Bahagia Mengamalkan Ajaran Islam; Catatan YM. Abu Tentang YM. Ayahanda Guru

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
10 min read

Dilansir dari: jatman.or.id

Foto: Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH. adalah Mursyid Penerus Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Prof. Dr. H. SS. Kadirun Yahya

YM. Ayahanda Guru (Prof. Dr. H. SS. Kadirun Yahya-red.) pernah berkata, “Tidak ada masyarakat lagi di dunia ini bagi kita yang begitu indah, begitu akbar, begitu mesra, melainkan masyarakat yang dilandasi dan dibina dengan dzikrullah,” dan untuk mewujudkan hal itu mau tidak mau kita harus menjaga akhlak atau perilaku kita di samping tetap menjaga dan mengintensifkan amalan dzikrullah kita. Dalam kaitan ini YM Ayahanda Guru menegaskan kurang lebih sebagai berikut:

“Kalau perilaku tidak dipelihara, ia akan menghancurkan, memporak-porandakan, membawa kita kepada mereka, dan hablumminannas akan hancur, yang akan merusak pula hablumminallah, karena hablumminallah dan hablumminannas berpengaruh satu sama lain timbal balik. Oleh sebab itu kedua-duanya harus sangat perlu kita jaga dan kita perlihara.

Allah SWT juga berfirman: “Dihinakan manusia itu di mana mereka berada, kalau mereka tidak memelihara Hablumminallah dan hablumminnas.” Oleh sebab itu, sejak dahulu Ayah telah berkata dan berfatwa: jagalah selalu mulutmu, jangan berbicara yang lain selain daripada mengagungkan dzikrullah atau memuji Allah SWT, memuliakan Rasulullah dan segala guru-guru kita dan jika berkata, katakanlah yang bermanfaat, yang kreatif, jangan utarakan syakwasangka, gunjing, iri hati, dendam kesumat. Jangan lepaskan mulut engkau begitu saja, yang akan menggores dengan tajam dan melukai saudara-saudaramu ke sana kemari, menikam ke sana ke mari dan akhirnya merusak masyarakatmu sendiri.

Foto: Prof. Dr. H. SS. Kadirun Yahya bersama Umi, anak, menantu, cucu dan sanak keluarga.

Dalam kaitan ini pula saya mengajak untuk bersama-sama merenungkan sebuah kisah, sebuah fenomena, yang berlangsung katakalah lebih dari seribu tahun yang lalu, sebuah kisah nyata tentang suatu masyarakat yang keadaannya sungguh-sungguh luar biasa, sungguh-sungguh mengagumkan, dan sungguh-sungguh mempesona. Siapapun yang melihat masyarakat itu pasti merasakan hal yang sama, tidak hanya kawan, orang-orang yang menyatakan dan memaksakan diri sebagai musuhpun bahkan tidak sanggup untuk mengingkari fenomena menakjubkan yang mewarnai seluruh keadaan masyarakat itu. Benar-benar sebuah masyarakat yang ideal. Masyarakat yang menjadi idaman setiap orang yang merindukan kehangatan kelompok, kedamaian hidup bersama, ketulusan bersaudara dan bersahabat, dan tentu juga kesuksesan dan kebahagiaan yang nyata, baik individual maupun kolektif.

Individu-individu masyarakat itu terdiri dari orang-orang yang selalu bersuka cita, selalu bergembira, penuh dengan semangat. Kehidupan mereka selalu diwarnai secara bergantian oleh syukur dan sabar. Jika keberuntungan yang datang, mereka bersyukur, dan jika musibah yang menimpa, mereka bersabar. Semua keadaan yang melekat pada diri mereka benar-benar membuat takjub orang-orang yang melihatnya.

Dalam menjalani hidup keseharian, senyum tulus selalu menghiasi wajah-wajah mereka. Senyum yang menyiratkan kasih sayang. Persahabatan dan persaudaraan. Tiada senyum seindah senyum mereka. Jika seorang mengalami kemurungan karena suatu masalah, maka yang lain segera menghampirinya dengan penuh empati dan kasih sayang seraya membantu menghilangkan penyebab kemurungan itu.

Tidak ada aib pada mereka, karena memang tidak seorang pun di antara mereka bersedia menceritakan aib orang lain. Kalau misalnya ada di antara mereka yang terlanjur menceritakan aib seseorang, maka yang lain segera memberinya nasehat dengan bijak dan lembut, sehingga aib tidak sempat bergerak atau menyebar lebih luas. Demikian pula, kalau ada yang bergunjing, maka yang lain segera menghentikannya dengan masehat-nasehat yang sejuk.

Foto: Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq Fajduani (qs.), Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Tidak mengherankan apabila semua aspek kehidupan dalam masyarakat itu berjalan dengan lancar, benar-benar lancar, perdagangan dan pertumbuhan ekonomi berkembang pesat karena kerja keras, kedisplinan, kejujuran dan amanah selalu menghiasi perilaku mereka. Lingkungan pun tampak sangat bersih, karena mereka sudah terbiasa berlomba-lomba berbuat kebaikan. Membersihkan tempat-tempat dan fasilitas-fasilitas umum telah menjadi kewajiban bagi setiap orang di antara mereka. Siapapun yang menemukan sampah atau duri di jalan, pasti langsung memungutnya, tanpa perlu lagi perintah atau peringatan.

Dan kalau ada perselisihan pendapat di antara mereka, maka perselisihan itu selalu diselesaikannya dengan cara-cara yang indah, penuh dengan kasih sayang. Perselisihan pendapat tidak pernah berakhir dengan pertengkaran, apalagi dengan kebencian dan permusuhan yang berujung pada perpecahan.

Perpecahan tidak pernah menyentuh apalagi menerobos benteng persatuan mereka. Cinta dan kasih sayang telah membuat individu-individu masyarakat itu hidup dalam persatuan yang memukau. Sebuah persatuan yang melahirkan kekuatan raksasa, sehingga musuh pun tidak pernah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya untuk mengalahkan mereka. Setiap kali terlibat dalam peperangan, masyarakat ini selalu keluar sebagai pemenang dengan kemenangan yang gilang-gemilang.

Masyarakat yang semula hanya terdiri dari segelintir orang itu dalam waktu yang relatif singkat sudah berkembang menjadi sebuah masyarakat yang benar-benar maju semua aspek kehidupan.

Masyarakat apakah itu? Itulah masyarakat Madinah di zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Mengapa mereka bisa seperti itu? Penyebab hanya satu: Mereka taat dan patuh kepada guru mereka, Nabi Agung Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Dengan ketaatan itu mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan melaksanakan pesan-pesan sang guru, pesan-pesan yang secara keseluruhan mengajarkan bagaimana sesungguhnya menjadi manusia, bagaimana cara berfikir dan bertindak dalam menjalani kehidupan ini. Di antara pesan-pesan itu adalah: ‘Sesunggunya di antara orang-orang yang paling aku cintai di kalangan kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” Pada saat yang lain Rasul berkata, “Sesungguhnya yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.”

Bagi Rasul, akhlak memang merupakan hal yang sangat penting. Beliau sendiri selain membawa misi akidah tauhid yang murni, sesungguhnya tidak diutus kecuali hanya dalam rangka menyempurnakan akhlak yang mulia. Tidak mengherankan apabila sejak awal Rasul menegaskan pesannya, “Segeralah kalian berakhlak baik, karena orang yang berakhlak baik pasti masuk surga, dan berhati-hatilah, jangan sampai kalian berakhlak buruk, karena orang yang berakhlak buruk pasti masuk neraka.”

Mengapa demikian? Karena akhlak yang baik, kata Rasul, dapat meleburkan dosa-dosa sebagaimana matahari meleburkan salju. Sebaliknya akhlak yang buruk akan menggiring ke neraka, karena Allah tidak mengizinkan orang-orang yang berakhlak buruk untuk bertaubat. Setiap kali orang yang berakhlak buruk bertaubat dari suatu dosa, ia akan terlibat lagi dengan dosa yang lebih besar. Dalam pesan yang lain, Beliau menandaskan, “Kamu tidak dapat memperlakukan orang dengan kekayaanmu, tetapi kamu harus memperlakukan mereka dengan akhlakmu.”

Dan pesan-pesan Rasul tentang akhlakul karimah ini banyak sekali. Mengenai kejujuran, misalnya, beliau berpesan, “Kamu harus jujur karena kejujuran menuntut kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun ke surga.” Sedangkan mengenai kedermawanan, Beliau berpesan “Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan Surga, dan dekat dengan manusia.”

Pesan-pesan luhur lainnya dari sang Rasul adalah “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik, atau (kalau tidak mampu hendaklah ia diam.”

Beliau berkata, “Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama muslim; ia tidak boleh menganiaya saudaranya dan tidak boleh membiarkan saudaranya teraniaya.”

“Allah akan senantiasa membantu seorang hamba selama ia mau membantu saudaranya.”

“Muslim adalah yang orang-orang muslim lainnya bebas dari keburukan lisan dan tangannya.”

Ketika seseorang meminta nasehat kepada Rasul, Beliau hanya mengeluarkan satu kalimat yang diulang-ulangnya sampai beberapa kali “Jangan marah … jangan marah … jangan marah!”

Foto: Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq Fajduani (qs.), Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Semua pesan Rasul di atas dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh para sahabat yang tiada lain adalah murid-murid Beliau. Perilaku sang guru pun menjadi kurikulum tersendiri bagi mereka. Setiap orang dari mereka selalu berusaha meneladani perilaku agung sang Rasul. Beliau adalah figur yang sangat penyabar, sedemikian sabarnya sehingga mereka tidak pernah melihat Beliau marah. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang sehari-hari hidup bersama Rasul sebagai khadam pernah bercerita:

“Aku menjadi pelayan Rasulullah SAW selama 10 tahun, belum pernah dia mengecamku, belum pernah memukulku dengan satu pukulan pun, tidak pernah membentakku atau bermuka masam kepadaku. Bila aku malas melakukan apa yang diperintahkannya, dia tidak memakiku. Bila salah seorang di antara keluarganya mengecamkan, dia berkata: Biarkan dia ! Pernah aku berpura-pura untuk satu keperluan dan menolak perintahnya. Aku berkata, “Tidak mau pergi,” Padahal dalam hatiku aku berniat untuk pergi seperti yang diperintahkannya. Ketika aku keluar, aku menemukan anak-anak sedang bermain di pasar, aku bergabung bersama mereka. Tiba-tiba Rasul memegang kepalaku dari belakang. Dia tersenyum dan berkata, “Hai Anas, Pergilah ke tempat yang kuperintah.” “Baik ya Rasul Allah,” kataku sambil pergi.

Dengan meneladani sang guru, individu-individu masyarakat Madinah merupakan orang-orang yang rendah hati, mudah memaafkan kesalahan, tidak pendendam dan menghargai orang lain. Mereka selalu bekerja keras, disiplin, patuh kepada peraturan, dan selalu mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka bukan orang-orang yang malas atau berpangku tangan, mereka bukan tipe orang-orang yang menghabiskan waktu dengan bergunjing dan berprasangka. Mereka juga bukan orang-orang yang sombong, Sebab, dengan kesombongan mustahil terwujud persatuan dan kesatuan yang berintikan kerendahan hati. Mereka juga bukan tipe orang-orang yang suka mengeluh dan mencari-cari alasan-alasan. Pada intinya, individu-individu masyarakat Madinah tidak hanya mengandalkan hablumminallah yang berintikan dzikrullah melainkan juga mereka bahkan telah berhasil memperkukuh hablumminnas dan kualitas yang juga menakjubkan dengan menyempurnakan keislaman mereka dengan akhlakul karimah.

Jadi, dengan pribadi-pribadi yang selalu patuh kepada pesan-pesan guru dan selalu meneladani perilaku sang guru, itulah masyarakat Madinah terbentuk, sehingga menjadi seperti yang dikenal sejarah. Begitu indah, harmonis dan menakjubkan. Sebuah masyarakat yang unggul dalam semua aspek, sedemikian rupa sehingga dalam perkembangannya pun berhasil mencapai prestasi yang gilang-gemilang dalam berbagai aspek kehidupan, mereka juga bahkan berhasil mengalahkan dua imperium raksasa yang pada saat itu tidak pernah terkalahkan: Romawi  dan Persia. Dan memang begitulah konsekuensi logisnya bila manusia atau masyarakat taat kepada persan-pesan Muhammad Shallallahu ‘alahii wa sallam atau pesan-pesan Islam yang tiada lain adalah tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala.

“Andaikata semua anggota keluarga kita tiba-tiba berhenti jadi pengeluh dan berubah menjadi orang-orang yang bersyukur dan penggembira … andaikata mereka semua tiba-tiba menjadi orang-orang yang sangat betanggung jawab, disiplin, dan suka bersedekah, sehingga ketika tangan kanan berkarya dengan kebaikan tangan kiri tidak mengetahuinya… andaikata mereka semua tiba-tiba berubah menjadi rajin  shalat, rajin berzikir, sangat suka memakmurkan masjid dan bahkan sangat santun kepada tetangga … andaikata mereka semua tiba-tiba berubah menjadi dermawan, berprinsip tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, dan dalam kurun waktu yang bersamaan mereka memulai kehidupan sehari-hari sebelum shubuh serta selalu berpartisipasi dalam membersihkan rumah, peralatan makan, dan lain sebagainya … ya, andaikata mereka semua tiba-tiba menjadi seperti itu … bagaimana  perasaan kita ? Bagaimana kira-kira masa depan keluarga kita?”

