Membelah Lautan: Pentingnya Ber-Thariqah (Transkrip)

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
25 min read


1

Assalamu’alaikum wr. wb.
A’udzubillahi minasysyaithanirrajim

Bismillahirahmanirrahim
Alhamdulillahi rabbil’alamin
Washshalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiyai wal mursalin
Sayyidina Muhammadin
Wa ‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in
Asyhadu an la ilaha illallah wahdahula syarikalah
wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluh
Amma ba’du:
Yaa ayyuhannas ittaqullah haqqa tuqatih wa la tamutunna illa wa antum muslimun.

Berikut adalah video makalah berjudul: “Membelah Lautan”, yang maknanya akan dijelaskan pada penghujung video ini.

2

[SKIPPED] Makalah ini adalah suatu bentuk respon singkat atas fenomena penyebaran doktrin anti-berguru atau anti-bertarekat yang dikenal dengan berbagai nama trendy seperti: tasawuf baru, tasawuf kontemporer dan juga neo-tasawuf. Yang mana nantinya akan menghasilkan neo-sufi, sufi salafi dan istilah lainnya. Ciri-ciri doktrin ini adalah memiliki fondasi yang menyimpang dan bahkan tidak sedikit yang menentang ajaran para Sufi yang sesungguhnya, yang memiliki sanad keilmuan bersambung kuat hingga kepada Sang Raja Para Sufi, yaitu Habibullah, Rasulullah Muhammad SAW.

3

Kajian makalah ini dimulai dari melihat diri sendiri, yakni sebagai manusia…

4

Kita dapat melihat pada diri kita, yang mana termasuk dalam kategori alam atau alam semesta—yakni segala sesuatu selain Allah disebut ‘alam’—memiliki awal dan akhir.

5

Keberadaan manusia diawali dengan kehidupan dan diakhiri dengan kematian. Ada yang hidupnya dimulai dengan proses dilahirkan, atau tanpa dilahirkan, seperti Nabi Adam AS. Namun semuanya memiliki akhir, yaitu kematian.

6

Lalu bagaimana dengan Agama? Apakah agama juga memiliki awal dan akhir? Tentu saja. Karena agama didesain Allah untuk ciptaan-Nya, maka pastilah kompatibel dengan fitrah makhluk-Nya. Agama juga memiliki awal dan akhir, tapi perbedaannya: Agama yang sejati, yang berasal dari Tuhan Yang Maha Tinggi tidak akan mati.

7

Disebut tidak akan mati karena Agama sejati adalah yang berpangkal dari Allah dan berujung pada Allah, Kebenaran yang terkandung di dalamnya bersifat Abadi. Kebenaran Absolut tidak akan pernah musnah atau binasa; berbeda dengan kebenaran yang bersifat relatif.

Setelah hal itu dipahami, lalu apakah awal dan akhir dari agama itu sendiri? Apa yang menjadi tujuan diturunkannya Agama dan tujuan dari menjalankan Agama, pastilah sesuatu yang sangat esensial bagi umat manusia.

8

Seperti yang difatwakan oleh para tokoh-tokoh agama Islam yang Agung nan Mulia tentang awal dan akhir agama, salah satunya adalah Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya Muhammad Amin Al-Khalidi QS. yang juga menfatwakannya dalam buku Beliau: “Capita Selecta”, yaitu: “Awaluddini Ma’rifatullah dan Akhiruddini Ma’rifatullah.” Lalu, apa arti dari kalimat tersebut dan bagaimana pengaplikasiannya secara ilmiah? Dan seberapa pentingkah bertarekat dalam agama?

Mari kita bahas.

9

Yang pertama, Arti Awaluddin Ma’rifatullah dan Akhiruddin Ma’rifatullah:

“Awal” dan “akhir” adalah dua kosakata dari banyak sekali kosakata dalam Bahasa Indonesia yang diserap dari Bahasa Arab.

Sedangkan “ad-din”, artinya “gaya hidup”, ‘life-style” atau “agama”. Agama sendiri memiliki arti “ketidakkacauan”, yakni dari Bahasa Sansekerta. “A” berarti “tidak”. Dan “gama” berarti “kekacauan”.

Lalu Ma’rifat. Secara bahasa makrifat berasal dari bahasa Arab, yaitu kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, ma’rifah yang berarti pengetahuan atau pengenalan. Definisi makrifat adalah keyakinan yang mantap yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil (dikutip dari Tanwirul Qulub, bab Ilahiyyat). Maka Ma’rifatullah artinya adalah Pengenalan terhadap Allah.

Setelah penjelasan tadi, maka sekarang kita semua telah paham tentang terjemahan dan definisi kata-kata dalam kalimat “Awaluddini Ma’rifatullah dan Akhiruddini Ma’rifatullah”. “Awal agama adalah Pengenalan terhadap Allah. Dan Akhir agama adalah Pengenalan terhadap Allah.”

10

Inilah awal dan akhir agama. Inilah tujuan diturunkannya agama, yaitu sebagai bimbingan bagi jin dan manusia untuk mengenal Allah. Dan tujuan kita menjalankan agama di dunia ini pun tentu harus sama dengan tujuan diturunkannya, yakni bukan untuk mencari ketenaran, harta atau hal duniawi lainnya; Akan tetapi, tentu saja tujuan kita beragama adalah juga sama, yaitu untuk mengenal Allah. Dan mengenal Allah ini, ma’rifat ini, bukanlah sebuah pencapaian yang bersifat linear atau memanjang, melainkan lebih seperti lingkaran. Seperti bertambahnya ilmu, kesadaran dan keyakinan. Maka dari itu, benar bahwa kehidupan di dunia ini adalah ladang bagi kita untuk beramal shaleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Semakin kita mengenal Allah tentu kita akan semakin cinta, dan semakin cinta pasti kita akan berusaha untuk selalu mendekat. Dan semakin kita mendekat, kita pun akan semakin dicintai-Nya dan mencintai-Nya, dan dengan pandangan cinta itulah kita akan semakin mengenal-Nya. Begitu seterusnya, tiada habisnya.

Di antara awal dan akhir agama pun, segala sesuatunya bertujuan untuk Mengenal Allah pula, inilah pembahasan berikutnya. Dan kita juga akan melihat betapa pentingnya ber-tarekat pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.

11

Yang kedua adalah pengaplikasian dari Awaluddin Ma’rifatullah dan Akhiruddin Ma’rifatullah secara ilmiah dalam beragama:

Dalam tradisi Islam ada empat istilah masyhur yang korelatif antara satu dengan yang lainnya.

12

NEXT

13

Yaitu: Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Keempatnya adalah struktur yang membentuk suatu bangunan yang utuh.

Syari’ah adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw. yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan sunnah, yang tekstual maupun melalui istinbath (analogi).

Sedangkan yang dimaksud dengan thariqah adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mengamalkan yang gampang-gampangnya saja. Dalam menjalankan itu semua, seorang hamba seharusnya berada dalam pengawasan seorang al-‘arif billah (artinya orang yang sungguh mengenal Allah).

Adapun haqiqah adalah buah dari thariqah. Hakikat terbagi dalam tiga bagian — karena akan terlalu panjang apabila dijelaskan di sini, maka kami rekomendasikan untuk melihat penjelasannya dalam kitab Tanwirul Qulub, pada bab Tasawuf. Kitab ini sudah ada terjemahannya dan tersedia online di beberapa website, seperti di pejalanruhani.com.

Mengenai hakikat, Al-Imam Malik r.a. berkata, “Barangsiapa bersyariat namun tidak berhakikat, berarti dia telah berbuat fasik. Barangsiapa berhakikat namun tidak bersyariat, berarti dia telah zindik. Dan barangsiapa telah menghimpun keduanya, dia sungguh telah berbuat benar.”

