Keterkaitan Sanad, Mursyid, Wushul dan Makrifat

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
3 min read

Makrifat adalah nampaknya batin kita pada rahasia Ketuhanan serta ditampakkannya oleh Allah Ta’ala mengenai ilmu tentang keteraturan persoalan wujud yg meliputi segala wujud. Adapun makrifat itu terjadi di hati. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata:

عرفت ربي بعين قلبي لا شك انت انت

Dalam keterangan ini, Sayyidina Ali kw. menyaksikan Allah Ta’ala dengan mata batin dan tidak ada keraguan di dalamnya. Sayyidina Ali kw. juga memberitahu bahwa yg bisa mencapai makrifat hanyalah hati, maka mata hati disebut juga dengan Sirr, atau ‘ainul bashirah.

Sirr (سر) dalam bahasa Al-Qur’an disebut juga lub (لب) sehingga orang yg mata hatinya sudah terbuka dan kasyaf disebut juga “اولو الألباب”. Orang yg demikian itu memiliki dua kemampuan, yaitu:

– Ia yg dalam posisi apapun, baik berdiri, duduk bahkan berbaring, hanya Allah Ta’ala yg ia ingat di hatinya.

– Ia yg ahli dalam berargumen, sehingga tidak mungkin Allah Ta’ala mengutus seorang wali yg memiliki keterbatasan berfikir di antara manusia² lain.

Untuk melatih diri menuju maqam makrifat, murid harus memiliki Mursyid yg sudah wushul dan sanadnya sudah tersambung pada Rasulullah Saw. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab Sirrul Asrar mengatakan bahwa manusia itu terhijab dan untuk membuka hijab itu membaca Laa ilaaha illallaah yg di talqinkan orang yg sambung sanadnya ke Rasulullah Saw.

Pada suatu ketika, Imam Hanafi mengajak muridnya pergi ke suatu tempat. Namun keduanya dihadapkan oleh sungai besar. Karena tidak ada alat untuk menyeberang, Imam Hanafi mengajak muridnya untuk berjalan di atas air. Ia berkata, “Nanti jika engkau menyebrangi sungai ini, maka ucapkanlah Yaa Syaikhi Hanafi “يا شيخي حنفي”. Sedangkan pada saat itu, Imam Hanafi hanya berucap, Bismillaahirrahmaanirrahiim. Lalu keduanya berjalan di atas air selayaknya berjalan di atas kaca. Sesampainya di tengah penyeberangan sang murid berfikir, “Mengapa aku membaca kalimat tersebut? Bukankah dalam hadits disebutkan setiap perkara itu harus dimulai dengan bismillah?” Kemudian ia mengubah bacaannya dengan bismillah. Seketika ia tercebur ke dalam air dan ditolong oleh Imam Hanafi. Kemudian sang wali bertanya, “Bacaan apa yg engkau ubah? Kembalilah pada bacaan sebelumnya.” Dan keduanya kembali berjalan sebagaimana perjalanan semula.

Setelah mereka berdua sampai di tepi sungai, sang murid bertanya, “Mengapa ketika aku membaca bismillah, justru aku tenggelam? Tetapi mengapa ketika menyebut namamu justru aku tidak tenggelam? Dan mengapa engkau menyebut bismillah tetapi tidak tenggelam?” Imam Hanafi menjawab, “Sesungguhnya aku sudah mengenal Allah. Sehingga ketika aku menyebut nama-Nya, maka semua ditundukkan kepadaku. Sedangkan engkau tidak mengenal Allah dan hanya mengenalku.”

Dalam kisah di atas jelas diterangkan bahwa seorang murid tidak akan bisa wushul tanpa Mursyid yg sudah wushul. Maka ketika seseorang ingin mengambil bai’at dirinya kepada suatu thariqah, sesunggunya ia telah menyambungkan sanad sampai pada Rasulullah Saw. Karena ia yg telah diangkat sebagai Mursyid sejatinya karena telah mendapat restu dari Rasulullah Saw.

Selain pentingnya keberadaan Mursyid, untuk mencapai wushul ila ma’rifatillah diperlukan juga adab yg baik. Puncaknya adalah ketika syariat sudah baik, untuk masuk ke dalam hakikat, syaratnya adalah syariat dan adab. Tanpa keduanya, wushul tidak akan pernah terjadi. Sehingga setelah murid sampai pada makrifatillah, ia akan ditampakkan di antara dua hal sebagaimana yg dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani:

– Ditampakkannya Jalalullah. Jika yg dibuka adalah Jalalullah (Keperkasaan Allah) maka efek batinnya orang itu akan merasa kecil, merasa hina, seolah-olah dalam perasaan batinnya, ia digenggam dan dicengkeram oleh kekuasaan Allah Ta’ala (Qabdh). Akibatnya, ia akan menangis terus-menerus. Karena itu Sayyid Abdullah al-Haddad mengatakan bahwa jangan mengambil Guru orang yg tidak pernah menangis.

– Ditampakkannya Jamalullah. Jika yg dibuka adalah jamalullah (Keindahan Allah), maka efek batinnya orang itu akan selalu bahagia. Ia akan ditunjukkan dengan maqamnya, dipertemukan dengan Rasulullah Saw., batinnya seperti lapangan yg begitu luas (basth). Akibatnya, ia akan banyak tersenyum dan tertawa. Karena itu Imam Quthb Abu Hasan as-Syadzili mengatakan bahwa jangan mengambil Guru yg tidak pernah tersenyum.

Sehingga, murid yg diangkat menjadi waliyullah itu terbagi menjadi dua, yaitu yg senang menangis dan yg senang tertawa. Tergantung bagaimana hijab yg dibuka oleh Allah Ta’ala. Dan yg paling penting sebelum mencapai maqam tersebut adalah bagaimana kesiapan batin kita sebagaimana yg telah dijelaskan Imam Ghazali bahwa syaratnya makrifat itu tiga, yaitu suci, batin yg kuat dan serius menghadap Allah Ta’ala.

Wallāhu a’lam bisshawwab.

Sumber:
https://jatman.or.id/keterkaitan-sanad-mursyid-wushul-dan-makrifat/?fbclid=IwAR2c0ZHHD3vg5QJoEvkMYqbTOfIuT-fqIScwUIEqP0ulHaZ7m60MrwLEN8Y

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Dalil Membakar Buhur/Dupa dalam Majelis Dzikir dan Maulid

Sungai di Surga (Al-Kautsar)

Shahwu (Kesadaran Hakiki), Sakar & Syatahat

Keterkaitan Sanad, Mursyid, Wushul dan Makrifat

Martabat 7

20 Sifat Mustahil bagi Allah

Hubungan Istighfar Dengan Shalawat

Mengenal Bisikan Dalam Jiwa

Hidup Ini Terlalu Singkat

Imam Al-Ghazali: Sang Hujjatul Islam

Jin

Karomah YM. Ayahanda: Batu Bata Berubah Menjadi Emas

Adab-Adab bagi Salik

Khirqah

Syaikh Abu Hasan as-Syadzili: Sufi Agung Syadziliyah

Insan Kamil

Definisi Mursyid

Keterkaitan Sanad, Mursyid, Wushul dan Makrifat