Ada kalanya seorang murid ingin menjumpai untuk bersilaturahmi ataupun mengambil ilmu dan berkah dari ulama, akan tetapi terkadang ada niat ataupun bisikan hati yang berbeda yang bisa mengotori keberkahan dari pertemuan tersebut. Tersebutlah kisah di dalam kitab Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hada’iq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiyah oleh Syaikh ‘Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafie;
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani di usia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Sa’id Abdullah Ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas. Suatu saat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani beserta kedua temannya sepakat untuk mengunjungi seorang wali Allah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamadani (440H – 535H). Beliau adalah murid dari Syaikh Abu ‘Ali al-Farmadhi dan guru dari Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (Masyayikh Tarekat Naqsyabandiyah). Kepada Syaikh Abdul Khaliq inilah dinisbahkan ‘amalan khatam khwajagan. Syaikh Yusuf al-Hamadani dikenal sebagai al-Ghauts. Al-Ghauts adalah seorang ahli ibadah yang shaleh, wali Allah yang tinggal di pinggir kota. Namun beliau dikunjung banyak orang.
Sebelum berangkat, Ibnu as-Saqa dan Ibnu Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dari ziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata, “Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.” Kemudian Ibnu Abi Usrun juga berkata, “Aku akan ajukan pertanyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.” Akan tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibnu as-Saqa dan Ibnu Abi Usrun kepada beliau, “Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?” Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Aku berlindung dengan Allah dari mempertanyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil barokah darinya.”
Kemudian berangkatlah tiga sahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamadani al-Ghauts. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghauts, beliau meninggalkan mereka beberapa waktu. Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamadani al-Ghauts keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka, dan berkata, “Wahai Ibnu as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian.” (Syaikh Yusuf al-Hamadani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, “Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusuk mu.”
“Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasalahan ilmiah, jawabnya adalah demikian.” Beliau, Syaikh Yusuf al-Hamadani lalu menjelaskan jawabannya beserta nama kitab yang membahas persoalan itu. “Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.” ujar beliau.
Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamadani al-Ghauts melihat kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, lantas berkata, “Wahai anakku Abdul Qadir, engkau diridhai Allah dan Rasul-Nya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu inginkan Insya Allah akan tercapai. Aku melihat bahwa engkau nanti akan berkata “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali”.
Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghauts. Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja kaum Nashrani. Penduduk negeri telah sepakat bahawa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibnu as-Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka. Maka berangkatlah Ibnu as-Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Sesampainya Ibnu as-Saqa di negeri kaum Nashrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibnu as-Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (Nashrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nashrani.
kemudian Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan raja Sultan as-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.
Sedangkan Syaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah juga di sisi manusia, hingga sampai suatu hari beliau berkata, “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali.” Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu.
Demikian kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana berkah yang didapat oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang menjadikannya seorang Sulthan al-Awliya di jamannya. Mudah-mudahan kita bisa mencontoh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani untuk menjaga ADAB ketika bertemu dengan seorang Ulama.