Saya yakin kita semua pasti gembira, pasti senang dan pasti bahagia. Sebab, memang itulah yang selalu kita impikan. Di antara fitrah kita sebagai manusia adalah menyukai kebaikan-kebaikan. Kita akan merasa senang apabila keburukan yang ada di hadapan kita tiba-tiba berubah menjadi kebaikan, dan kita akan merasa terganggu apabila yang terjadi sebaliknya, apalagi semua itu berkenan dengan keluarga kita, dengan anak-anak kita, dengan istri-isteri atau suami-suami kita.

Saya juga yakin dan tentu kita semua juga yakin, jika keluarga kita tiba-tiba berubah menjadi orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan-kebaikan seperti yang kita khayalkan tadi, niscaya yang menjadi kemudian adalah berlakunya janji-janji Allah. Masa depan mereka pasti cerah, penuh dengan kebaikan-kebaikan juga. Mereka benar-benar akan sukses dan bahagia dengan izin Allah ‘azza wa jalla. Sebab, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan oleh mereka. Mereka pasti mengalami apa yang dijanjikan Allah dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berbuat kebaikan-kebaikan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Mereka mendapat pahala di sisi Allahnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 277).

Persoalannya sekarang adalah bagaimana khayalan kita tersebut benar-benar menjadi kenyataan? Ya bagaimana caranya agar semua anggota keluarga kita berubah menjadi baik seperti yang kita khayalkan sehingga masa depan mereka cerah.

Tidak ada cara yang lebih efektif dengan dari cara ini: mulai dari diri sendiri, dan inilah yang dimaksud oleh firman Allah dalam surah at-Tahrim ayat ke-6: “Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Kalau kita menginginkan perubahan pada keluarga kita, pada anak-anak kita, pada isteri-isteri atau suami-suami kita. Maka mau tidak mau kita harus memulai perubahan itu terlebih dahulu pada diri kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat mengubah orang lain, bahkan meskipun mereka adalah anak-anak kita, Jika kita tidak dapat mengubah diri kita sendiri. Apa dan bagaimana keluarga kita sebenarnya sangat dipengaruhi oleh apa dan bagaimana kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan dalam rangka menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka? Atau, apa yang harus kita lakukan agar diri kita dan keluarga kita benar-benar berubah menjadi baik? Hal itu hanya dapat dicapai jika dan hanya jika kita melaksanakan Islam secara kaffah, yaitu dengan tetap melazimkan dzikrullah agar Allah tetap ada di dada kita … agar Allah tetap beserta dengan kita … dan untuk itu kita harus tetap rajin suluk, rajin wirid, ,rajin berubudiyah, dan kemudian semua itu kita tindaklanjuti dengan peningkatan akhlakul karimah, seperti kerendahan hati, kejujuran, ketulusan, kesabaran, tidak marah dan tidak pendendam dan lain sebagainya, Sedemikian rupa sehingga yang kita khayalkan benar-benar menjadi nyata dihadapan kita.

Namun begitu, apa yang saya sampaikan ini hendaknya jangan menjadi beban yang memberatkan. Membentuk diri dan keluarga seperti wujud yang kita khayalkan tadi juga tidak perlu dianggap sebagai beban, apalagi sebagai penderitaan atau pembatasan kemerdekaan. Membentuk diri dan keluarga seperti itu justru harus dipahami dan diyakini sebagai pembebasan menuju kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan yang disertai berkah dan ridha Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Firman Allah Jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka tapi justru menyuruh kita secara tegas agar menghindarkan diri kita dan keluarga kita dari penderitaan itu sendiri. Setiap penderitaan adalah neraka. Dan neraka semacam itu sudah dimulai dari sekarang, yaitu ketika kita memandang perintah-perintah Allah sebagai pembatasan kemerdekaan.

Foto: Prof. Dr. H. SS. Kadirun Yahya bersama Umi dan ketiga orang putranya: Buya Iskandar Zulkarnain, Abu Abdul Khalik Fajduani dan Buya Ahmad Farki yang kelak meneruskan kemursyidan beliau.

