Mawlana Jalaluddin ar-Rumi: Guru Kaum Darwis

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
4 min read

Mawlana Jalaluddin ar-Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Mawlana Jalaluddin ar-Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiyah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal menurut Mawlana Jalaluddin ar-Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syari’at dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Mawlana Jalaluddin ar-Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”

Bagi Mawlana Jalaluddin ar-Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Mawlana Jalaluddin ar-Rumi.

PENGARUH SYAIKH TABRIZ

Syaikh Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Mawlana Jalaluddin ar-Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Syaikh Fariduddin Attar itu tidak meleset. Mawlana Jalaluddin ar-Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Mawlana Jalaluddin ar-Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Mawlana Jalaluddin ar-Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Baha’uddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Baha’uddin ke penguasa. Celakanya, sang penguasa terpengaruh hingga Baha’uddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Mawlana Jalaluddin ar-Rumi baru berusia lima tahun.

Sejak itu Baha’uddin bersama keluarganya hidup berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya – Ala’uddin Kaiqubad, mengangkat ayah Mawlana Jalaluddin ar-Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Mawlana Jalaluddin ar-Rumi wafat ketika Mawlana Jalaluddin ar-Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Mawlana Jalaluddin ar-Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Mawlana Jalaluddin ar-Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Mawlana Jalaluddin ar-Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.

Tiba-tiba seorang lelaki asing – yakni Syaikh Syamsi Tabriz – ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Mawlana Jalaluddin ar-Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Mawlana Jalaluddin ar-Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Mawlana Jalaluddin ar-Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Mawlana Jalaluddin ar-Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Mawlana Jalaluddin ar-Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.

Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.

Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi mengembangkan Tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwis yang berputar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFATNYA MAWLANA MAWLANA JALALUDDIN AR-RUMI

Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Mawlana Jalaluddin ar-Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Mawlana Jalaluddin ar-Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Mawlana Jalaluddin ar-Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Mawlana Jalaluddin ar-Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Mawlana Jalaluddin ar-Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Tarekat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Nurun ‘ala Nurin

Rasa Percaya Memang Tidak Bisa Dipaksakan

20 Sifat Mustahil bagi Allah

Tiga Kategori Dzikir & 4 Pembagian Dzikir

Sebaik-Baik Orang Adalah Yang Mengingatkan Pada Allah Ketika Melihat Dirinya

Mawlana Jalaluddin ar-Rumi: Guru Kaum Darwis

Al-‘Arsy, Al-Kursi, Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-Qalam

Makna Musyahadah dan Mukasyafah dalam Ilmu Tasawuf

Doa Perlindungan dari Gempa

Mahabbah (Mencintai Allah)

Ketika Disebut nama Kekasih-Nya, Rahmat Allah Turun

Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqh Tahawwulat

Ilmu Dirasah dan Ilmu Wiratsah

Jaminan Allah: 5 Janji Thariqah

Tasawuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber Kesaktian

Bagaimana Bahagia dari Dalam Diri

Adab Menziarahi Ulama

Surga

Mawlana Jalaluddin ar-Rumi: Guru Kaum Darwis