“Nafas seorang pemilik seruling, adakah ia milik seruling?” — Mawlana Jalaluddin Rumi qs.
Pertanyaan pertama: Manakah yg lebih dulu: harmoni itu atau suara seruling? Musisi pasti mengerti bahwa bagi peniup seruling yang andal, tentu harmoni itu muncul terlebih dahulu dalam benaknya, atau dalam kata lain: dalam ilmunya. Padahal harmoni itu adalah hasil dari keduanya: yakni nafasnya dan seruling itu. Ajib, harmoni itu sudah terdengar olehnya sebelum jari-jemarinya menyentuh lubang-lubang seruling itu.
Pertanyaan kedua: Harmoni yang ada dalam benak peniup seruling sebelum ia meniupkan nafasnya pada seruling, berasal dari mana? Di sinilah sebaiknya akal berhenti dari menganalisa analogi Mawlana Rumi, dan mulai menggunakan rasa untuk memahaminya. Karena jawabannya ada dalam harmoni yang keluar dari seruling itu sendiri. Jawabannya bukan berupa berupa kata-kata, walaupun bunyinya dapat diimitasi dengan lisan, seperti membaca Al-Qur’an Qadim yang berisikan ayat-ayat-Nya.
Pertanyaan ketiga: Mengapa harmoni yang terdengar oleh kita, yang dimainkan peniup seruling itu disebut suara seruling, dan bukannya disebut suara nafas peniup seruling? Karena usaha seorang hamba pun tidak lepas dari Qadha dan Qadar, walaupun suara harmoni/kehidupan itu dinisbatkan pada dirinya dan ia wajib mengakuinya — secara suka rela atau terpaksa. Mengapa? Karena ia hanyalah sebuah benda mati, sebuah seruling yang tidak akan bersuara tanpa nafas peniupnya walaupun harmoni itu dinisbatkan padanya.
لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ
“There is nothing like the likeness of Him.”
As-Syura 42 : 11
Maha Suci Allah dari segala analogi atas analogi (analogi berlapis).
Tak ada satu analogi pun yang dapat menghijab-Nya. Kitalah yang membutuhkan analogi-analogi tersebut untuk mengenal-Nya. Sebagai bentuk Rahmat-Nya, Dia menghijab kita dengan alam agar tidak binasa karena Keagungan-Nya, layaknya gunung yang hancur dalam cerita Nabi Musa (as).
Islam sesungguhnya terus menerus mendorong umatnya untuk selalu berfikir dan memikirkan sesuatu dan hal di dalam diri dan di alam semesta ciptaan Tuhan ini. Berkali-kali al-Qur’an menyebutkan : “Afala Tatafakkarun” (apakah kamu tidak memikirkan), “Afala Ta’qilun”,(apakah kamu tidak. menggunakan akalmu), “Wa fi Anfusikum, Afala Tubshirun”, (di dalam dirimu apakah kamu tidak melihat?)
Bagaimana mungkin seseorang tidak terpesona dan merenungi fenomena kehidupan ini, yakni harmoni sempurna yang sedang dimainkan tepat pada saat ini?
Betapa indahnya. Hanya orang tuli yang tidak peduli.
افلا يتدبرون القران ام على قلوب اقفالها
“Afala yatadabbarun al-Qur’an Am ‘Ala Qulubin Aqfaluha”.
“Apakah kalian tidak memikirkan/merenungkan isi al-Qur’an, atau hati mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad, 24).
“Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat ayat-ayat (tanda/simbol kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat ayat-ayat untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dengan (air hujan) itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering); dan pada perkisaran angin terdapat pula ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (Q.S al-Jatsiyah/ 45: 3-5).
[ ]
Waallahu a’lam