Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam

Facebook
WhatsApp
Copy Title and Content
Content has been copied.
6 min read

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki as-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili – pendiri Tarekat Syadziliyyah – sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan”: “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu Hasan as-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding.” Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariyah, seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariyah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf dan para Auliya’ Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Latho’iful Minan”: “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursi mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariyah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat Jibril telah datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi Saw dan mengatakan: “Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka.” Dengan bijak Nabi Saw mengatakan: “Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka.” Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini.”

Pada akhirnya Ibnu Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqih sampai bisa memadukan fiqih dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Ibnu Atho’illah menjadi tiga masa :

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariyah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariyah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau.” Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syari’at menentangnya.”

Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Syaikh Abu Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya terhadap ulama’ tasawuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil tarekat langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “Apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abu Abbas al-Mursi? Setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatinya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majelisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku.”

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf, hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meninggalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru. Dalam hal ini Ibnu Atho’illah menceritakan: “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan: “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tarekat kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?” Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tarekat kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga.”

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang Shiddiqin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka.” Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah.”

Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariyah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ia membedakan antara uzlah dan khalwat. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwat. Dan khalwat dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, khalwat adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk berkhalwat adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Syaikh Abu Abbas al-Mursi tahun 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tarekat Syadziliyah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariyah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di al-Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus shalih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan.” Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang shalih, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakikat dan orang-orang ahli tarekat.” Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriyah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawuf, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-Syafi’iyyah al-Kubro”. Sebagai seorang sufi yang alim, Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqih, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibnu Atho’illah

Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib ad-Durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…” Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu Atho’illah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka.” Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibnu Atho’illah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim as, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya: “Siapa saja yang kamu temui?” lalu si murid menjawab: “Tuanku… saya melihat tuanku di sana.” Dengan tersenyum al-Arif Billah ini menerangkan: “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.”

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Stay inside the oasis.

Tetaplah berada di dalam oase.

Fatwa Yang Mulia Ayahanda Guru: Pelajari Syari’at (Fiqh, Tauhid, Tasawuf)

Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Sejarah Tarekat Idrisiyah

Dimensi Kemanusiaan Sufisme dan Thariqah

Keutamaan Mencium Jari Jempol dan Mengusapkannya ke Mata saat Adzan

Martabat 7

Tingkatan Wali Allah

Mustahil Bersyukur

Semua Indah pada Waktunya

Tarekat Chisytiyyah – Citarasa Spiritual Khas India

Mengapa Kita Melakukan Dzikir Setiap Minggu?

Manaqib Syaikh Baha’uddin Naqshbandi

Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqh Tahawwulat

Ketika Allah Menghendaki Hamba-Nya Menjadi Wali

Jadilah Engkau Bumi, Agar Padamu Tumbuh Mawar

Ketika Disebut nama Kekasih-Nya, Rahmat Allah Turun

Tidak Ada Tasawuf Tanpa Syariah

Husain bin Manshur al-Hallaj

Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam