakukan dzikir zahar, beliau tetap melakukan dzikir khafa. Namun beliau tetap melayani Syaikhnya sepanjang usianya.

Suatu hari, saat Syah Baha’uddin qs dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal qs sedang beristirahat dari pekerjaan membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal qs berkata, ‘Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang anakku Baha’uddin qs, dia adalah salah. Allah telah menganugerahinya suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan Aku pun tak mampu untuk mengetahuinya.’ Beliau lalu berkata padanya,

Wahai anakku, Aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs ketika beliau menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu dalam jalan latihanku hingga engkau menjadi lebih baik daripadaku. Hal ini telah kukerjakan, dan engkau telah memiliki kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku tercinta, saat ini Aku sepenuhnya mengizinkan engkau untuk pergi ke mana pun yang engkau kehendaki dan untuk mendapatkan ilmu dari siapa pun yang engkau temui.

Tentang Syaikh-Syaikh Berikutnya

Suatu saat Aku mengikuti Maulana ‘Arif ad-Dik Karrani qs selama tujuh tahun. Kemudian Aku mengikuti Maulana Kuthum Syaikh qs selama beberapa tahun lamanya. Suatu malam Aku tertidur di hadapan Syaikhku dan Aku menemui Syaikh al-Hakim ‘Attar qs, salah seorang Syaikh yang termasyhur dari Turki, menyampaikan sesuatu kepada seorang darwis yang bernama Khalil Ghirani qs. Ketika Aku terbangun, gambaran darwis itu masih melekat di benakku. Aku mempunyai seorang nenek yang solehah, kepadanyalah Aku menyampaikan mimpiku itu.

Nenekku berkata, ‘Wahai anakku, engkau akan mengikuti banyak Syaikh berkebangsaan Turki.’ Jadi dalam perjalananku, Aku menyinggahi Syaikh-Syaikh dari Turki dan Aku tak pernah melupakan gambaran darwis yang satu itu. Lalu suatu hari di kampung halamanku sendiri di Bukhara, Aku melihat seorang darwis dan Aku mengenalinya sebagai orang yang Aku temui dalam mimpi itu. Aku menanyakan namanya kepada beliau, dan beliau menjawab, ’Aku adalah Kahlil Ghirani qs.’

Aku harus meninggalkannya, namun begitu berat rasanya. Pada saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seorang tak dikenal berkata, ‘Darwis Kahlil Ghirani qs sedang menantimu.’ Aku begitu terperanjat. Bagaimana orang itu telah menemukanku? Aku membawa sebuah hadiah, dan pergi bersamanya. Ketika Aku sudah berada di hadapannya, Aku lalu menceritakan mimpi itu. Beliau berkata, ‘Tak perlu kau ceritakan mimpi itu karena Aku sudah tahu.’ Hal ini lebih melekatkan hatiku kepada beliau. Bersamanya, beberapa pengetahuan ghaib yang baru, dibukakan ke dalam hatiku.

Beliau selalu merawatku, memujiku, dan mengangkatku. Penduduk Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja mereka. Aku terus menemani beliau, walau dalam masa kesultanannya. Hatiku tumbuh dalam cinta kepada beliau lebih dan lebih lagi dan hatinya telah mengangkatku ke pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku bagaimana caranya untuk melayani seorang Syaikh. Aku bersamanya selama enam tahun. Baik di hadapannya maupun dalam do’a, Aku selalu menjaga hubungan dengan beliau.

Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku bertemu dengan seorang Sufi, dan dia berkata, ‘Sepertinya kau berasal dari kami’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku berharap kau berasal dari kami dan Aku berharap dapat menjadi temanmu.’ Suatu saat dia bertanya padaku, ‘Bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri?’ Aku menjawab, ‘Bila Aku menemukan sesuatu Aku bersyukur kepada Allah , dan bila tidak, Aku bersabar.’ Dia tersenyum dan berkata, ‘Itu mudah. Caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan mengujinya. Bila dia kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu untuk menjaganya agar tetap mematuhimu.’

Aku amat berbahagia dengan jawabannya dan Aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu yang memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati orang yang putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan, ke-tawadhu-an dan tenggang rasa. Aku menjaga perintah-perintahnya dan Aku habiskan berhari-hari dalam hidupku dengan cara seperti itu. Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu mereka untuk menemukan persediaan makanan dan minumannya. Aku menjalankannya hingga Aku mencapai suatu keadaan di mana bila Aku bertemu binatang di jalanan, maka Aku akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.

Kemudian dia menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing melalui Penyatuan Pikiran dengan penuh Kejujuran dan Kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia mengatakan, ‘Karena pelayananmu terhadap salah satu dari mereka, maka engkau akan mencapai kebahagiaan yang sangat.’ Aku terima perintah tersebut dengan harapan bahwa Aku akan menemukan satu anjing dan melalui pelayanan terhadapnya, Aku akan menemukan kebahagiaan itu.

