Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
5 min read

Syaikh al-Akbar (Guru Teragung), demikian Ibnu Arabi sering disapa. Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama), atau al-Kabrit Al-Ahmar (Belerang Merah). Sang pengusung ajaran wahdat al-wujud ini merupakan sosok yang kontroversial. Syair-syair mistisnya disenandungkan dengan bahasa erotis sehingga mengundang reaksi dari kalangan fuqaha. Nama Muhyidin Ibnu Arabi, mengingatkan pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj (Baghdad), Syaikh Siti Jenar, dan Syaikh Hamzah Fansuri. Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya banyak mengandung kontroversi. Namun demikian, bila dicermati secara saksama, apa yang diucapkan atau tertulis dalam syairnya, menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh dengan Tuhannya.

Ibnu Arabi sudah menulis tiga kumpulan puisi dan ribuan syair yang tersebar di seluruh tulisan-tulisan prosanya. Sebagai seorang teoretisi imajinasi Muslim terbesar, ia mampu menggambarkan perasaan cinta, keagungan Tuhan, kesempurnaan Muhammad, dan keindahan alam dalam puisi imajinatif yang sempurna. Dalam karyanya berjudul Dakha’ir al-A’laq, Ibnu Arabi mengatakan, ”Aku menyinggung tentang ilmu makrifat yang mulia, cahaya ketuhanan, misteri spiritual, ilmu pengetahuan, intelektual, dan berbagai peringatan syari’ah. Akan tetapi, kuekspresikan semuanya itu dengan gaya bahasa cinta erotis dan gelora asmara, karena jiwa akan terpikat dengan ekspresi-ekspresi seperti itu.”

Ibnu Arabi sering kali menggunakan sebuah perumpamaan untuk menggambarkan realitas keagungan dan keindahan Tuhan. Terkadang, ia menggunakan tamsil bulan purnama (badr), dan tidak jarang pula menggambarkan-Nya dengan perempuan cantik. Syair mistiknya dalam Tarjaman al-Asywaq, melukiskan keindahan Tuhan. ”Seorang perempuan ramping, langsing, cantik nan segar, untuk siapa hati pecinta yang dirundung kerinduan. Racikan terjadi dengan harum wangi pada saat menyebutnya, dan setiap gerak lidah tidak lain kecuali namanya.”

Syair tersebut seakan diucapkan oleh seorang pemuda yang sedang dimabuk cinta kepada seorang wanita cantik yang dicintainya. Kobaran cintanya menyala untuk selama-lamanya. Kapan pun lelaki itu menyebut nama yang dicintanya itu, keluar aroma harum wangi, karena kegandrungan itu sendiri adalah aroma. Karena tamsil yang terlalu menonjolkan keindahan-keindahan fisik itu, Syaikh al-Akbar dituduh oleh para fuqaha (ahli ilmu fiqih) tengah mengumbar syair-syair erotis dengan menyamarkannya sebagai syair-syair mistis. Penilaian yang dilontarkan oleh para fuqaha tidak sepenuhnya salah. Di dalam Kitab Tarjuman, Sang Guru Teragung sendiri menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis jelita yang mengilhaminya menulis syair-syair indah.

Ia mengatakan, ”Yang kurasakan adalah seberkas cahaya yang menerpa bahuku, yang dipantulkan oleh tangan-tangan lembut. Aku berbalik dan kulihat seorang wanita, salah seorang putri Rum. Tak pernah kulihat wajah yang secerah dia, atau kata-kata yang begitu indah, cerdas, halus, dan suci.” Ibnu Arabi kemudian menanyakan nama gadis itu. ”Kejernihan Mata,” jawabnya. Ia lantas mengatakan, ”Setelah itu, aku mengucapkan salam kepadanya dan pergi.” Untuk menyanjung kesempurnaan gadis itu, ia terkadang menyebutnya ”Pelipur Lara” atau ”Sumber Matahari”.

Rasa takjub Si Belerang Merah terhadap sang gadis Persia tampaknya membekas di hatinya begitu dalam. Di pengantar Tarjuman ia mengatakan, ”Setiap kali aku menyebut sebuah nama, nama dialah yang kusebut. Setiap kali aku menyebut rumah, rumah dialah yang kusebut.” Setelah mengakui kekagumannya terhadap sang gadis, ia segera mengingatkan para pembaca bahwa apa yang ditulisnya adalah ilham ilahi dan wahyu spiritual. Akan tetapi, peringatannya tampak sia-sia, karena kelompok fuqaha tidak mengendorkan tuduhan kepadanya sebagai pengumbar hawa nafsu. Ibnu Arabi kemudian merasa perlu menulis sebuah ulasan atas Kitab Tarjuman yang diberi nama Dakha’ir al-A’laq. Di dalamnya dijelaskan dengan tegas dan lugas makna spiritual di balik ungkapan yang biasa ia gunakan dalam bahasa cinta.

