طَرِيقُ الوُصُولِ إِلَى الله
Tarekat Wushul kepada Allah.
وَإِنَّ السَّيْرَ في طَرِيقِ الوُصُولِ إِلَى اللهِ تَعَالَى صِفَةُ الْمُؤْمِنِينَ الصَّالِحِينَ، وَمِنْ أَجْلِهِ جَاءَ الأَنْبِيَاءُ وَالْمُرْسَلُونَ (عَلَيْهِم السَّلَامُ)، وَإِلَيْهِ يَدْعُو العُلَمَاءُ وَالْمُرْشِدُونَ، كَيْ يَرْتَقِيَ الْمَرْءُ مِنْ حَضِيضِ الْمَادِّيَّةِ وَالحَيَوَانِيَّةِ إِلَى مُسْتَوَى الإِنْسَانِيَّةِ وَالْمَلَكِيَّةِ، وَيَذُوقَ نَعِيمَ القُرْبِ وَلَذَّةَ الأُنْسِ بِاللهِ تَعَالَى.
Sesungguhnya aktivitas bertarekat demi menggapai wushul kepada Allah itu merupakan sifat orang² mukmin yg shaleh² (maka jika tidak bertarekat belum termasuk golongan orang mukmin). Alasan tarekat itulah yg menjadi dasar diturunkan para Nabi dan Rasul. Dan dengan tarekat itulah para ulama’ dan para mursyid berdakwah, dengan maksud agar seseorang naik dari dominasi rendahnya sifat nafsu hayawan hingga menjadi manusia sempurna dan taat seperti malaikat kemudian dapat menikmati nikmatnya kedekatan dan intimnya berhubungan dengan Allah.
وَإِنَّ الطَّرِيقَ وَاحِدَةٌ في حَقِيقَتِهَا، وَإِنْ تَعَدَّدَتِ الْمَنَاهِجُ العَمَلِيَّةُ، وَتَنَوَّعَتْ أَسَالِيبُ السَّيْرِ وَالسُّلُوكِ تَبَعاً للاجْتِهَادِ وَتَبَدُّلِ الْمَكَانِ وَالزَّمَانِ، وَلِهَذَا تَعَدَّدَتِ الطُّرُقُ الصُّوفِيَّةُ، وَهِيَ في ذَاتِهَا وَحَقِيقَتِهَا وَجَوْهَرِهَا طَرِيقٌ وَاحِدَةٌ.
Tarekat itu jika ditinjau dari perspektif hakikat hanya ada 1 tarekat, tetapi jika ditinjau dari bentuk prosedur dan aktivitasnya jumlahnya menjadi tak terbilang. Selanjutnya dari jumlah yg tak terbilang tersebut berkembang lagi menjadi banyak teknik tarekat dan suluk berdasarkan ijtihad dan tuntutan keadaan dan zaman. Oleh karena inilah maka nama² tarekat jumlahnya sangat banyak. Inilah (sangat banyak) wujud lembaganya (dzatnya), namun jika dikembalikan dalam perspektif hakikat dan bibit/inti tarekatnya maka hanya ada satu.
وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِالوُصُولِ الْمَعْنَى الْمَفْهُومُ بَيْنَ ذَوَاتِ الأَشْيَاءِ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى جَلَّ أَنْ يَحُدَّهُ مَكَانٌ أَو زَمَانٌ. وَلِذَا قَالَ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ السَّكَنْدَرِيُّ: (وُصُولُكَ إِلَى اللهِ وُصُولُكَ إِلَى العِلْمِ بِهِ، وَإِلَّا فَجَلَّ رَبُّنَا أَنْ يَتَّصِلَ بِهِ شَيْءٌ، أَو يَتَّصِلَ هُوَ بِشَيْءٍ).