Suatu hari pikiranku menyatu dengan salah satu dari mereka dan Aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Aku mulai menangis di hadapannya hingga dia telentang dan menengadahkan kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang amat sedih yang berasal darinya lalu Aku pun menengadahkan tangan, berdo’a dan mulai mengatakan ‘amin’ mendukung do’anya hingga akhirnya dia tak bersuara lagi. Yang kemudian terbuka padaku adalah suatu pandangan yang membawaku pada suatu keadaan di mana Aku merasa menjadi bagian dari setiap manusia dan juga bagian dari setiap makhluk di muka bumi ini.

Setelah Mengenakan Jubah

Suatu hari Aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan, mengenakan jubah Azizan dan di sekitarku terdapat para pengikutku. Tiba-tiba Aku merasa terbius dan merasakan Rahmat Surgawi, dan Aku merasa disandangkan dan dihiasi dengan Atribut-Nya.

Belum pernah Aku segemetar ini sebelumnya, dan Aku tak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap qiblat dan Aku memasuki pandangan agung. Aku melihat diriku melebur (fana’) sepenuhnya dan Aku tak lagi melihat wujud lain melainkan Tuhanku. Lalu Aku melihat diriku keluar dari Hadirat-Nya, memantul lewat cermin Muhammadun Rasul-Allah saw, dalam bentuk sebuah bintang di tengah Samudera Cahaya tanpa awal dan akhir.

Kehidupan eksternalku berakhir dan Aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL-ALLAH saw. Ini membawaku kepada makna dari inti sari Nama ‘Allah’ yang membawaku kepada Yang Maha Ghaib, yakni inti sari dari Asma Huwa (Dia). Ketika Aku memasuki samudera itu, jantungku berhenti berdetak dan seluruh hidupku pun berakhir, mengantarku kepada keadaan kematian.

Ruhku meninggalkan jasadku, dan semua yang ada di sekelilingku saat itu berpikir bahwa Aku telah meninggal, dan mereka pun menangis. Kemudian setelah enam jam, Aku diperintahkan untuk kembali kepada jasadku. Aku merasakan ruhku perlahan memasuki jasadku kembali dan pandangan itu pun berakhir.

Untuk menyangkal keberadaanmu dan untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku dalam thariqat ini. Dalam keadaan ini Aku memasuki setiap tingkat keberadaan, yang membuatku menjadi bagian dari semua makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku sendiri. Aku melihat bahwa setiap orang menyediakan suatu manfaat dan hanya Akulah yang tak memberikannya.

Suatu hari sebuah keadaan yang amat mencengangkan terjadi padaku. Aku mendengarkan Suara Ilahi berkata, ‘Mintalah apapun yang kau suka dari Kami.’ Lalu Aku memohon, ‘Ya Allah swt, anugerahilah aku dengan setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.’ Dan jawabannya datang, ‘Kau hanya meminta setetes dari Ke-Maha Pemurahan Kami?’

Hal ini laksana jutaan tamparan keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama berhari-hari. Kemudian suatu hari Aku berkata, ‘Ya, Allah swt anugerahilah hamba dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu, Kekuatan untuk membawanya.’

Pada saat itu sebuah pengelihatan terbuka padaku di mana Aku didudukkan di atas sebuah singgasana di atas suatu Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, ‘Samudra Rahmat ini adalah untukmu. Berikanlah dia kepada hamba-hamba-Ku.’

Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, khususnya dari Uwais al-Qaran ra, yang amat mempengaruhi aku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk melekatkan diri hanya pada hal-hal ruhaniah.

Aku menjalankannya dengan tetap berpegang teguh pada syari’ah dan perintah Rasulullah saw, hingga Aku mulai menyebarkan Pengetahuan Ghaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Yang Maha Esa yang belum pernah diberikan oleh siapa pun sebelumnya.

Keajaiban dari Perkataan-Perkataannya dan Perkataan-Perkataan Tentang Keajaibannya. Imam at-Thariqah Syaikh Bahaudin Naqshbandi Muhammadinil Uwaysiyil Bukhari qs

Tentang Perbedaan Di antara Imam-Imam

Dalam suatu majelis ulama-ulama besar di Baghdad beliau ditanya tentang perbedaan-perbedaan dalam perkataan keempat khalifah Rasulullah saw. Beliau berkata,

Suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah berada di depannya,’ dan Umar al-Faruq ra berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah selalu berada di belakangnya.’ Dan Utsman ra berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah berada di sampingnya,’ dan ‘Ali ra berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah swtberada di dalamnya.’

Beliau mengomentari bahwa, perbedaan dalam perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbedaan situasi pada saat mereka berkata-kata, dan bukannya perbedaan dalam kepercayaan dan pemahaman.

Tentang Berjalan dalam Jalur ini

Apakah di balik cerita Rasulullah saw, ‘Sebagian dari iman adalah memindahkan apa-apa yang membahayakan dari Jalan?’ Yang Beliau maksud dengan ‘yang membahayakan’ itu adalah ego, dan yang Beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan Menuju Allah swt, sebagaimana Dia berfirman kepada Bayazid al-Bistami qs, ‘Tinggalkan egomu dan datanglah pada Kami.’

Suatu ketika beliau ditanya, “Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?” Beliau berkata, “Detailnya dalam pengetahuan spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu?” Beliau menjawab,

Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan pengelihatan. Barang siapa yang meminta untuk berada di Jalan Allah maka dia telah meminta jalan penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah saw, ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.’ Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai Nabi saw, Aku mencintaimu,’ dan Nabi saw berkata, ‘Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Lain waktu orang lain lagi datang kepada Rasulullah saw dan berkata, ‘Ya, Rasulullah saw, Aku mencintai Allah,’ dan Rasulullah saw berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.’

Beliau membaca sebuah ayat :

“Setiap orang mendambakan kebaikan,

Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan,

Melainkan dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan”.

Beliau berkata, “Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.”

Tentang Pelatihan Spiritual

Ada tiga jalan di mana para murid meraih pengetahuannya:

Muraqaba – Perenungan (kontemplasi)

Musyahada – Pengelihatan

Muhasaba – Penghitungan

Dalam keadaan perenungan, si pencari melupakan mahkluk dan hanya mengingat Sang Khalik saja.Dalam keadaan pengelihatan, ilham dari Yang Ghaib mendatangi hati si pencari dengan disertai dua keadaan: penciutan dan pengembangan. Pada keadaan penciutan, pengelihatan adalah tentang Ke-MahaKuasa-an, dan pada keadaan pengembangan pengelihatan adalah tentang Ke-Maha-Indahan.

Pada keadaan penghitungan, si Pencari mengevaluasi setiap jam yang telah lewat: apakah dia berada seluruhnya bersama Allah ataukah berada seluruhnya bersama dunia?

Si pencari dalam thariqat ini pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan dan godaan egonya. Dia mungkin menolaknya bahkan sebelum mereka mencapainya; atau dia mungkin menolaknya setelah mereka mencapainya namun sebelum mereka memegang kendali atasnya. Pencari lain, mungkin saja tidak menolaknya hingga mereka mencapainya dan mengendalikannya. Dia tak akan mendapatkan buahnya, karena pada saat seperti itu adalah mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu dari hatinya.

Tentang Maqam Spiritual

“Bagaimanakah hamba-hamba Allah melihat perbuatan yang tersembunyi dan bisikan-bisikan hati?” Beliau menjawab, “Dengan cahaya pengelihatan yang dianugerahkan Allah pada mereka, seperti yang tertera dalam Hadits suci, ‘Waspadalah dengan pengelihatan orang-orang yang beriman, karena dia melihat dengan Cahaya Allah swt.’”

Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata, “Keajaiban apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita”.

Beliau ditanya, ‘Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd qs, ”Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi?’”

Beliau berkata, ‘Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.’

Beliau memperingatkan, ‘Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah swt akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, ’Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita memiliki enam arah.’

Apa yang dimaksudkan dengan al-Hadits, ‘Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,’ merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi saw yang lainnya berbicara atas Nama Allah, ‘Puasa itu adalah bagi-Ku’ merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah swt.

Tentang Kemiskinan Spiritual

Beliau ditanya, “Mengapa mereka disebut al-fuqara (orang yang miskin)?” Beliau menjawab, “Karena mereka miskin, namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi Ibrahim as, ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril as datang dan bertanya ‘Apakah kau perlu pertolongan?,’ dijawabnya, ‘Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.’

Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan.

Beliau pernah ditanya, ‘Siapakah si miskin itu?’ Tak seorang pun menjawabnya. Beliau berkata, ‘Si miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan.’

Tentang Adab terhadap Syaikh Seseorang

Amatlah penting bagi para pengikut, bila dia merasa bingung terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan Syaikhnya dan tak dapat memahami alasannya, untuk bersabar dan menjalankannya, dan tak menjadi curiga. Bila dia seorang pemula, dia mungkin bertanya; namun bila dia seorang murid, dia tak punya alasan untuk bertanya dan harus tetap bersabar dengan apa yang belum dia pahami. Adalah tak mungkin untuk meraih cinta dari hamba-hamba Allah hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.

Dalam Thariqat kita, terdapat tiga kategori adab:

Adab karimah terhadap Allah swt yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah swt.

Adab karimah terhadap Nabi Muhammad saw, mengharuskan murid untuk membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan dalam ayat in kuntum tuhibbun Allah fattabi’unii (bila kamu ingin mencintai Allah, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia harus mengikuti semua keadaan Rasulullah saw. Dia harus tahu bahwa Rasulullah saw adalah jembatan antara Allah swt dengan mahkluk-Nya dan bahwa segala sesuatu di bumi ini berada di bawah perintahnya yang mulia.

Adab karimah terhadap para Syaikh merupakan suatu keharusan bagi setiap pencari. Para Syaikh merupakan penyebab dan alat untuk mengikuti jejak Rasulullah saw. Adalah suatu kewajiban bagi para pencari, baik dalam kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk menjalankan perintah-perintah dari Syaikh tersebut.