Keberanian Ibn Arabi tidak hanya dalam memilih kata-kata erotis untuk menyanjung Dzat Yang Maha Kuasa. Ketajaman spiritualitasnya mendorongnya untuk berani mengakui dirinya sebagai orang yang tidak terikat oleh suatu agama formal. Tak heran jika ia kemudian dituduh sesat dan menyesatkan, murtad, atau seorang Nasrani oleh kelompok yang tidak suka dengannya. Dalam sebuah syair yang masyhur ia berkata, ”Hatiku telah berganti rupa jadi semua bentuk: padang rumput bagi rusa-rusa, biara bagi para rahib, kuil bagi arca-arca, Ka’bah bagi peziarah. Lembaran Taurat, Kitab Suci Al Qur’an. Aku memeluk agama cinta, dan ke arah mana pun unta-unta menuju, cinta adalah agama dan keyakinanku.”

Gelora cinta yang ia ungkapkan itu tampak melintasi batas-batas fisik dan keterikatan dengan agama formal. Ia menyebut dirinya laksana biara, kuil, Ka’bah, yang merupakan tempat ibadah umat yang berlainan agama. Namun, sesungguhnya Ibnu Arabi memiliki hubungan spesial dengan benda fisik yang membuatnya mabuk asmara. Benda itu adalah Ka’bah. Ka’bah menempati kedudukan istiwewa dalam diri Ibnu Arabi. Ketika berada di Makkah pada 598 H, ikatannya dengan Ka’bah melampaui ikatan-ikatan peziarah biasa. Dalam pandangannya, Ka’bah adalah mahkluk hidup yang dapat berbicara dan mendengar.

Dikisahkan dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah, ia tidak terkejut ketika suatu hari Ka’bah memanggil dan memintanya bertawaf. Sementara itu, mata air Zamzam mengharapkan untuk meminumnya. ”Kedua permintaan itu jelas sekali terdengar,” katanya. Oleh karena itu, kecintaan Ibnu Arabi kepada Ka’bah, laksana cintanya kepada makhluk hidup. Dalam Tarjuman ia bersenandung untuk Ka’bah, ”Kasih Allah bagi orang-orang yang taat. Allah telah memilihmu di antara bebatuan. Engkaulah rumah Allah. Cahaya hatiku. Kesegaran mataku. Hatiku. Secara hakiki engkau adalah rahasia wujud. Altarku. Kemurnian cintaku. Duhai Ka’bah Allah, hidupku.”

Pengakuan Syaikh al-Akbar tentang pengalaman-pengalaman spiritualnya yang begitu hebat tidak hanya terjadi ketika di Makkah. Sebelumnya, ketika masih berada di Fez, Maroko, tahun 595 H, ia mengaku telah dianugerahi gelar oleh Allah sebagai Penutup Kewalian Muhammad. Pengakuannya itu ia tuangkan dalam al-Futuhat al-Makkiyah.

”Di antara hamba-hamba Allah, aku adalah ruh suci, sebagaimana malam penentuan adalah ruh segala malam. Aku menyucikan diriku dari ketidakseimbangan dengan keseimbangan. Karena kebaikan yang ada pada diriku, aku asing terhadap keseimbangan maupun ketidakseimbangan. Dan, manakala pada suatu malam Tuhan datang dan menyatakan kepadaku bahwa akulah sang penutup, pada awal bulan itu. Dia berfirman kepada orang yang kala itu berada di cakrawala tertinggi dan alam perintah.”

Meski demikian, ia berseru kepada Allah, berlindung kepada-Nya untuk tidak dipuja oleh para pengikutnya. Pada suatu malam yang sunyi ia memanjatkan doa, ”Rabb, aku pernah meminta-Mu untuk mengizinkan hamba-Mu agar tetap tersembunyi hingga akhir zaman. Rabb, aku meminta-Mu untuk melindungiku dari segala pemujaan terhadapku.”