Artinya, Imam Malik ra., Sang Guru dari Imam Syafi’i ra. juga bertarekat. Karena hakikat adalah hasil dari tarekat. Dan Imam Malik ra. bukanlah orang yang fasik bukan pula zindik, melainkan seorang yang telah bertarekat dengan sempurna. Dan pasti, Imam Syafi’i juga bertarekat, karena beliau juga seorang Imam Mujtahid, yang pasti telah menghimpun keduanya, yakni menghimpun syariat dan hakikat, melalui tarekat.

Sebagai catatan: Imam Hambali r.a. memang pada awalnya meragukan kesufian, namun setelah beliau berguru kepada Sayyidi Syaikh Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy ra., Imam Hambali berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau harus duduk bersama kaum sufi karena mereka telah menambahkan banyak ilmu kepadaku, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur kepada Allah.”. Catatan ini ditambahkan mengingat beberapa tokoh bermazhab Hambali dicitrakan dengan memiliki pandangan yang menolak tarekat.

Baik. Dengan demikian, definisi Syariat, Tarekat dan Hakikat sudah dipaparkan. Sedangkan definisi Ma’rifat sudah dijelaskan di awal. Keempatnya dikutip dari Kitab Tanwirul Qulub. Di sejumlah pesantren salafiyah, kitab ini (Tanwir al-Qulub) biasanya dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih. Ini adalah kitab umum, yang biasa digunakan dalam kurikulum pendidikan Islami. Jika ingin lebih jelas memahami agama, mulai dari aqidah hingga adab, kami sangat merekomendasikan kitab tersebut. Jadi, silahkan dibaca, gratis.

Kini kita kembali pada awal dan akhir agama. Pada gambar ini, kita dapat melihat posisi makrifat di antara empat pembagian tersebut pada posisi akhir, tapi tidak di awal. Pertanyaannya: Di manakah letak makrifat pada awal agama?

14

Untuk mengetahuinya, kita harus membedah syariat. Maksudnya, kita akan melihat apa saja yang termasuk dalam kategori syariat. Belakangan ini kita sering mendengar istilah syariat: Misalnya bank syariat, ini syar’i, itu syar’i. Apa sih sebenarnya isi dari syariat itu? Apakah hanya sebatas hukum halal-haram dan wajib-sunnah saja? Mari kita lihat.

15

Terlihat di sini bahwa syariat memiliki 4 rukun atau bagian. Tapi, dari manakah pembagian ini berasal?

16

Betul sekali. Pembagian tersebut berasal dari Hadits Jibril AS. Di mana kala itu, Malaikat Jibril AS datang kepada Rasulullah SAW dalam rupa manusia dan menanyakan 4 pertanyaan. Perlu dicatat bahwa ada 2 versi yang terkenal dalam periwayatan hadist ini, yaitu versi Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Berikut adalah versi Imam Al-Bukhari. Keempat pertanyaan dalam tersebut adalah:

1. Apa itu Iman? (Dalam versi Imam Muslim, pertanyaan tentang Islam menjadi pertanyaan pertama)
2. Apa itu Islam?
3. Apa itu Ihsan?
4. Kapan Kiamat? (Dalam versi Imam Muslim, ada tambahan pertanyaan tentang tanda-tanda Kiamat, namun di versi/riwayat ini tanda-tanda kiamat langsung dijelaskan pada pertanyaan ke empat).

17

Kemudian, jawaban dari:
1. Apa itu Iman? Adalah Rukun Iman yang 6.
2. Apa itu Islam? Adalah Rukun Islam yang 5.
3. Apa itu Ihsan? Adalah Rukun Ihsan yang 2.
4. Kapan Kiamat? Rasulullah SAW bersabda bahwa yang bertanya tidak lebih tahu daripada yang ditanya, kemudian Beliau SAW menginformasikan 2 dari tanda-tanda kiamat.

Memang di zaman Rasulullah SAW hidup belum ada istilah Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Tapi seiring berjalannya waktu, para Ulama Pewaris Nabi mulai mengklasifikasi ilmu-ilmu tersebut untuk memudahkan kita mempelajarinya.

18

Dalam mendalami iman, ilmu-ilmunya digolongkan dalam ilmu aqidah atau ushuluddin. Dalam mendalami Islam, ilmu-ilmunya dikompilasi menjadi ilmu fiqh. Dalam mendalami ihsan, dikategorikan sebagai ilmu tasawuf. Sedangkan untuk tanda-tanda Kiamat, disebut dengan Eskatologi.

Eskatologi atau Fiqh Tahawullat atau popular dengan istilah ilmu akhir zaman adalah juga bagian dari syariah, sebagaimana pendapat banyak Ulama, salah satunya adalah Al-Habib Abu Bakar Al-Adni QS., beliau adalah salah satu Guru dari Al-Habib Umar bin Hafidz.

Syariat juga mencakup ilmu tasawuf yang berdasarkan dari 2 rukun Ihsan yaitu:

1. Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.
2. Apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.

; Dan sangatlah salah apabila berpandangan bahwa tasawuf berada di luar ranah syariat.

Sedangkan fiqh hanyalah salah satu bagian dari syariat; Sangatlah salah apabila berpandangan bahwa ilmu fiqh adalah satu-satunya ilmu dalam syariat Islam.

Dan dalam syariat, justru posisi ilmu aqidah berada pada bagian terpenting dari syariat, karena ilmu ini membahas tentang Iman, subjek yang paling mudah namun di saat yang bersamaan, juga sebagai subjek yang paling susah. Ilmu Tauhid atau Ma’rifatullah, serta Ma’rifaturrasul juga termasuk di dalamnya kajian ilmu aqidah ini, maka jelaslah ia disebut aqidah, yang artinya fondasi. Dikatakan fondasi karena ilmu ini adalah landasan awal beragama.

19

Karena kurikulum ilmu Aqidah ini berawal dari Ma’rifatullah/Pengenalan terhadap Allah, maka terlihat sudah posisi Ma’rifatullah pada Awal Agama, yaitu berada dalam kategori Syariat, pada subkategori bidang ilmu Aqidah.

20

NEXT (MAKRIFAT MASUK KE TAUHID)

21

Inilah keempat unsur yang membentuk ilmu syariat.

22

Keempatnya terintegrasi dalam tradisi Islam itu sendiri, dan bukanlah merupakan hal baru. Pengetahuan ini berdasarkan pada dalil yang otentik, yaitu Hadis Jibril AS.

23

Syariat adalah awal agama dan awal dari syariat adalah Pengenalan terhadap Allah. Dengan penjelasan tadi, kini kita menjadi paham akan posisi Awaluddin Ma’rifatullah.

Awalnya dipahami dengan akal, berdasarkan dalil aqli dan naqli, yang dikenal dalam pendidikan Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan nama kajian Aqidatul Awwam, yang artinya aqidah untuk umum, kajian aqidah paling sederhana untuk orang awam yang teridiri dari: 20 Sifat Wajib Allah, 20 Sifat Mustahil Allah, 1 Sifat Ja’iz Allah (Jaiz atau Mungkin). Kemudian dilanjutkan dengan Ma’rifaturrasul yang terdiri dari 4 Sifat Wajib Rasulullah, 4 Sifat Mustahil Rasulullah, dan 1 Sifat Ja’iz Rasulullah SAW. Semuanya berjumlah 50 Sifat.

24

NEXT

25

Kemudian pada akhir agama, juga ada Ma’rifatullah, yang letaknya sudah jelas terlihat. Sebagai pendalaman, sebagai pembuktian, sebagai sebuah ketersingkapan. Sebagai tujuan beragama.

Tidak hanya Mengenal-Nya dengan akal namun dengan qalbunya, bahkan Mengenal Tuhannya dengan Tuhan-Nya. Sebagaimana yang difatwakan oleh Sayyidina Abu Bakr Ash-Shiddiq r.a. perihal Ma’rifat:

“La ya’rifullahh ilallah”. Yang artinya: tiada yang mengenal Allah, kecuali Allah.