Suatu saat salah satu pengikutku memberiku salam. Aku tidak menjawabnya, meskipun merupakan keharusan dalam Sunnah untuk membalas salam. Hal ini membuat pengikutku tersebut kecewa. Aku mengirim seseorang kepadanya untuk meminta maaf, berkata kepadanya, ‘Pada saat itu, ketika engkau memberiku salam, pikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku sedang hilang sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan Allah kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman Allah sehingga Aku tak mampu membalas siapapun.’

Tentang Niat

Sangatlah penting untuk meluruskan niat, karena niat itu dari dunia ghaib, bukan dari dunia materi. Untuk alasan tersebut, Ibnu Sirin (penulis buku tabir mimpi) tidak berdo’a pada shalat jenazah Hasan al-Basri qs. Beliau berkata, ‘Bagaimana Aku dapat berdo’a ketika niatku belum mencapaiku dan menghubungkanku dengan yang ghaib?’ Niat (niyyah) sangat penting, karena dia terdiri atas 3 huruf, yaitu: Nun, yang melambangkan nur Allah, Cahaya Allah; ya, yang melambangkan yad Allah, Tangan Allah; dan ha, yang melambangkan hidayat Allah, Bimbingan Allah. Niat adalah hembusan jiwa.

Tentang Tugas-Tugas Para Awliya

Allah swt menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik, tetapi orang-orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan materialistik mereka.

Hamba-hamba Allah menanggung beban penciptaan agar semua ciptaan belajar darinya. Allah swt melihat pada hati Awliya-Nya dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekeliling wali itu dia akan mendapat berkah dari cahaya tersebut.

Syaikh harus mengetahui tingkatan muridnya dalam tiga kategori, yaitu: di masa lalu, masa kini, dan masa depan agar dia dapat menaikkan (maqam)-nya.

Siapa pun yang melakukan bay’at dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai kita, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika dia berada di Timur dan kami di Barat, kami memeliharanya dengan aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.

Tentang Dzikir Keras (Zahar) dan Dzikir Dalam Hati (Khafi)

Dari kehadiran al-Azizan ada dua metode dzikir, yaitu dzikir khafi (dalam hati) dan dzikir zahar (keras). Aku menyukai dzikir dalam hati karena dia lebih kuat dan lebih bijaksana.

Izin untuk melakukan dzikir harus diberikan oleh orang yang sempurna, agar bisa mempengaruhi orang yang menggunakannya, sebagaimana halnya panah dari seorang yang ahli memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.

Beliau menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 Prinsip Syaikh Abdul Khaliq:

Prinsip-prinsip Naqshbandi

‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani menuliskan paragraf berikut sebagai prinsip-prinsip Jalan Sufi Naqshbandi:

1. Pernafasan yang Sadar (“Hosh dar Dam”)

Hosh berarti “pikiran.” Dar berarti “masuk.” Dam berarti “nafas.” Menurut Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs , artinya:

“Pencari yang bijak harus melindungi nafasnya dari ketidakpedulian, keluar dan masuk, agar hatinya selalu dalam Kehadirat Ilahiah; dan ia harus membangun nafasnya dengan penghambaan dan pelayanan kepada Tuhannya secara bergairah. Karena setiap nafas keluar dan masuk dengan Kehadirat adalah hidup dan tersambung dengan Kehadirat Ilahiah. Setiap nafas keluar dan masuk tanpa perhatian adalah mati dan tidak tersambung dengan Kehadirat Ilahiah.

Ubaidullah al-Ahrar qs berkata, “Misi terpenting seorang pencari di Jalan ini adalah menjaga nafasnya, dan siapapun yang tidak bisa menjaga nafasnya, akan disebut dengan, ‘kehilangan dirinya.’

Shah Naqshband qs berkata, “Jalan ini dibangun dari nafas. Maka menjadi suatu keharusan bagi siapapun untuk menjaga nafasnya pada saat menarik dan mengeluarkannya, yaitu pada interval penarikan dan pengeluaran.”

Shaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra menulis dalam bukunya, Fawatih al-Jamal, “Zhikr adalah pengaliran didalam badan setiap makhluk hidup melalui nafas mereka – meski tanpa keinginan – sebagai tanda kepatuhan, sebagai bagian dari ciptaan mereka. Melalui nafas mereka, suara lafal “Ha” dari Nama Ilahiah Allah terbentuk dari setiap ekshalasi dan inhalasi, sebagai tanda Zat Yang Tak Terlihat untuk menekankan Keunikan Tuhan. Maka dari itu, penting untuk hadir bersama nafas tersebut, untuk menyadari Esensi Sang Pencipta.”

Kata ‘Allah’ yang mencakup 99 Nama dan Atribut terdiri dari empat huruf, Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Kaum Sufisme mengatakan bahwa Esensi tidak terlihat (gaib) mutlak dari Allah YME dinyatakan oleh huruf terakhir Alif, “Ha.” Selain itu juga mewakili Gaib Mutlak “Diri-nya” (“He-ness”) dari Tuhan Yang Mulia (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah ‘azza wa jall). Huruf Lam pertama adalah untuk mengidentifikasi (tacrif) dan huruf Lam kedua adalah untuk penekanan (mubalagha).

