Qadha’ adalah hubungan azali kehendak Allah dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan sesuai ilmu-Nya, dan ini merupakan sifat Dzat. Sedangkan qadar adalah pewujudan sesuatu dengan ukuran tertentu dan arah tertentu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, dan ini merupakan sifat af’al. Qadha’ bersifat qadim, sedangkan qadar bersifat hadits.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli kebenaran tentang kenyataan qadha’ dan qadar sebagai bagian dari akidah yang wajib diimani. Karena itu, kita wajib meyakini bahwa ilmu dan kehendak Allah berhubungan di zaman azali dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan. Kita juga harus yakin bahwa kuasa Allah berhubungan dengan segala sesuatu dalam kesinambungan sesuai hubungan ilmu dan iradah-Nya dengan segala sesuatu itu di zaman azali. Dengan demikian, tidak ada hal baru (apa pun yang selain Dia), entah yang baik maupun yang buruk, melainkan keluar dari kehendak dan kuasa-Nya yang selaras dengan ilmu-Nya.
At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga dia beriman kepada qadar, terhadap yang baiknya maupun terhadap yang buruknya, dan hingga dia tahu bahwa apa yang telah menimpa dirinya itu menimpa dirinya bukan karena salah sasaran, dan apa yang tidak menimpa dirinya itu memang tidak untuk ditimpakan kepada dirinya.”
Sayyidina ‘Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga ia beriman pada empat hal. Yakni, menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; menyaksikan bahwa aku sungguh rasul Allah yang telah Dia utus membawa kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian; dan beriman kepada qadar, yang baiknya maupun yang buruknya, yang manisnya maupun yang pahitnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad di dalam Musnad-nya. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim.
Ada kalanya seorang hamba yang kerdil berdalih bahwa jika kenyataannya demikian, si hamba bisa beralasan, “Mengapa Engkau menyiksa aku, sementara semua perbuatan adalah perbuatan-Mu?” Alasan ini ditolak. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di azali secara rinci. Sebelum makhluk mewujud, Dia tahu keburukan dan kebaikan yang akan diupayakan oleh hamba setelah mengada, dan Dia menuliskannya sesuai ilmu-Nya.
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abu al-Aswad ad-Duali berkata, “lmran ibn Hushain berkata kepadaku, ‘Perhatikanlah apa yang diperbuat manusia pada hari ini, yang mereka usahakan dengan sungguh-sungguh. Apakah itu sesuatu yang telah diputuskan untuk mereka dan telah berlaku pada mereka dari qadar yang sudah lewat atau yang akan datang, apakah merupakan hal yang telah dikabarkan Nabi saw. dan hujjahnya tegas atas mereka?’ Aku menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang sudah diputuskan dan telah berlaku pada mereka.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Dia (Allah) tidak zalim?’ Aku kaget alang kepalang mendapati pertanyaan itu, lalu aku berkata, ‘Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan merupakan milik-Nya. Dia tidak dituntut tanggung jawab atas apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban.’ Lalu dia berkata kepadaku, ‘Mudah-mudahan Allah memuliakanmu. Sesungguhnya apa yang aku tanyakan ini hanya untuk menguji akal dan pemahamanmu.”
Abu Dawud dan Ibnu Majah menutur satu riwayat dari Ibnu ad-Dailami di dalam Sunan-nya. Ibnu ad-Dailami berkata, “Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku tentang qadar. Aku khawatir masalah ini akan merusak agamaku. Maka aku pun mendatangi Ubay ibn Ka’ab. Aku bertanya, ‘Wahai Abu al-Mundzir, ada yang mengganjal dalam hatiku, yakni masalah qadar. Aku khawatir masalah ini merusak agamaku. Ceritakanlah padaku sesuatu tentang qadar, mudah-mudahan Allah memberiku manfaatnya.’ Maka Ubay ibn Ka’ab pun berkata, ‘Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh bagi mereka rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya dijalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau harus mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka. Jika belum yakin, datanglah kepada saudara ‘Abdullah ibn Mas’ud dan tanyakanlah kepadanya.’ Aku mendatangi ‘Abdullah ibn Mas’ud dan menanyakan hal yang sama seperti yang aku tanyakan kepada Ubay. Dan ternyata ‘Abdullah ibn Mas’ud pun memberikan penjelasan seperti yang diuraikan oleh Ubay. Lalu dia berkata ‘Jika keyakinanmu belum mantap, datanglah kepada Khudzaifah.’ Aku mendatangi Khudzaifah dan bertanya tentang hal yang sama. Jawaban Khuzhaifah ternyata sama dengan Ubay dan ‘Abdullah. Lalu dia berkata, ‘Jika engkau belum mantap, datanglah kepada Zaid ibn Tsabit dan tanyakan kepadanya.’ Maka aku pun mendatangi Zaid ibn Tsabit dan bertanya kepadanya. Zaid ibn Tsabit menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya di jalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka.”‘
[*] Yakni, selamat dari siksa itu sungguh murni sebagai rahmat dari Allah, bukan karena amal mereka. Karena itu, bagi mereka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka.