26

Kini sudah terlihat jelas posisi Ma’rifat pada Awal dan Akhir agama. Namun, perlu diingat kembali, seperti yang telah kami jelaskan di awal, bahwa jenjang ini bukan bersifat linear atau memanjang, namun lebih seperti lingkaran; dan mohon dimaklumi, karena keterbatasan kami, kami menemukan hal itu sulit untuk kami ilustrasikan dan sajikan di sini.

Namun, kami akan sedikit menjelaskannya sebelum memulai pembahasan tentang pentingnya tarekat. Yang kami maksud bahwa jenjang ini bersifat seperti lingkaran adalah bahwa dalam jenjang beragama, bisa saja seseorang yang tidak menghafal atau bahkan tidak mengetahui tentang kajian 50 Sifat yang disebutkan di atas, namun dia sudah mendapatkan Ma’rifat sebagaimana yang berada pada akhir agama. Hal ini sangat mungkin, dikarenakan perjalanan agama ini tidak ditempuh secara fisik, melainkan secara metafisik atau batin. Kita semua mengetahui, bahwa yang akan kembali kepada Allah adalah ruh yang bersifat batin atau metafisik.

27

Lebih lanjut mengenai hal ini, dalam perjalanan menuju Allah ini, dikenal sebuah istilah yang disebut dengan Majdzub, yang berasal dari kata jadzbah (yang artinya ketertarikan ruhani).

Dengan bimbingan Guru Mursyid yang Sempurna nan Menyempurnakan, seorang murid bisa mendapatkan pancaran ruhani dari Gurunya, yang memberikannya berbagai ketersingkapan.

Secara istilah, Majdzub bukanlah Sufi. Karena para sufi itu mendasari ajaran mereka dengan akidah Alhus-Sunnah wal-Jama’ah dan fikih para Imam Mujtahid. Semua imam sufi itu juga ahli fikih. Sedangkan orang majdzub atau dalam kondisi jadzbah, yakni kehilangan akalnya karena tenggelam dalam cintanya kepada Allah, tanggung jawab syara’ terangkat darinya.

28

Maka untuk menyempurnakan Ma’rifatnya, seorang Majdzub, bila Allah berkenan, maka akan dibimbing oleh Allah untuk menempuh jenjang ini secara sempurna dari awal, melalui perantara Guru Mursyid.

Penempuhan perjalanan ini disebut suluk, dan pejalannya disebut salik. Oleh karena itu, orang Majdzub yang kemudian menempuh suluk disebut al-majdzub as-salik. Al-majdzub as-salik ini lebih tinggi dibandingkan as-salik al-majdzub, karena dia menyaksikan segalanya bersama Allah Ta’ala.

Dengan begitu, pemahamannya akan ilmu aqidah (misalnya dalam memahami Sifat 50 yang disebutkan tadi) dan bidang studi lainnya akan lebih mantap.

Sebagai catatan: Ada pula yang Allah tetap tahan dengan Rahmat-Nya dalam maqam atau tahapan Majdzub, biasanya disebut dengan Wali Majdzub. Namun, secara istilah akademis bukanlah disebut Sufi. Karena untuk disebut sebagai Sufi, yakni menguasai dan menjalankan syari’at, seorang Majdzub haruslah menempuh suluk, sehingga disebut Al-Majdzub As-Salik.

“Sang sufi itu lahirnya sadar dan batinnya mabuk.”, begitulah kata Shaykh Abdalqadir as-Sufi dalam kitabnya yang berjudul “100 Langkah”. Sedangkan seorang yang dalam kondisi Majdzub, batin dan lahirnya sama, tiada hijab.

29

Hanya saja skenario ini langka. Karena penarikan ini murni hak prerogratif Allah.

Sedangkan pada umumnya seseorang yang ingin menyempurnakan agamanya, ingin kaffah Islamnya, atau dapat dikatakan ingin menjadi Sufi, umumnya menempuh perjalanan agama ini dari awal, yaitu mempelajari syariat secara komprehensif terlebih dahulu, dan tentu bila tujuannya ingin menjadi Sufi, proses pembelajarannya haruslah di bawah bimbingan seorang Sufi pula.

30

Setiap salik atau pejalan yang menempuh suluk atau perjalanan agama, menuju ke satu tujuan yang sama, yaitu menyadari ke-majdzubannya. Setiap tarekat memiliki suluk yang berbeda-beda, namun bermuara pada Tuhan yang sama. Tiada perbedaan dalam masalah Tauhid di antara para Ulama Pewaris Nabi. Mengenai hal ini, Sayyidi Syekh Abu Yazid Al-Busthami qs. berfatwa: “Perbedaan di antara para ulama merupakan rahmat, kecuali dalam masalah tauhid”.

Mengenai suluk dalam tarekat secara umum, berikut penjelasannya dikutip dari kitab “100 Langkah” karya Shaykh Abdalqadir as-Sufi:

“Suluk merupakan sarana yang memungkinkan untuk memperoleh manfaat-manfaat jadhzab (keterpikatan) tanpa perlu menjadi majdub, -gila dalam Allah-, sehingga keterpikatan (yang benar, Peny.) dapat berlangsung -karena itu penting- dan keterpikatan yang tak bermanfaat dapat dihindari. Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang bisa memperoleh pengalamannya tanpa harus terjebak dalam maqamnya.”

31

Mengenai topik salik dan majdzub, silahkan dilihat kembali pada kitab Tanwirul Qulub, pada bab Mengenal Nasab dan Silsilah Guru sampai ke Rasulullah SAW.

32

Dengan demikian, maka telah rampung penjelasan tentang Ma’rifat sebagai Awal dan Akhir dalam beragama. Karena kami rasa, dengan memahami tujuan beragama, struktur agama, kemudian memahami pembagian ilmu syariat dan variabel dalam jenjang beragama, maka akan jauh lebih mudah untuk menangkap pentingnya bertarekat atau berguru dalam rangka Mengenal Allah.

Maka dengan pemahaman ini, kita akan melanjutkan kepada pembahasan berikutnya, yaitu tentang peran utama tarekat dalam beragama, yakni dalam meraih ridha, cinta, dan akhirnya, ma’rifat kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah doa yang diriwayatkan oleh Sayyidi Syekh `Abd al-Khaliq al-Ghujduwani QS.:

“Ilahi Anta Ma’sudi Wa Ridlhaka Matlubi, Atini Mahabbataka Wa Ma’rifatak”

Yang artinya: “Ya Allah, Engkaulah puncak tujuanku dan ridha-Mu yang kumohon. Berilah aku kecintaan dan pengenalan kepada-Mu.”

33

Yang pertama kali perlu dipahami adalah bahwa bertarekat bukan berarti beranjak atau meninggalkan syariat. Justru sebaliknya.

34

Tarekat adalah proses realisasi, pelaksanaan daripada syariat secara keseluruhan. Bahkan syariat sendiri menuntut pelaksanaan tarekat.

35

Apabila kita mempelajari ilmu tasawuf dengan sungguh-sungguh, maka akan kita temukan dalam salah satu prinsip dasar tasawuf tentang tingkatan partisipasi terendah dalam keilmuan ini, yaitu membenarkannya, serta – di sinilah letak kata kuncinya – menyerahkannya kepada ahlinya. Sedangkan, seluruh ahli tasawuf, semuanya pasti bertarekat. Beberapa nama beliau akan kami sebutkan pada slide-slide berikutnya nanti.

Artinya, apabila kita ingin menuntut ilmu tasawuf, dalam rangka menjalankan syariat secara sempurna, maka kita tidak boleh mengandalkan diri sendiri dalam memahami teks-teks tasawuf, apalagi teks-teks tasawuf pada tingkat lanjut, dan menjalankannya tanpa bimbingan seorang Mursyid secara fisik maupun metafisik. Apabila itu tetap dilakukan, maka ia telah menyalahi ilmu tasawuf itu sedari awal. Karena dalam salah satu prinsip ilmu tasawuf sendiri mengharuskan kita untuk menyerahkan kepada ahlinya.