Menjaga nafas dari ketidakpedulian akan membawa kalian pada Kehadirat yang utuh. Kehadirat yang utuh akan membawa kalian pada Penglihatan yang utuh. Penglihatan yang utuh akan membawa kalian pada Manifestasi Sembilanpuluh-sembilan Nama dan Atribut Allah. Kemudian Allah membawa kalian kepada Manifestasi Sembilanpuluh-sembilan Nama dan AtributNya dan semua AttributNya yang lain, karena dikatakan, “Atribut Allah adalah sebanyak ragam nafas manusia.”

Harus diketahui oleh setiap orang bahwa menjaga nafas dari ketidakpedulian adalah sulit bagi para pencari. Untuk itu menjaganya harus dengan permohonan ampun (istighfar) karena hal itu akan membersihkan dan menyucikan nafas serta mempersiapkan para pencari untuk Manifestasi Sesungguhnya dari Allah, dimanapun.

2. Hati-hati dengan Langkah Kalian (“Nazar bar Qadam”)

Kalimat diatas berarti para pencari harus memperhatikan kakinya sewaktu berjalan. Dimanapun akan melangkah, matanya harus disitu. Ia tidak boleh melihat kesana sini, kanan kiri atau didepannya, karena pandangan yang tidak perlu akan menyelubungkan hati. Kebanyakan selubung hati dibentuk oleh gambaran yang diambil oleh mata kedalam pikiran sepanjang siang hari. Hal ini bisa mengganggu hatimu dengan guncangan yang disebabkan oleh berbagai keinginan yang masuk dalam pikiran.

Gambaran ini menjadi selubung bagi hati yang menutupi Cahaya Kehadirat Ilahiah. Maka itu para wali Sufi tidak mengijinkan pengikutnya, yang telah membersihkan hatinya dengan zkir terus-menerus, untuk melihat selain kakinya. Hati mereka bagaikan kaca, merefleksikan dan menerima setiap kesan dengan mudah. Hal ini bisa mengalihkan perhatian dan mengakibatkan ketidakmurnian bagi hati mereka. Maka itu para pencari diperintahkan untuk merendahkan pandangan agar tidak terkena panah setan.

Merendahkan pandangan juga pertanda kerendahan diri; karena orang yang sombong tidak pernah melihat kearah kaki mereka. Hal itu juga suatu pertanda bahwa orang tersebut mengikuti jejak Nabi , yang kalau berjalan tida pernah melihat kanan atau kiri, melainkan kearah kakinya, serta berjalan pasti kea rah tujuan. Selain itu juga pertanda bagi tingkatan tinggi, kalau para pencari tidak memandang arah lain kecuali kea rah Tuhannya. Seperti orang yang ingin cepat sampai tujuan, begitu juga para pencari Kehadirat Ilahi, tidka melihat kanan atau kiri, tidak melihat keinginan dunia, tetapi melihat hanya Kehadirat Ilahi.

Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) menulis didalam surat ke 295 Maktubat:

“Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Kenaikan ke tingkat tinggi didahului oleh Penglihatan, diikuti oleh langkah. Ketika Langkah mencapai tingkat Kenaikan Pandangan, maka Pandangan akan naik ke tingkat lainnya, dimana Langkah mengikuti. Kemudian Pandangan akan terangkat lebih tinggi dan Langkah akan ikut naik.

Begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai tingkat Kesempurnaan yang akan menarik Langkah pula. Kita mengatakan, ‘Ketika Langkah mengikuti Pandangan, maka murid telah mencapai tingkat Kesiapan dalam mendekati Langkah-langkah Nabi, semoga damai bersamanya. Maka Langkah-langkah Nabi dianggap sebagai ”Awal dari semua langkah.'”

Shah Naqshband (q) berkata, “Kalau kita melihat kesalahan teman, maka kita tidak akan punya teman, karena tidak orang yang sempurna.”

3. Perjalanan Pulang (“Safar dar Watan”)

Kalimat diatas berarti melakukan perjalanan ke tempat asalnya. Artinya para pencari melakukan perjalanan dari dunia ciptaan ke dunia Penciptanya. Nabi berkata, “Aku menuju Tuhanku dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik.” Dikatakan bahwa para pencari haurs melakukan perjalanan dari Keinginan yang dilarang ke Keinginan akan Kehadirat Ilahi.

Naqshbandi Sufi membagi perjalanan tersebut kedalam dua kategori, yaitu eksternal dan internal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu daratan ke daratan lainnya mencari panduan yang paling tepat dan mengarahkan ke tujuan kalian. Hal ini akan memungkinkan kalian pindah ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Para pencari, sekali bertemu panduan yang tepat, mereka dilarang melakukan perjalanan eksternal lainnya. Didalam perjalanan eksternal terdapat banyak kesulitan yang tidak bisa ditahan para pemula tanpa jatuh kedalam tindakan yang dilanggar, karena mereka lemah dalam penghambaan.