Kita semua perlu menyikapi semua persoalan dengan suka cita, dengan riang dan gembira, apalagi berkenaan dengan perintah-perintah Allah. Jangan pernah kita membiarkan “Pandangan-pandangan yang salah tentang Allah tumbuh subur dalam diri kita. Kita hadir di dunia ini untuk menjadi Khalifatullah fil ardh, untuk menjadi wakil Allah di muka bumi, di samping juga untuk menjadi “hamba”-Nya. Ini benar-benar merupakan kedudukan yang sangat mulia yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, kita harus bersuka cita, harus selalu bergembira, sebagai manifestasi rasa syukur kita kepada Allah.

Oleh karena itu, sekali lagi, tidak dapatkah kita membayangkan, jika semua anggota keluarga kita tiba-tiba secara sadar begitu taat kepada perintah-perintah Allah, begitu gemar menjalankan sunah Rasul-Nya, kemudian terjadilah suasana yang indah di mana kemurungan, kesedihan, kegelisahan, ketakutan, tiba-tiba serentak menghilang dari diri mereka dan kemudian semua orang di sekeliling kita serentak menjadi lebih terbuka, jujur, bersih dan berfokus untuk mengelola kehidupan yang islami yang kemaslahatan dunia akhirat dengan penuh semangat dan riang gembira … di mana semua itu terwujud karena kita sendiri telah sadar dan telah memulai perubahan itu dari diri sendiri terlebih dahulu … maka bagaimana perasaan kita?

Harapan kita sebenarnya hanya satu, yaitu marilah kita berlomba-lomba untuk mencintai Tuhan di atas segala-galanya. Mencintai Tuhan itu harus diwujudkan dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya. Sebab, dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Katakanlah (kepada mereka hai Muhammad): ‘Jika kami (benar-benar mencintai Allah, ikuti aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu.”

Semua firman Allah Pasti benar dan karena itu kita semua harus meyakini kebenaran firman itu. Kita harus yakin bahwa dengan mencintai Tuhan seperti itu, maka Tuhan pun pasti mencintai kita dan ridha kepada kita. Kalau Allah sudah mencintai kita dan ridha kepada kita, adalah di dunia ini yang lebih indah dari hal itu? Tentu tidak ada. Kecintaan dari ridha Allah kepada kita adalah segala-galanya. Dengan kecintaan dan ridha Allah itu tidak ada lagi yang sanggup meresahkan kita atau yang mengkhawatirkan kita, sehingga kitapun akan benar-benar merasakan kelezatan iman di dalam dada kita.

Oleh karena itu, jangan pernah bersedia berbeda pendapat dengan Allah, jangan pernah mempedomani selain pedoman yang berasal dari Allah, dan jangan pernah mendustakan ayat-ayat Allah. Mari kita sama-sama berubah. Mari kita sama-sama berjuang untuk keagungan dzikrullah seperti yang diamanatkan oleh Ayahanda Guru dan Buya. Dan mari kita sama-sama meningkatkan kualitas ubudiyah kita dan sekaligus memperbaiki akhlak kita. Semua itu pasti menyenangkan … benar-benar menyenangkan!.

Dalam kaitan ini, marilah kita sama-sama merenungkan, menghayati dan kemudian mengamalkan, Firman Allah dalam Surah al-A’raf ayat ke-96: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”[]

Sumber: Biografi Prof. Dr. H. Kadirun Yahya

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Ilmu Dirasah dan Ilmu Wiratsah

Tarekat Sanusiyah: Gerakan Spiritual Kebangkitan Libya

Adab Mencari Ilmu (Tasawuf)

Cara Mudah untuk Masuk Surga

Istiqamah-lah Sampai Engkau ke Tahap Cinta

Mengenal Bisikan Dalam Jiwa

Aneka Kunci di Kehidupan Dunia dan Akhirat

Shuhbah Membangun Mahabbah

Memperbaiki Diri Melalui Mursyid Sejati Thariqah

Khauf – Takut Kepada Allah

Kurun 15: Doa YM. Ayahanda Guru

Mengapa Depresi? Depresi & Cara Mengatasinya

Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi

Definisi Mursyid

Kabar Gembira Bagi Mereka Yg Banyak Berdzikir

Tentang Allah

Tasawuf sebagai Legitimasi Politik dan Sumber Kesaktian

Bahagia Mengamalkan Ajaran Islam; Catatan YM. Abu Tentang YM. Ayahanda Guru