36

Maka telah jelas bahwa dalam ilmu tasawuf, yang mana adalah bagian dari syariat itu sendiri, menuntut adanya pelaksanaan tarekat.

37

Yang kedua adalah keberadaan tarekat sebagai fase untuk mencapai ma’rifatullah sudah terintegrasi sedari awal dan tidak dapat dipisahkan, tidak dapat diabaikan dalam struktur agama.

38

Sayyidi Syakh Muhammad Amin Al-Kurdi QS. menfatwakannya dalam kitab Tanwirul Qulub perihal keterkaitan keempatnya sebagai berikut:

“Barangsiapa memandang hakikat segala sesuatu dengan Allah, dia akan mendapati bahwa syari’ah dan haqiqah merupakan dua hal yang korelatif dan inheren seperti air bagi sebatang kayu, dan ruh bagi jasad. Syari’ah bagaikan pohon, thariqah bagaikan rantingnya dan haqiqah adalah buahnya.”

Dikatakan bahwa “Barangsiapa memandang hakikat segala sesuatu dengan Allah… dan seterusnya.” Jadi apabila seseorang sudah bermakrifat, barulah ia dapat melihat kesatuan empat fase ini. Walaupun memang susah untuk melihat keutuhan itu, namun kami akan mencoba menjelaskan sebisanya, walau tidak semuanya, tapi setidaknya kami akan mencoba menjelaskan keterikatan antara syariat dan tarekat secara lebih lanjut.

Untuk itu, kita harus sedikit merubah cara pandang kita terhadap keempat fase ini terlebih dahulu. Mari kita ubah.

39

NEXT

40

NEXT

41

NEXT

42

NEXT

43

Kini kita dapat melihat posisi tarekat berada di atas syariat.

44

Pada gambar ini ditegaskan secara visual bahwa tarekat tidak dapat berdiri sendiri. Karena syariat adalah fondasi dari tarekat.

Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya Muhammad Amin Al-Khalidi QS. dalam “Capita Selecta” berfatwa mengenai hal ini:

“Thariqat yang benar harus pula berdiri di atas syariat Islam.”

dan lebih lanjut mengenai hal ini Beliau berfatwa:

“…Supra-rasional yang benar, harus berdiri di atas rasional, metafisika yang benar, harus berdiri di atas fisika, dan thariqat Islam yang benar, hakikat Islam dan seterusnya, harus berdiri di atas Syariat Islam yang nyata.”

45

Dan agar hubungan antara keduanya terlihat lebih jelas lagi dan supaya lebih mudah dipahami, kami akan menyederhanakan empat istilah ini dengan istilah yang lebih familiar dengan bahasa pendidikan saat ini.

46

Syariat yang berisi tata cara, penjelasan dan peraturan..

47

Tarekat yang menyangkut pelaksanaanya..

48

Dan hakikat yang menjadi hasil dari pelaksanaannya.. agar lebih mudah dipahami, ketiga istilah ini kita sederhanakan menjadi…

49

Teori, praktek dan hasil.

50

Sedangkan tujuannya…

51

Sudah pasti Allah SWT.

52

Walaupun dalam pandangan Ulama ditemukan bahwa syariat sebagai sisi lahir muncul dari hakikat sebagai sisi batin, sebagaimana ruh yang telah ada terlebih dahulu sebelum adanya jasad, tapi dalam konteks ini, agar lebih mudah dipahami, mari kita lihat keempatnya sebagai suatu kesatuan yang memiliki hubungan linear atau sebab-akibat yang dapat dipahami seperti analogi berikut:

Pak Fulan ingin menafkahi keluarganya, maka..

Pak Fulan belajar teori menjahit;

setelah itu Pak Fulan mempraktekan teorinya di tempat kerja;

kemudian mendapatkan upah sebagai hasilnya;

dan upah tersebut digunakan untuk menafkahi keluarganya sebagai pemenuhan tujuannya.

Setelah hal tersebut dipahami, sekarang kita akan menggunakan pertanyaan sebagai media untuk memahami hubungan antara syariat dan tarekat lebih dalam lagi. Pertanyaannya adalah:

53

Apakah orang yang sudah praktek atau orang sudah menjalankan syariat, berarti dia sudah bertarekat?

Perlu diingat bahwa definisi tarekat adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mengamalkan yang gampang-gampangnya saja. Dalam menjalankan itu semua, seorang hamba seharusnya berada dalam pengawasan seorang al-‘arif billah (artinya orang yang sungguh mengenal Allah).

Kemungkinan besar, orang-orang yang enggan bertarekat atau bahkan menolak tarekat adalah bahwa mereka merasa telah mengamalkan syariat dengan sungguh-sungguh.

Dan karena kurangnya pengetahuan terhadap syariat itu sendiri, kebanyakan orang menganggap dirinya sudah mengenal Allah, yakni sebatas mengetahui nama-nama Tuhannya dan peraturan-peraturan-Nya saja, tanpa mendalami ilmu aqidah itu sendiri.

Dan dengan pemahaman awam itu, tentu saja wajar bila akhirnya orang awam berpandangan bahwa ustadznya atau guru ngajinya telah mengenal Allah.

Perlu dicatat bahwa ini bukan sebuah spekulasi, melainkan berdasarkan dari pengalaman bahwa sebagian dari kami pernah berpandangan demikian sebelum bertarekat. Dan menurut kami, permasalahan ini lebih mendasar daripada stigma atas tarekat itu sendiri, yaitu: merasa atau berasumsi bahwa dirinya telah menjalankan syariat secara sungguh-sungguh dan telah mendapatkan bimbingan dari orang yang mengenal Allah.

Mari kita bahas permasalahan ini satu persatu dengan model pertanyaan introspeksi diri. Tapi bukan dengan pertanyaan introspeksi yang bersifat subjektif, seperti: “Apakah saya sudah menjalankan syariat secara sungguh-sungguh?”. Namun untuk membahas hal ini diperlukan pertanyaan instropeksi yang bersifat objektif. Maka, pertanyaan yang kami lontarkan adalah: “Apakah pemahaman saya akan syariat sudah sepaham dengan para Ulama Pewaris Nabi, yakni mereka yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung hingga kepada Rasulullah Muhammad SAW?”

54

Untuk mengetahui apakah syariat kita sudah sepaham atau belum, kita harus terlebih dahulu mengenal para Imam pada setiap bidang keilmuan dalam syariat Islam.

55

Mari kita mulai bidang keilmuan yang mengorbit pada hal-hal lahir, seperti hukum halal-haram dan tata cara ibadah, seperti shalat, puasa dan lain-lain, yaitu ilmu fiqh.

56

Dalam ilmu fiqih sendiri, ada 4 jalan atau mazhab. Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Hanbali radhiallahuanhum.

Terdapat berbagai perbedaan dalam pandangan/pendapat dan pelaksanaan ilmu fiqh antar mazhab tersebut, namun seluruh pendapat dan pelaksanaan yang berbeda-beda itu kesemuanya benar.

Salah satu contoh perbedaan pendapat dalam hukum halal-haram adalah perbedaan hukum dalam memakan kepiting. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i mengharamkannya, sementara ulama mazhab Maliki dan Hanbali menghalalkannya. Sebagai tambahan wawasan saja: Adapun Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menghalalkan kepiting.

Lalu, salah satu contoh perbedaan dalam pelaksanaan tata cara beribadah secara lahir adalah pengikut mazhab Imam Malik biasanya shalat dengan tangan tidak bersedekap, yakni lurus (disebut sadl atau irsal), sedangkan mazhab lain bersedekap dengan posisi yang sedikit berbeda antara ketiga mazhab tersebut. Dan semuanya benar. Misalnya, tanggapan Imam Syafi’i mengenai sadl dalam kitab Al-Umm, beliau menjawab “laa ba’sa bihi”, artinya tidak masalah.