Kategori kedua adalah perjalan internal. Perjalanan internal memerlukan para pencari meninggalkan adab rendahnya dan pindah ke adab tinggi, untuk membuang dari hati semua keinginan dunianya. Ia akan diangkat dari tingkat kekotoran ke tingkat pembersihan. Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal. Hatinya sudah bersih bagaikan air murni, sebening kristal, sebening kaca, menunjukkan realita semua urusan yang penting dalam kehidupannya, tanpa perlu tindakan eksternal dari dirinya. Di hatinya akan tampak semua yang diperlukan demi kehidupan diri dan orang-orang sekelilingnya.

4. Kesendirian dalam Kerumunan (“Khalwat dar Anjuman”)

“Khalwat” berarti menyepi. Artinya diluar bersama orang-orang meski didalam tetap bersama Tuhan. Ada dua kategori khalwat. Pertama ialah khalwat eksternal dan kedua ialah khalwat internal.

Khalwat eksternal memerlukan para pencari agar menyepikan dirinya di suatu tempat tanpa kehadiran manusia. Tinggal seorang diri, konsentrasi dan meditasi untuk Zhikrullah, mengingat Tuhan, demi pencapaian suatu tingkat dimana Kerajaan Surga menjadi wujud. Kalau kalian merantai rasa eksternal, maka rasa internal akan bebas mencapai Kerajaan Surga. Hal ini akan membawa kalian ke kategori kedua: khalwat internal.

Khalwat internal artinya menyepi diantara manusia. Sehingga hati para pencari harus hadir bersama Tuhannya dan tidak bersama CiptaanNya, sementara ia hadir secara fisik diantara manusia. Dikatakan bahwa, “Para pencari akan melakukan Zikir hati secara mendalam, bahkan jika ia masuk kedalam kerumunan, maka ia tidak akan mendengar suara mereka. Tingaktan Zikir begitu menguasainya.

Manifestasi Kehadirat Ilahiah menarik dan membuatnya tidak sadar akan semua kecuali Tuhannya. Inilah tingkatan tertinggi khalwat, dan dianggap sebagai khalwat sesungguhnya, seperti ditulis dalam Qur’an Suci: “Seseorang yang urusan atau keuntungan tidak menariknya untuk bersama Tuhan ” [24:37]. Ini adalah jalan Naqshbandi.

Khalwat terpenting dari para shaykh Naqshbandi adalah khalwat internal. Mereka bersama Tuhan tetapi juga terus bersama orang. Sesuai sabda Nabi, “aku punya dua sisi: satu menghadap Penciptaku dan yang satunya menghadap ciptaan.” Shaikh Naqshband menekankan kebaikan dari perkumpulan ketika ia berkata: Tariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jamciyyat, “Jalan Kami adalah Pertemanan, dan Kebaikan ada dalam Perkumpulan .

Dikatakan bahwa orang beriman yang bisa bergaul dan ikut merasakan kesulitan orang lain adalah lebih baik dibandingkan dengan orang beriman yang menjauhi orang. Dalam hal tersebut, Imam Rabbani berkata,

“Harus diketahui bahwa pencari, pada awalnya bisa melakukan khalwat eksternal untuk mengasingkan diri dari manusia, menghamba dan berkonsentrasi pada Allah, Yang Maha Kuasa dan Maha Agung, sampai ia mencapai tingkat yang lebih tinggi. Pada saat itu, ia akan dinasehati oleh shaikhnya, seperti kata Sayyid al-Kharraz, ‘Kesempurnaan bukanlah pertunjukkan kekuatan hebat, tetapi kesempurnaan ialah untuk duduk bersama diantara orang lain, menjual dan membeli, menikah dan punya anak; tanpa pernah sedetikpun melupakan kehadirat Allah.'”

5. Pengingatan yang Penting (“Yad Kard”)

Arti dari ‘Yad’ adalah Zhikr dan arti dari ‘kard’ adalah inti dari Dhikr. Pencari harus melakukan Zkir dengan penolakan dan penerimaan di lidahnya sampai ia mencapai tingkat kontemplasi dalam hati (muraqaba). Tingkatan ini akan dicapai dengan membaca penolakan (LA ILAHA) dan penerimaan (ILLALLAH) oleh lidah setiap hari, antara 5,000 dan 10,000 kali, membuang elemen yang menodai dan mengeraskan hati. Zhikr ini memoles hati dan mengangkat pencari ke tingkat Manifestasi. Ia harus menjaga zhikr harian tersebut, baik melalui hati atau lidah, mengulang ALLAH, nama Esensi Tuhan yang mengandung semua Nama dan Atribut lain, atau dengan penolakan dan penerimaan melalui pembacaan LA ILAHA ILLALLAH.

Zikir harian ini akan membawa pencari ke hadirat yang sempurna dari yang Esa, yang dipuja. Zhikr dengan penolakan dan penerimaan, dalam tatakrama Para Guru Sufi Naqshbandi, mengharuskan pencari untuk menutup mata, mulut, mengatupkan gigi, menempelkan lidah ke langit-langit rongga mulut, dan menahan nafas. Ia harus membaca zhikr dengan hati (penolakan dan penerimaan) dimulai dengan kata LA (“Tidak”).

Ia mengangkat “Tidak” ini dari bawah pusar ke pikirannya. Sampai didalam pikiran, kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAHA (“Tuhan”), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan mengenai hati dengan ILLALLAH (“kecuali Tuhan “). Ketika kata itu mengenai hati, maka energi dan panasnya menyebar ke semua bagian tubuh. Pencari yang telah menolak semua yang ada di dunia dengan kata LA ILAHA, menerima dengan kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah ditiadakan di Kehadirat Ilahi.

Pencari mengulang kata ini dengan setiap nafas, keluar dan masuk, selalu membawanya kedalam hati, sesuai jumlah pengulangan yang dituliskan kepadanya oleh shaikhnya. Lamabt laun pencari akan mencapai tingkat dimana dalam satu nafas ia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH sebanyak 23 kali. Seorang shaikh yang sempurna dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH dengan jumlah tak terbatas disetiap nafas. Arti dari ibadah ini adalah bahwa tujuan tunggalnya ialah ALLAH dan tidak ada tujuan lain bagi kita. Melihat Kehadirat Ilahi sebagai Keberadaan Tunggal setelah semua mengenai hati murid dengan cinta Nabi dimana beliau bersabda, MUHAMMADUN RASULULLAH (“Muhammad adalah Nabi Tuhan “) yang merupakan hati dari Kehadirat Ilahi.

6. Kembali (“Baz Gasht”)

Ini adalah suatu tingkatan dimana pencari, yang melakukan Zkir dengan penolakan dan penerimaan, memahami kalimat Nabi , ilahi anta maqsusdi wa ridaka matlubi (“O Tuhanku, Kau adalah Tujuanku dan KepuasanMu adalah sasaranku.”) Pembacaan kalimat ini akan meningkatkan kesadaran pencari akan Ke-Esaan Tuhan, sampai ia pada tingkatan dimana keberadaan semua ciptaan lenyap dari matanya. Semua yang dilihat, kemanapun ia berpaling, adalah Yang Mutlak.

Para murid Naqshbandi membaca zkir jenis ini dengan maksud menarik rahasia Ke-esaan dari hati mereka, dan membuka diri akan Realita Kehadirat Ilahi yang Unik. Pemula tidak berhak meninggalkan zkir ini kalau ia tidak menemukan kekuatan yang muncul dalam hatinya. Ia harus terus membacanya, mengikuti Shaykhnya, karena Nabi bersabda, “Siapapun yang meniru suatu kelompok, maka akan menjadi milik kelompok itu.” Dan siapapun meniru gurunya, suatu hari akan terbuka rahasia didalam hatinya.

Arti dari kalimat “baz gasht” ialah kembali ke Allah Yang Agung dan Kuasa dengan mutlak berserah diri kepada keinginanNya, dan kerendahan hati yang mutlak dalam memberikanNya seluruh pujian. Inilah alasan Nabi bersabda, ma dhakarnaka haqqa dhikrika ya Madhkur (“Kami tidak MengingatMu seperti yang Pantas Kau dapatkan, Ya Allah”). Pencari tidak bisa datang kepada Allah dengan zkirnya, dan tidak bisa mewujudkan Rahasia dan Atribut Allah dalam zkirnya, kalau ia tidak melakukan zkir dengan dukungan dan Ingatan Allah terhadapnya.

Seperti kata As Bayazid : “Ketika aku mencapaiNya, aku melihat bahwa IngatanNya akan diriku mendahului ingatanku akan Dirinya.”. Pencari tidak bisa melakukan zkir sendiri. Ia harus tahu bahwa Allah yang melakukan Zkir melalui dirinya.

7. Kepedulian (“Nigah Dasht”)

“Nigah” berarti pandangan. Artinya pencari harus memperhatikan dan menjaga hatinya dengan melindunginya dari pikiran buruk yang masuk. Pilihan yang buruk menghambat hati untuk bergabung dengan Ilahi. Pengetahuan Naqshbandiyya menyatakan bahwa seorang pencari yang bisa menjaga hati dari pilihan yang buruk selama limabelas menit adalah suatu kemajuan besar.

Untuk itu seseorang bisa dianggap sebagai Sufi yang sesungguhnya. Sufisme adalah kekuatan menjaga hati dari pikiran buruk dan menjaganya dari pilihan yang rendah. Siapapun yang mencapai kedua tujuan ini akan mengetahui isi hatinya, dan siapapun yang mengetahui isi hatinya akan mengetahui Tuhannya. Nabi bersabda, “Siapapun yang mengetahui dirinya maka ia mengetahui Tuhannya.”

Seorang sheikh Sufi berkata, “Karena aku menjaga hatiku selama sepuluh malam, hatiku telah menjagaku selama duapuluh tahun.”

Abu Bakr al-Qaittani berkata, “Aku adalah penjaga pintu hatiku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membukanya selain untuk Allah, Yang Kuasa dan Yang Terpuji, sampai hatiku tidak mengenal siapapun selain Allah Yang Kuasa dan Terpuji.”