Pengertian wushul dalam tarekat itu bukanlah bertemunya 2 benda (dzat) seperti yg disalah artikan oleh orang banyak karena Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata:
Engkau wushul/sampai kepada Allah itu maksunya adalah engkau wushul/sampai kepada “ilmu dengan-Nya”, jika tidak didefinisikan demikian maka Maha Agung Allah dari anggapan rendah dalam pengertian kebendaan sesuatu telah sampai pada Allah (yg dibayangkan sebagai benda) atau Allah sampai pada benda tersebut.
وَقَالَ الإِمَامُ الغَزَالِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: (مَعْنَى الوُصُولِ هُوَ الرُّؤْيَةُ وَالْمُشَاهَدَةُ بِسِرِّ القَلْبِ في الدُّنْيَا وَبِعَيْنِ الرَّأْسِ في الآخِرَةِ، فَلَيْسَ مَعْنَى الوُصُولِ اتِّصَالَ الذَّاتِ بِالذَّاتِ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّاً كَبِيراً).
Imam Ghazali berkata:
“Makna wushul itu adalah melihat di dunia dengan penyaksian mata hati dan menyaksikan Allah di akhirat dengan penyaksian mata lahir. Makna wushul itu bukanlah dzat bertemu dengan dzat (sesuatu bertemu sesuatu), Maha Luhur Allah dengan Kedahsyatan Keluhuran-Nya dari perspektif yg demikian.
وَفِي هَذَا الْمَعْنَى قَالَ ابْنُ القَيِّمِ: (النَّاسُ قِسْمَانِ: عِلْيَةٌ وَسِفْلَةٌ، فَالعِلْيَةُ: مَنْ عَرَفَ الطَّرِيقَ إِلَى رَبِّهِ وَسَلَكَهَا قَاصِداً للوُصُولِ إِلَيْهِ، وَهَذَا هُوَ الكَرِيمُ عَلَى رَبِّهِ، وَالسِّفْلَةُ: مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الطَّرِيقَ إِلَى رَبِّهِ وَلَمْ يَتَعَرَّفْهَا، فَهَذَا هُوَ اللَّئِيمُ الذي قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ}. وَالطَّرِيقُ إِلَى اللهِ في الحَقِيقَةِ وَاحِدَةٌ لَا تَعَدُّدَ فِيهَا… وَأَمَّا مَا يَقَعُ في كَلَامِ بَعْضِ العُلَمَاءِ أَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى اللهِ مُتَعَدِّدَةٌ مُتَنَوِّعَةٌ، جَعَلَهَا اللهُ كَذَلِكَ لِتَنَوُّعِ الاسْتِعْدَادَاتِ وَاخْتِلَافِهَا، رَحْمَةً مِنْهُ وَفَضْلاً، فَهُوَ صَحِيحٌ لَا يُنَافِي مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ وَحْدَةِ الطَّرِيقِ…
Pandangan² inilah yg menjadi dasar statemen Syaikh Ibnu Qayyim:
“Manusia itu ada dua jenis:
Pertama adalah ‘Ilyah yaitu orang yg mengerti tentang tatacara wushul kepada Tuhannya, lantas mengamalkan tatacara tersebut dengan harapan bisa sampai kepada-Nya. Inilah type orang mulia yg memuliakan Tuhannya.
Kedua adalah siflah yaitu orang yg tidak mengerti tatacara wushul kepada Allah dan bersikap masa bodoh. Inilah orang yg dilaknat oleh Allah sebagaimana di dokumentasikan dalam firmanNya:
وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
Orang² yg dihinakan oleh Allah itu tidak memperoleh kemuliaan dari-Nya.
Tarekat wushul kepada Allah itu hakikatnya satu bukan bermacam-macam. Adapun pendapat ulama’ yg menyatakan bahwa tarekat itu bermacam-macam dan bercabang-cabang itu merupakan bentuk lembaganya saja yg oleh Allah dijadikan seperti itu di sesuaikan dengan persiapan potensi murid yg bemacam-macam sebagai rahmat dan bonus dari-Nya. Statemen ini valid dan tidak membantah perspektif hakikat yg menyatakan hanya ada satu tarekat. Wallaahu a’lam