Sedangkan yang salah adalah apabila tidak mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan ia berkata, “Aku beramal menurut Alqur’an dan sunnah”, seraya mengaku dirinya faham hukum-hukum dari Alqur’an dan sunnah, maka dia tidak diterima. Karena dia telah keliru, sesat dan menyesatkan. Terutama di zaman ini, zaman yang penuh dengan kefasikan dan banyak pengakuan yang keliru. Dia keliru dan sesat karena telah tampil mengungguli para imam, padahal dia lebih rendah dari para imam, baik dalam derajat keilmuannya, amalnya, keadilannya maupun dalam ketelitiannya. Sebab belum terdengar ada dari selain para imam itu yang punya ilmu dan keadilan yang lebih unggul atau setingkat dengan mereka. Begitu juga dalam penguasaaan ilmu-ilmu bahasa Arab, penguasaan aqwal (ungkapan dan pendapat) para sahabat, ushuluddin, tafsir, hadis dan hal-hal lain yang menjadi syarat-syarat ijtihad.

Maka, keangkuhan yang berbentuk tidak mau, yakni tidak mau mengikuti, atau tidak mau mengikat diri dengan salah satu dari mazhab yang empat tersebut adalah salah satu ciri dari khawarij yang tentunya sesat dan menyesatkan.

57

NEXT

58

Berikutnya adalah tiga bidang keilmuan dalam syariat Islam yang berhubungan dengan batin.

59

Pertama adalah aqidah. Di antara imam dalam ilmu ini adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Maturidi. Tidak ada perbedaan esensi dari ajaran keduanya, melainkan hanya susunan penjabarannya.

Contohnya perbedaan pembagian atau urutan: Imam Asy’ari melekatan takwin, kalam “Kun”, pada Sifatul Kalam. Sedangkan dalam susunan Imam Maturidi, takwin, “Kun”, diletakkan setelah sifat Al-Kalam.

Ada pula Imam At-Thahawi, dari Mesir. Beliau juga seorang Imam di bidang ilmu aqidah dari golongan Ahlus sunnah wal jamaah. Walaupun poin dalam ajaran beliau lebih banyak, namun lebih mudah dipahami. Hanya saja beliau tidak seterkenal Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Namun ilmu aqidah Imam At-Tahawi masih diajarkan di seluruh dunia hingga saat ini. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia, ajaran aqidah Imam At-Thahawi di terjemahkan oleh Buya Arrazy Hasyim. Dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh Shaykh Hamza Yusuf. Keduanya dengan sanad yang bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

Di antara ketiga Imam ini tiada perbedaan, melainkan hanya perbedaan sususan serta cara menjelaskan, dan semuanya benar. Dikatakan tidak memiliki perbedaan karena dalam ilmu aqidah tidak menggunakan hukum halal-haram, yang kadang bersifat kondisional, sebagaimana dalam fiqih, melainkan menggunakan hukum akal yang baku, yaitu wajib, jai’z dan mustahil, dalam menetapkan dalil aqli dan menggunakan Al-Qur’an dalam menetapkan dalil naqli. Bila hal itu dapat dipahami, maka dapat dilihat bahwa tiada perbedaan dalam bidang ilmu aqidah baik dalam Ma’rifatullah maupun Ma’rifaturrasul.

Sama halnya dengan 4 Imam Mujtahid dalam ilmu fikih, kita juga harus mengikuti salah satu Imam dalam bidang aqidah ini. Apabila kita menolak ajaran para Imam tersebut, meremehkannya atau justru mengatakan bahwa salah satu Imam di bidang aqidah ini mengajarkan ajaran sesat atau termasuk orang sesat, tentu saja, pada kenyataannya, orang yang mengatakan demikian itu adalah orang yang sesat dan menyesatkan.

60

Berikutnya adalah ilmu tasawuf. Di antara para Imam di bidang ilmu tasawuf adalah:

Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Busthami, Sayyidi Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani, Sayyidi Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi, Sayyidi Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, Sayyidi Syaikh al-Junaidi al-Baghdadi, Hujatul-lslam Imam Abu Hamid al-Ghazali, Sayyidi Syaikh as-Suhrawardi, Sayyidi Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, Sayyidi Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan lainnya (q.s.).

Pada dasarnya pun sama, tiada perbedaan di antara ajaran mereka. Yang terlihat sebagai perbedaan dan keberagaman sebenarnya adalah penambahan penjelasan yang disesuaikan dengan pemahaman murid, atau orang yang menuntut ilmu tasawuf ini, tujuannya agar lebih mudah dimengerti dan lebih mudah menerima Kebenaran.

Misalnya, pada 11 Prinsip Dzikir dalam Tarekat Naqsyabandiyah, 8 asas pertama dari Prinsip/Asas Dzikir di formulasikan oleh Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs., kemudian 3 Asas terakhir oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi qs.

Analoginya seperti tajwid dalam Al-Qur’an. Awalnya tidak bertajwid, dan kemudian bertajwid. Tujuannya agar lebih mudah membacanya, memberikan waktu lebih banyak bagi pembaca untuk bertadabur, daripada sibuk dengan urusan teknis pembacaan pada permulaannya. Namun, dengan atau tanpa tajwid, bacaan Al-Qur’an tetap sama sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala melalui lisan Rasulullah SAW. Begitulah analogi perubahan yang terjadi dalam ilmu tasawuf, begitupula dengan ilmu aqidah. Semakin banyak penjelasan dan tambahan, semakin mudah untuk dipahami.

Para imam tasawuf disebut juga sebagai imam sufi. Dan para imam sufi itu berada dalam petunjuk Allah Ta’ala sebagaimana halnya imam-imam aqidah dan fikih. Mereka mendasari ajaran mereka dengan akidah Alhus-Sunnah wal-Jama’ah dan fikih para Imam Mujtahid. Karena itu semua imam sufi itu juga ahli aqidah dan fikih, walaupun tidak semuanya membuat karya mengenai setiap bidang keilmuan tersebut.

Sama halnya dengan 4 Imam Mujtahid dalam ilmu fikih dan aqidah, kita juga harus mengikuti salah satu Imam dalam bidang tasawuf ini. Apabila kita menolak kebenaran ajaran para Imam, meremehkannya atau justru mengatakan bahwa salah satu Imam di bidang tasawuf ini mengajarkan ajaran sesat atau termasuk orang sesat, tentu saja, pada kenyataannya, orang yang mengatakan demikian itu adalah orang yang sesat dan menyesatkan.

61

Yang terakhir, adalah ilmu akhir zaman. Ilmu ini berbeda dengan ilmu syariat yang lainnya, karena tidak ada Imam atau mazhab dalam keilmuan ini. Hal ini dikarenakan ilmu akhir zaman tidak seperti ilmu-ilmu lain yang memiliki landasan yang pasti, melainkan lebih seperti sebuah penerjemahan tanda-tanda kiamat dari teks-teks agama atau atas kejadian-kejadian yang terjadi dan akan terjadi. Karena tidak ada mazhab di dalamnya, maka tiada kewajiaban untuk mengikuti seorang Imam dalam bidang keilmuan tanda-tanda akhir zaman atau yang disebut dengan eskatologi ini. Hanya saja, bagi orang yang ingin sungguh-sungguh menjalankan syariat, haruslah mempelajarinya sebagaimana yang telah difatwakan oleh para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah saat ini. Karena sudah banyak tanda-tanda kiamat yang termanifestasi, maka kita wajib mempelajari ilmu ini. setidaknya sebagai permulaan, dengan mengetahui 2 tanda-tanda kiamat yang diriwayatkan dalam Hadits Jibril AS.

Perlu dicatat bahwa seseorang tidak dapat menerjemahkan tanda-tanda akhir zaman yang begitu kompleks secara akurat, tanpa menguasai atau memiliki sanad keilmuan yang jelas atas ketiga ilmu syariat yang disebutkan sebelumnya, kecuali hanya sekedar melontarkan spekulasi belaka yang justru banyak mudharatnya.

62

Demikianlah pengenalan para Imam dan penjelasan tentang ketiga bidang keilmuan dalam syariat Islam yang berhubungan dengan batin.

63

Dari empat ilmu syariat Islam, ada persamaan yang mendasar, yaitu bahwa seluruh ahli dalam setiap cabang ilmu syariat ini memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersambung kepada salah satu Sahabat Nabi yang 4, yakni Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya bersambung kepada Rasulullah SAW.

64

Dan secara statistik, hanya 1/4 dari keseluruhan ilmu syariat yang menyangkut ilmu lahir atau fisik dan 3/4 nya menyangkut ilmu batin yang mencakup dan membutuhkan pemahaman, perenungan, pemikiran, penelitian dan lain-lain yang bersifat metafisika, yakni berhubungan dengan hal yang keberadaannya tidak tampak oleh indra lahir semata, seperti akal dan qalbu.

Sebagai kesimpulan:
Ilmu Fiqh amalnya adalah lahir
Ilmu Tauhid atau aqidah, amalnya adalah ilmu itu sendiri
Ilmu Tasawuf, amalnya adalah batin
Dan ilmu akhir zaman, amalnya adalah lahir dan batin, yaitu dapat memotivasi untuk meningkatkan amal lahir dan batin.

Itulah sekilas tentang dalamnya, kompleksnya dan pentingnya ilmu syariat.

65

Apabila seseorang betul-betul memahami syariat sesuai dengan apa yang dipahami para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah, sudah barang tentu dia akan bertarekat, karena seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa syariat itu sendiri menuntut adanya pelaksanaan, praktek dari teori, menuntut adanya tarekat.

Jadi bagaimana? Apakah kita sudah sungguh-sungguh menjalankan syariat? Apakah syariat secara keseluruhan, secara kaffah atau hanya sebagian saja? Apakah syariat yang kita jalankan itu sudah sepaham dengan para Imam? Apabila tidak sepaham lalu darimana kita mendapatkan pemahaman berislam? Apa boleh mengambilnya dari orang yang tidak bersanad? Apa boleh sembarangan seperti itu? Ataukah kita baru menyadari bahwa ternyata kita itu tidak paham syariat?

66

Maka dari itu, dalam definisi thariqah itu sendiri, dalam praktek beragama itu sendiri secara definisi memang harus dibawah seseorang yang sudah sampai kepada Allah Ta’ala.

Karena agama Islam itu begitu kompleks, tidak cukup hanya dengan akal. Dan syariat Islam, teori Islam itu sendiri, tidak hanya mengurus hukum halal dan haram saja. Tapi justru dominan mengurus tentang aspek batin.

Kesimpulannya, prakteknya pun harus didominasi oleh praktek batin.

Bukankah setiap amalan tergantung pada niatnya?

Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi:

“Niat seorang mukmin lebih utama dari pada amalnya.”.

67

Maka dari itu, yang harus diketahui dan dimantapkan pertama kali oleh orang awam agar tidak melulu menjadi awam, dan juga orang-orang yang baru belajar Islam, seperti muallaf atau orang yang mendapatkan hidayah, yakni yang baru mau mulai belajar, dalam tanda kutip mau “berhijrah”, bukanlah menyibukkan diri untuk beramal yang susah-susah, atau menghafal yang panjang-panjang dahulu, akan tetapi sibukkan diri dalam mengetahui dan memantapkan tujuan dari beragama itu sendiri. Karena niat itu akan benar apabila yang ditujunya itu benar. Dan tujuannya itu haruslah Tuhannya sendiri. Tanpa Allah apalah artinya agama ini?

Sayyidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani QS. berfatwa mengenai hal ini:

“Mayoritas kalian menginginkan dunia, hanya sedikit yg menginginkan Akhirat, dan sangat jarang sekali di antara kalian yg menginginkan Wajah Tuhan Pemilik dunia dan Akhirat.”

68

Apabila seseorang belum mantap niatnya untuk meraih nikmat paling Agung, paling Mulia, nikmat yang lebih tinggi daripada nikmat Surga, yaitu Memandang Wajah Allah Ta’ala, maka praktek agamanya pun tidak akan mendatangkan hasil yang konkrit.

69

Karena tidak ada hasil, tidak ada bukti yang konkrit, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Alhasil, praktek agamanya menjadi mandek.

Contohnya, belum paham ilmu aqidah, tapi sudah sibuk untuk memahami ilmu waris. Maka sudah melenceng dari awaludin ma’rifatullah dan akhirudin ma’rifatullah.

70

Atau malah jadi malpraktek. Ada yang maunya tobat tapi malah jadi teroris. Menjadikan seseorang yang tidak kenal kepada Allah sebagai gurunya. Alhasil, hatinya, qalbunya, batinnya tidak diperhatikan, hanya sibuk memperhatikan persoalan yang lahir saja. Akhirnya hatinya menjadi keras, menjadi tega. Padahal Sang Teladan seluruh umat Islam, Sayyidina Muhammad SAW, adalah Rahmat bagi seluruh alam. Ini karena mengabaikan aspek batin dari syariat Islam, tidak proporsional dalam bersyariat. Inilah yang kami sebut sebagai malpraktek.

71

Lalu, tanpa niat yang shahih, tanpa niat yang mulia, tanpa niat yang matang, praktek agama akan menjadi rawan bid’ah. Misalnya tidak bersanad dalam urusan beragama. Itu termasuk bid’ah. Karena Sahabat Rasulullah SAW sendiri pun bersanad kepada Rasulullah SAW, tidak langsung menerima dari Allah. Begitu pula generasi setelah Sahabat, para Tabi’in, yang bersanad kepada Sahabat terlebih dahulu, karena tidak bisa langsung kepada Rasulullah SAW. Itu logis.

Maka, apabila tidak bersanad, tidak mau bermazhab, itu termasuk bid’ah. Dan orang-orang yang seperti ini biasanya suka membid’ahkan orang lain. Hal ini rawan terjadi apabila seseorang memiliki tujuan hidup yang selain Allah Ta’ala.

72

Yang terakhir adalah rawan syirik. Karena apabila tanpa memahami syariat sebagaimana yang harus dipahami, dan menjalankannya dengan mengikuti pemikirannya sendiri, mempraktekannya secara batin maupun fisik bukan demi tujuan yang paling Agung, maka setan akan dengan mudah menjatuhkannya. Bisa saja dia justru menyembah setan, menjadi dukun, mengaku jadi Nabi atau bahkan mengaku jadi Tuhan. Dan itu syirik. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila praktek beragama mengandalkan diri sendiri, mengikuti hawa nafsu.

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Kahfi ayat 17:
waman yudhlil falan tajida lahu walii-yan mursyidan
“dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan padanya seorang Wali yang Mursyid.”

Maka benar perkataan orang-orang mengenai hal ini: “Barangsiapa tidak memiliki guru yang memberinya bimbingan ruhani, atau yang disebut dengan Wali Mursyid, maka gurunya adalah setan.”

Sedangkan orang yang beragama dengan niat yang benar, tujuannya Allah semata, maka Allah pasti akan membimbingnya.

73

Bimbingan Allah Ta’ala itu banyak bentuknya, namun apa pun bentuknya, pastilah berada di atas jalan yang lurus. Dan di atas jalan itulah orang-orang yang diberi nikmat berada. Nikmat itu adalah nikmat mengenal Tuhannya, Mengenal Allah Ta’ala, nikmat Ma’rifatullah.

Firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Fatihah ayat ke-6:
Ihdinas siratal mustaqim.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Dan firman Allah Ta’ala dalam Surah Hud ayat ke-56.
inna rabbii ‘alaa shiroothim mustaqiim
“Sungguh Tuhanku berada di jalan yang lurus.”

