Mengapa dalam praktik sufi, senantiasa ada dzikir Istighfar dan Shalawat Nabi Saw dalam setiap wirid-wiridnya?
Hubungan Istighfar dan Shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang yang bershalawat, mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah Nabi Saw. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika beristighfar. Shalawat Nabi, merupakan syari’at sekaligus mengandung hakikat. Disebut syari’at karena Allah SWT, memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman, agar memohonkan Shalawat dan Salam kepada Nabi Saw.
Dalam Firman-Nya: “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya senantiasa bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam baginya.” (QS. 33: 56)
Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Ta’ala tersebut: Suatu hari Rasulullah Saw, datang dengan wajah tampak berseri-seri, dan bersabda: “Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, “Sangat menyenangkan untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seseorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya.” Dan sepuluh salam bagiku akan kubalas dengan sepuluh salam baginya.” (HR.an-Nasa’i)
Sabda Rasulullah Saw: “Kalau orang bershalawat kepadaku, maka malaikat juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya, untuk itu hendaknya dilakukan, meski sedikit atau banyak.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani).
Sabda Rasulullah Saw: “Manusia yang paling utama bagiku adalah yang paling banyak shalawatnya.” (HR. at-Tirmidzi)
Sabdanya: “Paling bakhilnya manusia, ketika ia mendengar namaku disebut, ia tidak mengucapkan shalawat bagiku.” (HR. at-Tirmidzi)
“Perbanyaklah shalawat bagiku di hari Jum’at.” (HR. Abu Dawud)
Sabdanya: “Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling dengan tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku.” (HR. an-Nasa’i)
Sabdanya: “Tak seorang pun yang bershalawat kepadaku melainkan Allah mengembalikan ke ruhku, sehingga aku menjawab salam kepadanya.” (HR. AbuDawud)
Tentu, tidak sederhana, menyelami keagungan Shalawat Nabi Saw. Karena setiap kata dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhani yang sangat dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad Saw, sebagai hamba Allah, Nabiyullah, Rasulullah, Kekasih Allah dan Cahaya Allah.
Dan semesta raya ini diciptakan dari Nur Muhammad, sehingga setiap detak huruf dalam Shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa. Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada Nabi Saw, sedangkan Nabi Saw adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang?
Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah SWT. Nabi Muhammad Saw adalah sentral semesta fisik dan metafisik, karena itu seluruh elemen lahir dan batin makhluk ini merupakan refleksi dari cahayanya yang agung. Bershalawat dan bersalam yang berarti mendoakan beliau, adalah bentuk lain dari proses kita menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan Allah, melalui “titik pusat gravitasi” ruhani, yaitu Muhammad Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw, adalah manusia paripurna.
Segala doa dan upaya untuk mencintainya, berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve. Ibarat gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmat dan Anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad Saw.
Shalawat Nabi mengandung syafa’at dunia dan akhirat. Semata karena filosofi Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu, meruntuhkan Amarah-Nya. Sebagaimana dalam hadits Qudsi: “Sesungguhnya Rahmat-Ku, mengalahkan Amarah-Ku.” Siksaan Allah tidak akan turun pada ahli Shalawat Nabi, karena kandungan kebajikannya yang begitu par-exellent. Shalawat Nabi, menjadi tawasul bagi perjalanan ruhani umat Islam. Getaran bibir dan detak jantung akan senantiasa membumbung ke alam Samawat (alam ruhani), ketika nama Muhammad Saw disebutnya. Karena itu, mereka yang hendak menuju kepada Allah (wushul) peran Shalawat sebagai pendampingnya, karena keparipurnaan Nabi itu menjadi jaminan bagi siapa pun yang hendak bertemu dengan Yang Maha Paripurna.
Muhammad, sebagai nama dan predikat, bukan sekadar lambang dari sifat-sifat terpuji, tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal, yang ada dalam Jiwa Muhammad Saw. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung, tidak akan memiliki nilai Cinta yang hakiki manakala, estetika di balik Cinta itu, hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi, justru tercermin dalam Keagungan-Nya, dan Keagungan itu ada di balik desah doa yang disampaikan hamba-hamba-Nya buat Kekasih-Nya. Wallahu A’lam.
Para sufi memberikan pengajaran sistematis kepada umat melalui Shalawat Nabi itu sendiri. Dan Shalawat Nabi yang berjumlah ratusan macam itu, lebih banyak justru dari ajaran Nabi sendiri. Model Shalawat yang diwiridkan para pengikut tarekat, juga memiliki sanad yang sampai kepada Nabi Saw. Oleh sebab itu, Shalawat adalah cermin Nabi Muhammad Saw yang memantul melalui jutaan bahkan milyaran hamba-hamba Allah bahkan bilyunan para malaikat-Nya.