1. Manusia di Antara Masa
Otak kita tidak dapat mengetahui masa yang masih tiada, yaitu keadaan yang belum diadakan adanya, karena tubuh kita berada di masa kini bukan di masa depan. Namun, secara saintifik, kesadaran kita pun ternyata juga tidak dapat mengetahui masa kini.
Otak kita membutuhkan waktu, walaupun hanya in a split second, tepatnya sekitar 80 miliseconds⁽¹⁾, untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh indra tubuh kita. Artinya ada delay alamiah yang menahan kita dari merasakan “masa kini”.
Maka, kesadaran kita, secara biologis, hanyalah suatu bentuk respon atas apa yang tubuh kita rasakan di masa lalu, yaitu masa yang telah tiada, masa yang baru saja mati. Jadi, bisa dikatakan bahwa kesadaran kita pun terjebak dalam “kematian”, yakni masa lalu. Oleh karena itu, “sekarang” yang kita alami saat ini, bukanlah “sekarang” yang sebenarnya.
Nah, apabila yang kita respon hanyalah kejadian di masa yang telah tiada, lalu, di manakah masa sekarang bagi kesadaran kita?
Masa sekarang adalah masa yang bersih dari masa lalu dan masa depan. Dan kita semua pernah berasal dari sana.
Ingatkah kita, pada masa kita belum memiliki ingatan? Ketika kita belum dilahirkan. Ketika kita belum memiliki masa lalu dan tidak tertahan oleh masa depan?
Tentu tidak. Karena pada masa itu tubuh kita tidak ada di sana untuk mengetahui apapun. Lagipula, secara biologis, kita hanya mampu mengetahui kejadian di masa lalu, walaupun kejadian tersebut hanya berjarak 80 miliseconds, tapi ia tetaplah masa lalu.
Tapi itulah masa sekarang yang sebenarnya. Masa yang tidak dapat ditembus oleh ingatan dan tidak dapat diraih oleh indra. Masa di mana kita tiada.
Karena masa yang lalu telah tiada (mati). Dan masa depan masih dalam keadaan belum dihidupkan (mati).
2. Tuhan⁽²⁾ Nyata di Masa Kini
Tuhan memiliki Sifat Abadi, Dia tidak pernah mati.
Tuhan Ada dan Nyata di masa kini. Memang, kita tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui masa kini dan mengingatnya, tapi Tuhan Mengetahuinya dan Tuhan Mengingatnya.
Tuhanlah solusi dari keterjebakan manusia di antara masa. Karena hanya dengan Ingatan-Nya lah, yakni hanya dengan Dzikir⁽³⁾-Nya, kita bisa berada di masa kini.
Maka dikatakan bahwa seorang Sufi adalah “anak waktu”. Yang artinya adalah bahwa seorang Sufi adalah seseorang yang hanya hidup di masa sekarang. Seseorang yang hidup dengan Ingatan Tuhannya.
Masa lalu bukanlah kenyataan, karena ia telah tiada.
Masa depan bukanlah kenyataan, karena ia juga masih tiada.
Kenyataan hanyalah masa kini. Masa yang selalu kini, tanpa berlalu dan menunggu.
Maka, Kenyataan adalah kekinian yang utuh, yakni Keabadian itu sendiri. Dan hanya dalam Keabadian, Kehidupan yang sebenarnya berada, yaitu di sini, saat ini.
⁽¹⁾ 80 miliseconds adalah kisaran waktu tercepat yang dibutuhkan saraf untuk mengantarkan sensory information hingga mencapai otak manusia. Diambil dari top speed impuls saraf manusia, yaitu 240 mph (402 km/h), sedangkan mayoritas kecepatan impuls saraf manusia lebih lambat. Maka, “80 miliseconds” hanyalah a figure of speech, sebuah kiasan yang didapat dari sebuah kajian ilmiah, yang mengesankan akan kedekatan Tuhan dan manusia, walaupun kedekatan tersebut tidak akan mampu terlukiskan oleh apapun, kecuali oleh-Nya. Penjelasan ilmiah secara kasual tentang 80 miliseconds: https://youtu.be/BTOODPf-iuc
⁽²⁾ Tuhan adalah entitas yang independent terhadap segala sesuatu, namun segala sesuatu dependent kepada-Nya. “Tuhan” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “tuan”.
⁽³⁾ Dzikir: Ingatan