Jadi, Tuhan sendiri yang membimbing orang-orang yang diberi nikmat itu. Orang-orang yang diberi nikmat Ma’rifatullah.

74

Itulah para Guru Tarekat, Para Wali Mursyid atau yang disebut dengan Guru Sufi. Mereka yang telah diberi nikmat Ma’rifat. Yang telah sampai kepada tujuan, telah sampai kepada Allah, atau disebut dengan wushul. Itulah Guru yang sejati.

Seorang Murid Tarekat adalah seorang yang berada dalam sebuah jalan atau metodelogi beragama yang diridhai Allah, yang mana jalan itu telah dikenal baik oleh Gurunya, dan telah diberi izin oleh Allah Ta’ala untuk membimbing orang-orang yang mencari Kebenaran di atasnya.

Walaupun jalan ini sangatlah terjal dan para pejalannya memiliki waktu yang sempit dan banyaknya rintangan yang menghadang, tapi karena Allah sendiri yang membimbing Murid tersebut melalui perantara atau wasilah Guru yang telah mengenal Allah, Guru yang ‘arif billah, maka pasti akan sampai pada destinasi dengan selamat. Analogi pernyataan bahwa Allah sendirilah yang membimbing murid itu dengan wasilah Guru yang diberikan izin oleh Allah adalah seperti seorang ayah yang memberikan rizki kepada anaknya, yakni sebagai sunnatullah, padahal pada hakikatnya, Allah sendiri yang memberi rezeki, karena Allah tidak membutuhkan perantara sebagaimana dalam hukum sebab-akibat, melainkan, keberadaan sunnatullah itu sendiri, sebagai bentuk Rahmat-Nya.

75

Maka dari itu sangat berbeda orang yang praktek beragama bersama seorang Pembimbing yang telah terbimbing, seorang pembimbing yang telah sempurna dan menyempurnakan, bila dibandingkan dengan orang yang berguru kepada dirinya sendiri atau kepada orang yang belum Mengenal Allah, mereka tidak akan mendapatkan hasilnya disebabkan alasan-alasan yang disebutkan sebelumnya.

76

Sedangkan seseorang yang istiqamah dalam mematuhi, mengikuti ajaran Sang Guru Tarekat, Allah akan memancarkan Cahaya-Nya kepada Murid tersebut, akan tersibak berbagai rahasia akan hakikat alam semesta hingga si Murid akan merasakan manisnya Iman. Inilah hakikat yang disebut sebagai hasil dari tarekat. Hasil ini pun memiliki tiga bagian yang dapat dibaca dalam kitab Tanwirul Qulub sebagaimana yang disebutkan di awal makalah ini.

Dengan Cahaya Kebenaran tersebut, Cahaya Hakikat, maka seseorang akan semakin mantap keyakinannya karena menyaksikan bukti-bukti ilahiyah dan nubuwah yang riil, yang konkrit dan absolut.

Maka apabila demikian, seorang Murid akan segera sampai kepada tujuan dan dapat melihat bahwa sejatinya Allah sendiri yang membimbingnya sedari awal perjalanan, kenyataan akan lahawla wa la quwata ila billah.

77

Di bawah bimbingan Sang Guru Tarekat, Sang Wali Mursyid, Sufi sejati, si Murid akan terus mendaki jalan Ma’rifat yang Mulia ini dengan niat dan amal Mulia pula.

78

Ma’rifat ini pun memiliki tingkatan-tingkatan yang dikaji dalam ilmu Tauhid tingkat lanjut, seperti Tajalli Af’al, Tajalli ‘Asma, Tajalli Sifat dan Tajalli Dzat. Namun, akan terlalu panjang apabila kami jelaskan di sini. Mengenai hal ini dapat di pelajari lebih lanjut pada buku atau kajian Kitab Insan Al-Kamil karya Imam Abdul Karim Al-Jilli QS.

Maksud kami, kami hanya ingin menegaskan bahwa setelah sampai kepada tujuan, bukan berarti perjalanan beragamanya selesai. Akan tetapi si Murid tersebut akan tetap mendaki perjalanan beragama, namun beserta dengan Allah Ta’ala.

Tanpa bimbingan seorang Mursyid yang Kamil Mukamil, perjalanan ini adalah mustahil. Karena perjalanan ini dimulai dari syariat dan syariat sendiri menuntut adanya praktek, dan praktek tidak akan membuahkan hasil apabila syarat-syaratnya, atau syariatnya tidak dipenuhi.

79

Lalu bagaimana seorang Murid yang tidak begitu paham dengan syariat?

Bukankah syariat itu begitu rumit?

80

Belum lagi dalam mempelajarinya, seseorang tidak boleh berguru secara sembarangan. Apakah ada waktu untuk mempelajari itu semua? Sedangkan cabang-cabangnya begitu banyak.

81

Maka, untuk menjawab hal tersebut, bayangkanlah syariat sebagai sebuah lautan yang luas.

82

Lautan ilmu yang sangat luas, yang dapat menenggelamkan dan membinasakan orang yang tidak mampu menguasainya.

83

Tapi karena ilmu syariat ini diturunkan oleh Allah untuk manusia, maka dengan izin Allah, pastilah ada yang mengusainya, contohnya adalah Para Imam yang telah disebutkan sebelumnya.

Lalu siapa lagi selain mereka? Apakah ada? Tentu saja. Merekalah para Awliya Allah yang telah sampai kepada-Nya, yang telah berada dalam kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” QS. Yunus : 62

84

Mereka adalah juga Para Ulama Pewaris Nabi, sama seperti para para Imam Ilmu Syariat, mereka para Guru Tarekat, Guru dalam perjalanan menuju Allah Ta’ala. Disebut sebagai Ulama Pewaris Nabi Karena setiap guru tarekat yang sah pasti memiliki izin untuk membimbing, izin untuk mengajar, izin untuk menyampaikan umat kepada Allah Ta’ala, yang izin itu diberikan kepadanya oleh Gurunya, yang Gurunya juga diberi izin oleh Guru Sebelumnya, begitu seterusnya, hingga bersambung kepada Sahabat Rasulullah, hingga akhirnya bersambung pada Rasulullah SAW.

Mereka memiliki sumber yang sama dengan yang didapat oleh Para Imam Fikih, Para Imam Aqidah dan Para Imam Tasawuf serta para Sufi yang telah disebutkan pada penjelasannya sebelumnya, yaitu Rasulullah SAW.

Maka satu Guru Tarekat yang sah, sudah cukup bagi seorang Murid, dari segi sanad dan bimbingan. Karena ilmu aqidah, fikih, tasawuf, dan ilmu akhir tanda-tanda zaman sebenarnya hanyalah satu ilmu dan bersumber dari Allah. Walaupun ada Mursyid yang tidak memiliki sanad kitab-kitab tertentu dalam cabang-cabang ilmu syariat tertentu, namun Sang Murysid ini telah memiliki inti dari seluruh kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu syariat. Dan inti dari seluruh ilmu-ilmu tersebut adalah Ma’rifatullah.

85

Guru yang berma’rifat, yang telah sampai kepada Allah itulah yang disebut sebagai seorang Wali Mursyid. Wali Mursyid inilah yang berhak membimbing umat.

Bukan orang yang sibuk berdakwah kesana-kemari tapi belum mengenal Tuhannya sendiri. Maka mau dibawa ke mana Umat ini bila yang mengajaknya pun tidak mengenal Tuhannya sendiri.

Maka tugas menegakkan agama ini haruslah diserahkan kepada Wali Allah, yaitu orang yang telah dicintainya, sebagaimana di-Firmankan Allah dalam sebuah Hadis Qudsi:

“Sesungguhnya Allah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali- Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah Hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan Ibadah-Ibadah Sunnah hingga Aku mencintainya.

Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.”
(HR. Al-Bukhari)

Para Wali Mursyid inilah yang mampu dan berhak memimpin umat dalam perjalanan beragama menuju kehadirat Allah Ta’ala. Karena mereka telah mendapatkan mutiara dari dalam lautan yang luas tersebut. Yang dengan izin Allah, telah membelah lautan, mendapatkan inti saripati dari Syariat Islam itu sendiri, yaitu Ma’rifatullah.

86

Maka dalam jalan menuju akhiruddin, akhir agama, yaitu Ma’rifatullah, Para Wali Mursyid telah diberi izin untuk menegakkan metodelogi dalam beragama, untuk memilihkan ilmu-ilmu yang harus dipelajari dan diamalkan terlebih dahulu, agar para murid dapat mempelajari dan menjalankan syariat Islam sebagai fondasi tarekat Islam secara proporsional dan bertahap yang sudah terbukti membuahkan hasil.

Hasil ini berupa pancaran Cahaya Ilahi kepada batin murid sehingga terbuka berbagai rahasia gaib, yang disebut kasyaf.

Dan bila tidak bertarekat dibawah seorang Mursyid yang sah, tidak bersama Musryid yang sempurna nan menyempurnakan, tidak bersama bimbingan ruhani Mursyid yang kamil mukamil, maka kasyafnya bukanlah kasyaf Cahaya, melainkan kasyaf kegelapan atau kasyaf syaithan.Karena hal gaib belum tentu datanganya dari Allah Ta’ala.

Sedangkan salah satu kasyaf yang benar melahirkan penyaksian-penyaksian akan kekurangan akan diri sendiri dan betapa hina dan faqirnya seseorang di hadapan Allah Ta’ala. Maka dengan demikian kita dapat memahami ucapan para Sufi mengenai hal ini, terlepas dari statusnya sebagai hadis atau bukan, merupakan kajian yang berbeda:

Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu.

“Barangsiapa yang sudah mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”

Maka, kasyaf, sebagai hasil dari teori dan praktek Islam yang kaffah, yang proporsional dan bertahap, pasti akan membawa seorang pengamalnya untuk bertemu Allah.

87

Yang dimaksud bertemu Allah tentu adalah Pengenalan terhadap-Nya. Sebagaimana yang difatwakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.:

Maa ra’aytu syai’an illaa ra’aytullah qoblahu, wa fihi, wa ba’dahu

Yang artinya, “Tidaklah aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah sebelumnya, di dalamnya dan setelahnya.”

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

“Maka di mana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah.” Surah Al-Baqarah Ayat 115

88

Inilah yang dimaksud dengan ridha-Nya. Dan ridha Allah hanya kepada hamba-Nya yang ridha kepada-Nya. Ridha artinya, puas, senang. Apabila seseorang merasa puas dan senang akan kenyataan bahwa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasulullah; maka Allah juga akan puas dan senang kepada hamba tersebut.

“Ilahi anta ma’sudi wa ridhaka matslubi. Atini mahabataka wa ma’rifatak”

Setelah seorang hamba memantapkan maksudnya, niatnya, bahwa hanya Allahlah yang dia inginkan, dan ridha-Nya yang dia harapkan. Maka, barulah kemudian hamba tersebut meminta cinta-Nya dan Pengenalan kepadanya. Maka, ridha Allah itu berupa cintanya. Dan hanya hamba-hamba-Nya yang telah dicintai-Nya-lah yang akan diizinkan-Nya untuk memandang Wajah-Nya Yang Mulia, tanpa bagaimana dan tanpa seperti apa.

89

Kenikmatan Memandang Wajah Allah hanya bisa dicapai dengan melalui Thariqatullah. Dan inilah puncak dari Ma’rifatullah. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).

Dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

“Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan (pada malam purnama). Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah.”

90

Maka, nasehat kami bagi orang-orang yang menolak tarekat, janganlah kalian menolak tarekat hanya karena doktrin orang-orang yang sesat atau pandangan orang-orang yang tidak mengetahuinya, sebelum kalian mempelajarinya sendiri. Karena setelah mempelajarinya, bagaimana mungkin seorang hamba dapat menolak untuk Memandang Wajah Tuhannya?

91

Sebagai penutup, kami akan mengingatkan kembali tentang inti dari tarekat itu sendiri, yaitu peran Mursyid.

92

Peran Mursyid itu begitu penting dalam pendidikan beragama, gambaran seperti dalam cerita Nabi Musa AS. yang kala itu dikejar-kejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya hingga terpojok ke tepi lautan.

93

Kemudian Allah berfirman dalam Surat Ta-Ha ayat 77, yang artinya

94

“Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam).”

95

Kata “jalan” pada kalimat ini adalah tarekat. Mengingatkan kami pada pentingnya peran Mursyid dalam beragama. Para Mursyid itu bagaikan Nabi Musa AS. yang dengan izin Allah, mampu membelah lautan, yakni seperti para Mursyid yang dengan izin dan ridha Allah, menyusun metodelogi ilmiah dan amaliyah yang mustahil ditercipta tanpa izin Allah. Metodelogi-metodelogi itu, atau tarekat-tarekat itu laksana jalan yang kering di lautan, yakni seperti lautan ilmu pengetahuan syariat, yang lahir dan yang batin, yang seolah terlihat mustahil untuk menguasai satu cabangnya saja, apa lagi semuanya, bagi orang awam seperti kami tentu itu mustahil.

Hanya saja, Allah mengizinkan kami untuk berada di belakang Sang Mursyid yang kamil mukamil itu. Dan layaknya cerita Nabi Musa AS, kami di izinkan berjalan di atas jalan kering itu, hingga – insya Allah – ikut sampai ke daratan keselamatan. Karena itulah kemenangan mutlak yang hakiki. Sebagaimana kita dengar panggilang itu setiap hari dikumandangkan: “Hayya alal falah!”

Inilah makna dari judul makalah ini, yaitu “Membelah Lautan”.

96

Kini banyak orang yang berpaling dari kebenaran dengan kebodohannya. Hingga akhirnya Kebenaran sejati dalam agama ini terdengar asing, walaupun namanya telah masuk ke dalam setiap rumah.

Namun beruntunglah orang-orang yang terasing!

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.”

97

Semoga kita semua diberikan karunia dan rahmat-Nya untuk mencintai Allah Ta’ala, Rasullullah SAW dan Para Ulama Pewaris Nabi, terutama Yang Mulia Mursyid kita, dan diizinkan untuk mengemis cintanya, berkhidmad kepada Guru kita, di mana pun kita berada.

Karena Rasulullah SAW bersabda bahwa, “Setiap orang akan dikumpulkan bersama yang ia cintai.”

Demikian makalah ini kami buat dengan segala keterbatasan kami.

98

Mohon maaf bila ada salah kata.
Semoga bermanfaat.

Terima kasih.

Alhamdulillahi rabbil’alamin
Wa billahit taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa baraktuh

99

The End

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Husain bin Manshur al-Hallaj

Antara Pikiran dan Tenang

Pangeran Diponegoro

Kematian & Alam Barzakh (Alam Kubur)

Dalil Membakar Buhur/Dupa dalam Majelis Dzikir dan Maulid

Tarekat Khalwatiyah: Bertahan dari Tekanan Penjajah

Hanya dengan Mengingat Allah

Sulthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Cara Wushul Tercepat

Kisah Sayyidi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani (qs) Ketika Menghidupkan Orang yang Telah Mati

Adab Menziarahi Ulama

Tarekat Sebagai Jaringan Sosial

Tentang Khalifah Guru Kita

Thariqah Umum & Thariqah Khusus

Kasyaf (Terbukanya Tirai Keghaiban)

Kisah Layla & Majnun

Ketika Ilmu Salah Tempat

Tarekat Qadiriyah di Indonesia

Membelah Lautan: Pentingnya Ber-Thariqah (Transkrip)