Al-Imam asy-Syafi’i r.a. Berkata,
Apa yang Engkau kehendaki, pasti terjadi, walau aku tidak menghendakinya
Sedangkan apa yang aku kehendaki
tidak akan terjadi bila Engkau tidak menghendakinya
Engkau telah menciptakan hamba selaras dengan ilmu-Mu
Dan di dalam ilmu-Mu, si muda dan orang tua itu berjalan
Yang ini Engkau beri petunjuk, yang itu Engkau nistakan
Yang ini Engkau tolong, yang itu tak Engkau bantu
yang ini sengsara, yang itu bahagia
yang ini buruk, yang itu baik
yang ini kuat, yang itu lemah
semua dikendalikan oleh af’al-Nya
Rasulullah saw. bersabda, “Semua jiwa telah Allah tetapkan tempatnya di surga atau di neraka.”
An-Nawawi berkata dalam komentarnya tentang hadis tersebut, “Al-Imam Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani berkata, ‘Untuk memahami masalah ini harus bersumber pada Alqur’an dan hadis, tidak cukup dengan qiyas dan nalar akal. Barangsiapa mengesampingkan Alqur’an dan hadis, dia akan tersesat dan jatuh ke dalam samudera kebingungan, tidak sampai pada kepuasan jiwa dan tidak akan memperoleh ketenangan hati. Sebab qadar adalah salah satu rahasia Allah Ta’ala yang dibungkus berlapis tabir. Allah memonopolinya sendiri dan menabirinya dari akal dan pengetahuan makhluk, untuk hikmah yang diketahui-Nya. Kewajiban kita adalah tawaqquf, menerima batasan dari Alqur’an dan hadis untuk pemahaman kita, tidak perlu melangkahinya. Pengetahuan tentang qadar Allah telah Dia sembunyikan dari semua makhluk, bahkan nabi utusan pun tidak Dia beritahu, demikian pula para malaikat yang didekatkan.”
Pahamilah paparan yang telah kami suguhkan ini, dan yakinilah akidah yang telah kami jelaskan ini. Jangan sampai engkau tertipu ucapan manis orang yang sesat dan menyesatkan. Jika tidak, niscaya engkau akan binasa bersama mereka yang rusak binasa. “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. [QS. al-Baqarah 2:213]. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. [QS. az-Zumar 39:37]. Dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.” [QS. al-Mu’min 40:33]
Ketahuilah bahwa orang yang bahagia (as-sa’id) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan Islam, walaupun sebelumnya dia sempat kafir. Sedangkan orang yang celaka (asy-syaqi) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan kafir, walaupun sebelumnya dia sempat Islam. Bahagia adalah mati dalam keadaan Islam. Celaka adalah mati dalam keadaan kafir. Keduanya telah ditakdirkan Allah sejak azali. Bukan berarti bahwa yang bahagia itu mengalami perubahan takdir Allah dari kafir menjadi Islam, tidak pula yang sengsara itu mengalami perubahan takdir dari Islam menjadi kafir. Tetapi dalam ilmu Allah, yang tampak sebagai keberubahan itu adalah perjalanan yang sudah ditentukan dan tidak berubah dalam ilmu Allah yang azali, sebagaimana yang Anda maklumi. Dengan demikian, orang yang sudah diputuskan sebagai orang yang bahagia tidak akan menjadi orang yang celaka, dan orang yang telah diputuskan sebagai orang yang celaka tidak akan menjadi yang selamat. Keselamatan tidak berganti posisi dengan celaka atau sebaliknya, seperti yang telah ditetapkan. Bila tidak demikian, berarti Allah tidak bersifat ilmu, melainkan jahl (tidak tahu), dan ini sungguh mustahil.
