Ada enam kategori orang yang meladang akhirat dan menempuh jalan ruhani untuk mencapainya, yaitu ‘abid (ahli ibadah), ‘alim (ilmuwan), muta’allim (pelajar), wali (penguasa), muhtarif (kaum pekerja, profesional), dan muwahhid yang tenggelam dalam keesaan Dzat Yang Mahaesa, tempat bergantung seluruh makhluk.
Kategori yang pertama adalah ‘abid (ahli ibadah). Yaitu orang yang mengkhususkan diri dengan beribadah. Dia sama sekali tidak memiliki kesibukan selain ibadah. Jika dia meninggalkannya, dia tentu akan duduk menganggur. Yang paling pantas bagi orang seperti ini adalah menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah dan menghadiri majelis-majelis zikir. Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu kali Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian melewati taman surga, gembalakanlah diri kalian.” Lalu beliau ditanya, “Ya Rasulullah, apa taman surga itu?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Perkumpulan-perkumpulan zikir.” Hadis ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi.
Kategori yang kedua adalah ‘alim (ilmuwan). Yaitu orang yang memanfaatkan ilmunya pada masyarakat dalam bentuk pemberian fatwa, mengajar, atau menulis buku. Jika memungkinkan baginya menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan ini, sesungguhnya hal tersebut lebih utama dilakukan setelah menjalankan ibadah fardhu dan sunnah rawãtib. Itu pun dengan syarat bertujuan membantu orang-orang dalam menempuh jalan akhirat (suluk). Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang membuat orang-orang mencintai akhirat, membuat mereka bersikap zuhud dalam dunia, atau membantu mereka dalam menempuh jalan akhirat. Bukan ilmu yang justeru meningkatkan kecintaan kepada harta benda, kedudukan dan penghargaan dari manusia.
Kategori yang ketiga adalah muta’allim (pelajar). Yaitu orang yang belajar karena Allah Ta’ala semata. Bagi orang yang seperti ini, kegiatan belajar lebih utama daripada berzikir atau mengerjakan ibadah sunnah mutlak. Namun dia tidak perlu mengosongkan diri dari wirid sejumlah zikir setiap harinya. Karena hal tersebut akan sangat membantunya dalam menempuh jalan belajar yang ditekuninya. Akan tetapi, bila pelajar itu dalam ketegori awam, maka menghadiri majelis petuah dan majelis ilmu lebih utama daripada disibukkan dengan berbagai wirid.
Ka’ab al-Akhbar r.a. berkata, “Seandainya pahala majelis para ilmuwan tampak di mata orang-orang, tentu mereka akan berlomba-lomba menghadirinya. Orang yang berkekuasaan akan membiarkan kekuasaan mereka. Orang yang punya warung di pasar pun akan meninggalkan warungnya.”
‘Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata, “Seseorang keluar dari rumahnya dengan beban dosa segunung Tihamah. Bia dia mendengar seorang ‘alim, lalu dia merasa takut dan kemudian bertobat dari dosa-dosanya, maka dia akan kembali ke rumahnya tanpa beban dosa sedikit pun. Oleh karena itu, kalian jangan memisahkan diri dari majelis ulama. Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan di muka bumi ini sebidang lahan yang lebih utama dari majelis ulama.”
Atha ibn Abu Ribah r.a. berkata, “Menghadiri majelis ilmu dapat menutupi tujuh puluh majelis senda gurau dan permainan.”
Kesimpulannya, sekecil apa pun hal yang membuat satu saja ikatan cinta dunia terlepas dari hati, yang disebabkan oleh perkataan seorang pemberi petuah yang santun dan berbudi luhur, itu lebih mulia dan lebih bermanfaat daripada banyaknya rakaat shalat sunnat yang dilakukan dalam kondisi hati yang penuh cinta dunia.
Kategori yang keempat adalah muhtarif (kaum pekerja, profesional). Yaitu orang yang membutuhkan materi untuk menafkahi keluarganya. Dia tidak bisa begitu saja menelantarkan keluarganya untuk kemudian menghabiskan waktu dalam pelaksanaan ritual-ritual ibadah. Orang yang seperti ini wiridnya di waktu bekerja, pergi ke pasar dan sibuk bekerja. Tetapi dia jangan sampai lupa berzikir kepada Allah di dalam hatinya pada waktu-waktu tersebut. Dia harus tekun bertasbih, berzikir dan membaca Alqur’an. Semua amalan itu bisa dilakukan sambil bekerja, tidak harus melewatinya. Lalu bila selesai kerja dan menghasilkan nafkah secukupnya, dia kembali lagi mengerjakan ritual-ritual ibadah.
Kategori yang kelima adalah wali (pemimpin), seperti imam, hakim dan setiap orang yang diserahi tanggung jawab untuk menciptakan berbagai kebijakan demi kemaslahatan kaum muslimin. Bagi orang seperti ini, melaksanakan tugas melayani kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin sesuai dengan tuntunan syara’ dan dengan niat ikhlas, itu lebih utama daripada dia menyibukkan diri dengan wirid. Kewajibannya adalah melayani dan memenuhi hak orang-orang. Untuk itu di siang hari dia cukup meringkas ritual ibadahnya dengan hanya melaksanakan yang fardhu dan sunnah rawatib. Baru di malam hari dia mengamalkan awrad-nya.
Kategori yang keenam adalah muwahhid. Yaitu orang yang tenggelam dalam keesaan Allah Ta’ala sehingga dia tidak lagi mempunyai kerinduan selain kepada-Nya, tidak lagi punya cinta selain kepada-Nya, dan tidak lagi memiliki ketakutan selain kepada-Nya. Dia tidak lagi mengandalkan rezeki selain dari-Nya. Orang yang sudah mencapai derajat ini, tidak lagi memerlukan berbagai awrad dan keragamannya. Awrad-nya setelah shalat fardhu dan sunnah rawatibnya hanya satu, yakni hadir hati bersama Allah Ta’ala dalam setiap keadaan. Baginya, semua hal yang terbersit di benaknya, terngiang di telinganya dan tampak di matanya, selalu memunculkan pelajaran dan kehadiran. Seluruh keadaan dirinya bisa menjadi sebab peningkatan kehadiran hatinya bersama Allah Ta’ala. Ini adalah puncak tingkatan shiddiqqun. Namun tingkatan ini bisa dicapai seseorang hanya bila sebelumnya dia telah mengamalkan berbagai awrad secara tertib dan sungguh-sungguh dalam tempo yang cukup lama. Oleh karena itu, seorang murid jangan sampai terperdaya dan mengaku diri telah mencapai tingkatan ini lalu bermalas-malasan dalam melaksanakan ritual ibadah. Ada sejumlah tanda pada diri orang yang telah mencapai tingkatan muwahhid. Antara lain, di hatinya tidak sedikit pun terbesit rasa waswas, tidak sedikit pun terbayang kemaksiatan, dan tidak sedikit pun merasa takut menghadapi berbagai hal yang mengerikan.
Ketahuilah bahwa amal salih mempunyai manfaat yang sangat besar dalam pembenahan dan penerangan hati. Tetapi hasilnya hanya akan muncul di hati jika amal shalih itu dilakukan terus-menerus (mudawamah). Sebab, orang yang membiasakan diri melakukan suatu amal kebaikan, lalu berhenti dan tidak melakukannya lagi, dia akan dimurkai. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang paling terus-menerus pelaksanannya, meskipun amal itu hanya sedikit.” Hadis ini dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.
Karena itu, wahai saudara-sudaraku, kuatkanlah tanganmu dalam memelihara amal baik. Sungguh, orang yang memelihara amal baik akan merasakan manisnya iman dan iman akan menyatu dalam hatinya dengan sempurna. Saat seorang hamba mencapai kondisi ini, kesamaran dan keraguan akan lenyap darinya. Dan baginya, ibadah terasa demikian nikmat hingga dia lebih memilih sibuk beribadah daripada mengusahakan harta benda duniawi. Dalam keadaan seperti ini, iman meresap di hati seperti hasrat untuk minum air segar di hari yang sangat terik pada orang yang amat kehausan. Lelah dalam beribadah tergantikan oleh rasa nikmat yang dia dapat dalam beribadah. Bahkan ketaatan itu kemudian menjadi makanan bagi hatinya, menjadi penenang dan penentram hatinya, menjadi kenikmatan bagi ruhnya. Dan dia merasakan nikmat ibadah itu bahkan lebih nikmat daripada kesenangan-kesenangan jasmani.
Berbeda halnya dengan amal shalih, perbuatan-perbuatan dosa berbahaya bagi hati, seperti racun membahayakan tubuh, dengan beragam tingkat bahayanya. Tidak ada keburukan dan penyakit di dunia dan akhirat ini yang tidak disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiat. Maksiat mempunyai banyak pengaruh buruk yang membahayakan hati dan badan, di dunia dan akhirat, dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui berapa banyak pengaruh buruk yang ditimbulkan maksiat itu.
Salah satu pengaruh buruk maksiat adalah tertahannya ilmu yang bermanfaat bagi si pelaku maksiat. Karena, ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati hamba. Sementara laku maksiat akan memadamkan cahaya yang sudah tertanam atau akan menjadi penghalang masuknya cahaya ke dalam hati jika cahaya belum ada di hati si hamba.
Pengaruh lain dari maksiat adalah derita keterasingan yang dirasakan si pelaku antara dirinya dengan Allah Ta’ala, keterasingan yang tak terhingga. Akibat lainnya adalah mengalami kesulitan dalam mengatasi semua problem yang dia hadapi. Dia tidak mendapati jalan keluar untuk penyelesaian masalahnya, dan kalaupun ada terasa demikian susah.
Pengaruh lainnya dari laku maksiat adalah gelap yang didapat si pelaku dalam hatinya, hingga dia merasa seolah-olah dunia ini gelap gulita. Semakin bertambah pekat gelap yang dia rasakan, semakin bertambah pula kebingungannya. Lalu gulita dalam hati itu nampak di wajahnya hingga jelas terlihat di mata para ahli bashirah.
Selain itu maksiat juga bisa melemahkan hati dan badan serta menghalanginya untuk melakukan ketaatan. Laku maksiat juga bisa melebur berkah umur, menjatuhkan harga diri dan membuat akal menjadi tumpul. Akal adalah cahaya, dan laku maksiat akan memadamkannya. Maksiat juga akan melenyapkan nikmat dan menimbulkan kefakiran. Suatu nikmat tidak akan lenyap dari seorang hamba selain karena dosa, dan siksa tidak akan menimpa seorang hamba selain karena dosa. Allah Ta’ala berfirman, “Dan musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura 42:30]