Abul Hassan al-Kharqani berkata, “Telah 40 tahun Allah melihat kedalam hatiku dan tidak melihat siapapun keculai Dirinya. Dan tidak ada ruang dihatiku selain untuk Allah.”

8. Pengingatan (“Yada Dasht”)

Artinya pembaca Zhikr menjaga hatinya dengan penolakan dan penerimaan disetiap nafas tanpa meninggalkan Kehadirat Allah. Hal ini membutuhkan seorang pencari untuk menjaga hatinya dalam Hadirat Ilahi Allah terus menerus. Hal ini juga membuatnya sadar dan mewujudkan Cahaya Esensi Unik (anwar adh-dhat al-Ahadiyya) Tuhan.

Kemudian ia menyampaikan tiga dari keempat bentuk pemikiran yang berbeda: pemikiran egoistik, pemikiran setan, dan pemikiran malaikat, sementara menyembunyikan bentuk pemikiran keempat, yaitu haqqani atau pemikiran terbenar. Hal ini akan membawa seorang pencari ke tingkat tertinggi kesempurnaan dengan membuang seleuruh imajinasinya dan mengambil hanya Realitanya yaitu Ke-esaan Allah, Yang Kuasa dan Agung.

9.Kesadaran akan Waktu (Wuquf Zamani)

Kesadaran akan waktu berarti memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek kecenderungan seseorang kepada kelalaian. Para pencari harus mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bergerak menuju kematangan spiritual dan harus mengenal di tempat apa dia telah sampai dalam perjalannya menuju Hadirat Ilahi.

Para pencari harus membuat kemajuan dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia harus menjadi sadar bahwa dalam segala usahanya dan dalam segala tindakannya Allah menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para pencari harus membuat catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari dan setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik, dan setiap saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Jika tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt.

Ya’qub al-Charki qs berkata bahwa Syaikhnya, Ala’uddin al-Attar qs berkata, Dalam keadaan depresi, engkau harus banyak beristighfar (memohon ampunan Allah), dan dalam keadaan bergembira, harus banyak bersyukur kepada Allah swt. Sebagai pertimbangan kedua keadaan ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah arti dari wuquf zamani.

Syah Naqsyband qs menerangkan keadaan tersebut dengan berkata, “Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika engkau mengikuti syari’ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah swt, bila tidak, maka engkau harus memohon ampun”.

Yang penting bagi seorang pencari dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil agar tetap aman. Dia harus menjaga dirinya dan menilai apakah dia dalam Hadirat Allah atau dalam hadirat egonya, setiap saat dalam hidupnya. Syah Naqsyband qs berkata, ‘Engkau harus mengevaluasi bagaimana engkau menghabiskan waktumu: dalam Kehadiran atau dalam Kelalaian.’

10. Kesadaran akan Jumlah (Wuquf `Adadi)

Kesadaran akan jumlah berarti para pencari yang sedang berdzikir harus memperhatikan bilangan dzikir yang tepat yang diperlukan dalam dzikir khafi. Menjaga hitungan dzikir ini bukan untuk perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari pikiran buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin.

Pilar dzikir melalui perhitungan adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam dzikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada realitas bahwa setiap orang membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.

Syah Naqsyband qs berkata, “Memperhatikan jumlah dzikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan Pengetahuan Surgawi (`ilm ul-ladunni).” Ini berarti perhitungan itu mengantarkan seseorang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Semua makhluk membutuhkan Zat Yang Maha Esa.

11. Kesadaran akan Hati (Wuquf Qalbi)

Kesadaran akan hati berarti mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi, di mana dia tidak akan melihat yang lain kecuali Yang Paling Dicintainya. Hal itu berarti untuk mengalami manifestasi-Nya (tajjali) dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar qs berkata, “Tingkat Kesadaran Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga engkau tidak bisa melihat yang lain selain Dia.”

Dalam situasi demikian seseorang memusatkan tempat dzikirnya dalam hati sebab inilah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan, di dalam hati. Dzikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi gejolak dalam hati.

Wa min Allah at Tawfiq

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Adab-Adab bagi Salik

Syaikh Samman: Pendiri Tarekat Sammaniyah

Surah Yasin: Pengalaman Mistis Imam Ibn ‘Arabi

Syaikh Fariduddin Attar: Penyair Sufi Yang Melegenda

Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?

Tebusan

Al-‘Arsy, Al-Kursi, Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-Qalam

Kopi Panas dan Jin

Menjadi Sufi Yang Kaya Lahiriah Zuhud Batiniah

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Hadits Jibril

Pangeran Diponegoro

Sebaik-Baik Orang Adalah Yang Mengingatkan Pada Allah Ketika Melihat Dirinya

Hadits: Doa Meminta Kenikmatan Memandang Wajah Allah

Mahabbah (Mencintai Allah)

Manaqib Syaikh Baha’uddin Naqshbandi

Abu Dzarr al-Ghiffari: Pelopor Gerakan Hidup Sederhana

Manaqib Syaikh Baha’uddin Naqshbandi