Kondisi di akhir hayat (al-khatimah) menjadi petunjuk akan ketentuan Allah yang terdahulu (as-sabiqah). Apabila usia hamba ditutup dengan keislaman, itu menunjukkan bahwa dalam ketentuan azalinya dia tercatat sebagai orang yang bahagia, walaupun di dunia didahului kekufuran. Apabila usia hamba ditutup dengan kekafiran—na’udu billah min dzalik—itu menunjukkan bahwa di azalinya dia tercatat sebagai orang yang celaka, meskipun di dunianya sempat mengalami keislaman. Karena itu, ada ulama yang berkata,
Apabila seseorang dicipta tidak untuk bahagia
Prasangka pengasuhnya akan tertinggal, dan si pengharap pun jadi frustasi
Musa yang diasuh Jibril ternyata kafir
Sedang Musa yang diasuh Fir’aun ternyata rasul Allah
Allah Ta’ala akan memudahkan masing-masing orang untuk melakukan hal yang sesuai dengan penciptaan dirinya. Dengan anugerah-Nya Allah memudahkan orang yang bahagia untuk beriman dan melakukan ketaatan. Dan dengan keadilan-Nya Allah memudahkan orang yang celaka untuk melakukan kekafiran dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” [QS. al-Lail 92:5-10]
Al-lmam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Suraqah ibn Malik berkata, “Ya Rasulullah, terangkan kepada kami tentang agama kami, seperti kenyataan bahwa kami telah diciptakan saat ini. Di mana posisi amal? Apakah pada kenyataan yang telah dicatat dan telah digariskan takdir, atau akan ditentukan kemudian?” Rasulullah bersabda, “Telah dicatat dan telah digariskan takdir. ” Suraqah berkata, “Lalu, untuk alasan apa amal dilakukan (jika takdir kita telah ditentukan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Beramallah. Sebab semua orang dimudahkan untuk berbuat hal yang untuknya dia diciptakan. Dan setiap orang akan melakukan apa yang harus diperbuatnya.”
Adapun tentang firman Allah Ta’ala, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan,” [QS. ar-Rahman 55:29] maksudnya adalah kesibukan yang tidak bermula.
Penulis kitab al-Kasysyaf berkata, “Suatu hari ‘Abdullah ibn Thahir berkata kepada al-Husain ibn al-Fadhl, ‘Aku menemukan kesulitan dalam memahami firman Allah Ta’ala, Setiap waktu Dia dalam kesibukan, sehubungan dengan adanya hadis shahih yang menyatakan bahwa pena telah kering dengan segala yang sudah ada sampai Hari Kiamat.’ Kemudian al-Husain berkata, ‘Kesibukan yang dimaksud adalah kesibukan menampakkan realitas (yang sudah tercatat) sesuai dengan ketentuan azali yang telah dicatat-Nya, bukan kesibukan mengerjakan sesuatu saat ini, karena takdir Allah telah terdahulu (sabiq).’ Setelah mendengar jawaban itu, ‘Abdullah pun berdiri, lalu mengecup kepala al-Husain.”
Salah seorang ulama berkata, “Suatu hari Ibnu al-Syajari duduk di kursi tempatnya biasa memberikan wejangan kepada murid-muridnya. Saat dia berbicara dan sampai pada ayat: setiap waktu Dia dalam kesibukan, tiba-tiba seorang laki-laki di hadapannya berdiri seraya bertanya, ‘Apa yang dikerjakan Tuhanmu saat ini?’ Beliau diam lalu menangis sedih. Malam harinya dia mimpi bertemu al-Mushthafa saw. Lalu dia bertanya kepada beliau tentang pertanyaan yang didapatnya siang tadi, dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Lelaki yang bertanya kepadamu itu adalah Khidhir, dan dia akan kembali lagi kepadamu. Maka jawablah dia: Kesibukan mewujudkannya, bukan memulainya. Dia merendahkan kaum tertentu dan mengangkat kaum lainnya.’ Keesokan harinya ternyata Khidhir datang lagi dan bertanya seperti kemarin. Maka Ibn asy-Syajari pun menjawabnya sebagaimana disarankan Rasulullah saw. Setelah mendengar jawaban itu Khidhir pun berkata kepadanya, ‘Bershalawatlah pada beliau yang telah mengajarimu.”
Inilah akhir uraian kami pada bagian yang pertama. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Dikutip dari Kitab Tanwirul Qulub, karya Sayyidi Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi (qs.)