Setiap orang mukallaf wajib beriman kepada malaikat, secara global dan rinci. Malaikat adalah jisim lembut bersifat cahayaa dan mampu mewujud dalam beragam bentuk, ilmunya sempurna dan mampu melaksanakan amal-amal yang sangat berat. Kesaksian dari Alqur’an dan sunnah tentang keberadaan malaikat sungguh banyak, tidak terhitung.
Seperti firman Allah Ta’ala, “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” [QS. an-Nisa 4:172]
Allah Ta’ala berfirman, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” [QS. al-Anfal 8:12]
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab 33:56]
Beriman kepada malaikat secara total adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat, yang tidak berjenis kelamin, tidak makan, tidak minum, tidak tidur dan tidak menikah. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, …yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. at-Tahrim 66:6]. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. [QS. al-Anbiya’ 21:20]. Dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. [QS. QS. al-Anbiya’ 21:28]. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka selain Allah Ta’ala.
Para malaikat yang wajib diketahui secara rinci adalah Jibril sang penyampai wahyu, Mika’il yang diberi tugas mengatur rezeki, Israfil yang bertugas meniup sangkakala, Malaikat Maut yang bertugas mencabut ruh, Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai mayit di dalam kubur, Raqib dan ‘Atid yang bertugas mencatat setiap yang dilakukan oleh hamba Allah [pada diri setiap hamba ada dua malaikat yang bertugas mencatat perbuatannya. Yang satu dinamakan raqib(yang mengawasi), dan satu lagi ‘atid(yang hadir)], Malik yang bertugas menjaga neraka, Ridhwan yang bertugas menjaga surga, dan malaikat penyangga ‘Arsy yang berjumlah delapan. Barangsiapa mengingkari keberadaan mereka, atau mengingkari keberadaan salah satu dari mereka, berarti dia telah kafir dan akan kekal di neraka. Hanya saja mengingkari malaikat Munkar dan Nakir tidak sampai membuat seseorang menjadi kafir, melainkan fasik, karena adanya perselisihan tentang keduanya.
Kita mesti percaya dan yakin bahwa malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, “Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. at-Tahrim 66:6]
Adapun cerita yang populer tentang Harut dan Marut, yang mengisahkan bahwa keduanya adalah malaikat yang mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, dengan bumbu kebohongan tukang dongeng yang mengatakan bahwa keduanya disiksa dan dialih rupa karena perbuatannya, itu merupakan cerita bohong dan sesat. Tidak boleh dipercaya.
Tentang Harut dan Marut yang perlu kita percaya adalah keberadaannya. Jika keduanya bukan malaikat, maka perkara mereka mengajarkan sihir sudah jelas. Sedangkan jika mereka berdua adalah malaikat, maka tindakan mereka mengajarkan sihir kepada manusia itu bukan untuk diamalkan, melainkan agar manusia yang diajarinya itu bisa menjaga diri dari serangan sihir, dengan mengetahui hakikat sihir dan memahami secara jelas keburukan dan siksanya. Karena itu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Harut dan Marut, tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir” [QS. al-Baqarah 2:102]. Harut dan Marut mengajarkan sihir bukan untuk diamalkan, melainkan untuk menerangkan berbagai masalah seperti hakikat zina dan macam-macam riba, agar si mukallaf bisa menghindarkan diri darinya. Karena kejahatan dan keburukan dapat dihindari dengan pengetahuan tentangnya. Khudzaifah r.a. berkata, “Orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang kebaikan. Tetapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut terjerumus ke dalamnya.”
Dikutip dari Kitab Tanwirul Qulub, karya Sayyidi Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi (qs.)