Karisma Sang Penutup Kewalian Muhammad

”Akulah anggrek yang merekah dan panen yang melimpah. Kini, angkatlah tabirku dan bacalah apa yang tertera dalam tulisanku. Apa pun yang engkau lihat pada diriku, tuliskan dalam bukumu dan ajarkan kepada semua sahabatmu.”

Pernyataan Ibnu Arabi di atas adalah sebuah ajakan kepada siapa pun untuk menerima ajaran-ajarannya, kemudian menularkannya kepada orang-orang yang membuka diri. Apa yang ia cita-citakan itu menjadi nyata. Karya-karya agungnya telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam dan Barat sampai saat ini.

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Spanyol Islam, pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165, dengan nama Abu Bakar Muhammad ibnu al-‘Arabi al-Hatimi at-Ta’i. Sejak kecil tanda-tanda keistimewaan sang Muhyiddin (Penghidup Agama) telah tampak. Karena itu pula, ia sering dipanggil dengan nama Muhyidin Ibnu Arabi. Pada satu ketika di kota Sevilla, ia sedang bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba Ibnu Arabi kecil mendengar suara yang memanggilnya, ”Hai Muhammad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Karena suara itu, ia menjadi gelisah.

Ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah ia mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritualnya. Konon, Ibnu Arabi telah bertemu Nabi Isa as, Musa as, dan Muhammad Saw, yang mengasah kualitas spiritualnya. Karena pengalaman dan kedalaman spiritualnya itu, Guru Teragung ini meyakini dirinya sebagai Penutup Kewalian Muhammad. Dalam karyanya, al-Futuhat al-Makkiyyah, ia menuturkan memperoleh pengetahuan dari Tuhan dengan cara begitu saja, karena pintu-pintu ilmu pengetahuan telah terbuka baginya. Ketika pintu telah terbuka, ia menemukan dirinya telah mewarisi seluruh ilmu pengetahuan Muhammad.

Ibnu Arabi mengatakan, ”Kekasih Tuhan akan meneruskan warisan Muhammad. Di antara wali-wali Tuhan adalah pewaris Ibrahim, Musa, dan Isa. Hal itu terus berlangsung hingga ada Penutup Muhammad.”

Dalam salah satu syair pendeknya, Ibnu Arabi mengungkapkan masalah ini. ”Kuwarisi Muhammad dan kuwarisilah segalanya.”

William C. Chittick dalam bukunya, Dunia Imajinal Ibnu Arabi, menyatakan, pengakuan Ibnu Arabi sebagai Penutup Kewalian Muhammad agak berlebihan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tak seorang pun setelahnya yang punya visi begitu terbuka, segar, dan terperinci. ”Terlepas dari kita setuju atau tidak terhadap pengakuannya, sulit untuk kita menolak gelarnya sebagai Guru Teragung,” katanya.

Ibnu Arabi mewariskan sekitar 500 karya kepada generasi setelahnya. Karya teragungnya adalah al-Futuhat al-Makkiyyah (Pembukaan Wahyu Makkah) setebal 15 ribu halaman di edisi terbarunya. Kilauan cahaya ilmu di dalamnya ia ringkas dalam karyanya, Fushush al-Hikam (Cincin Pengikat Hikmah). Tak mengherankan jika sosok Ibnu Arabi menarik perhatian sarjana-sarjana modern. Banyak nama sarjana Barat yang dikenal menggeluti karya-karya Ibnu Arabi. Di antaranya HS Nyberg, Miguel Asin Palacois, Titus Burckhardt, Henry Cobin, Toshihiko Izutsu, dan RA Nicholson. Ibnu Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 M bertepatan dengan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 H pada usia 70 tahun.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Perbedaan Fungsi Antara Al-Qur’an & Dzikir

Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah

Kemenyan, Tradisi Yang Dilupakan

Simbolisme Huruf dan Angka

Jin

Tentang Futuwwah

Disiplin Sufi

Sumber Aroma Harum Para Wali

Adab Mencari Ilmu (Tasawuf)

Thariqah Umum & Thariqah Khusus

20 Sifat Mustahil bagi Allah

22 Jumadil Akhir: Haul Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq (ra)

Ketika Ulama Terdahulu Menguji Muridnya

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Sejarah Tarekat Qadiriyah

Insan Kamil

Ilmu Dirasah dan Ilmu Wiratsah

Merdeka dari Teori dalam Suluk

Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi