Syaikh Abdur Qadir al-Jilani adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tarekat Qadiriyah. Diantara tulisan Beliau antara lain kitab Al-Fath Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat Beliau tercatat tahun 561 H, bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, Beliau masih keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Talib ra. Nama lengkap Beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Jumlah karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani banyak sekali:
Dari Syaikh Abil Abbas Ahmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jili:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majelis Syaikh Abdul Qadir al-Jilani beserta murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majelis itu pun berlari tunggang langgang ketakutan. Tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular itu naik ke lehernya. Namun, Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan Syaikh dan ia seperti bicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada Syaikh tentang apa yang telah dikatakan oleh ular itu. Menurut Beliau, ular itu berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Pada suatu hari, ketika Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majelis, seekor burung terbang di atas majelis sambil mengeluarkan satu bunyi yang mengganggu majelis itu. Maka Syaikhpun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu jatuh dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya. Setelah melihat keadaan burung itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian Syaikh berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Dengan serta merta burung itu hidup kembali dan kemudian terbang dari tangan Syaikh. Maka takjublah para hadirin di majelis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkan-Nya melalui tangan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, pada tahun 537 H,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahwa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan berkata bahwa dia mempunyai seorang anak gadis cantik berumur 16 tahun bernama Fatimah. Anak gadisnya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas atap rumahnya oleh seorang jin. Maka Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Ketika engkau membuat garis, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya bahwa aku menyuruh engkau datang menemuinya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakuti lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak kuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang silih berganti. Dan akhirnya, datanglah raja jin dengan menunggang seekor kuda dan disertai oleh satu pasukan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan dan bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu menjawab, “Aku disuruh oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu turun dari kudanya. Kemudian raja jin itu duduk, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu menanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak gadisnya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan raja jin, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama dengan anak gadis manusia yang diculiknya.Raja jin bertanya, “Kenapa engkau culik anak gadis ini? Tidakkah engkau tahu bahwa dia ini berada di bawah naungan al-Quthb?”
Jin lelaki dari negara Cina itu mengatakan bahwa dia jatuh hati kepada anak gadis tersebut. Raja jin itu pun memerintahkan agar anak gadis itu dikembalikan kepada bapaknya, dan jin dari Cina itu juga dikenai hukuman pancung. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dapat melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga bagi seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita Syaikh Abi Umar Usman dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqq al-Huraimi:
Pada tanggal 3 bulan Safar, kami berada di sisi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pada waktu itu, Syaikh sedang mengambil wudhu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan shalat dua raka’at, Beliau berteriak dengan tiba-tiba, dan melemparkan salah satu dari terompahnya dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Setelah itu, Beliau berteriak sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, melihat dengan keheranan, tetapi tidak ada seorang pun yang berani menanyakan maksud semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah datang untuk menziarahi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Mereka membawa banyak hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Ketika kami amati, kami lihat terompah itu adalah terompah yang pernah dipakai oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Kami pun bertanya kepada rombongan kafilah itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu.
Inilah cerita mereka:
Pada tanggal 3 bulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami diserang oleh perompak. Mereka merampas semua barang-barang kami dan membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagikan di antara mereka. Kami pun berbincang di antara kami dan telah mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru Syaikh Abdul Qadir al-Jilani agar menolong kami. Kami juga bernazar apabila kami selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami mendengar satu jeritan yang amat kuat, sehingga menggemparkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang melayang dengan cepat sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama, dan kami lihat satu lagi benda seperti tadi yang melayang ke arah yang sama. Setelah itu, kami melihat para perompak itu lari tunggang langgang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu, dan mereka meminta kami mengambil kembali harta kami, karena mereka ditimpa satu musibah. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka, ada sepasang terompah. Inilah terompah itu.
Telah bercerita Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Walaupun aku adalah saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tentram ataupun berpuas hati. Pada suatu hari, aku pergi menunaikan shalat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati Beliau dikerumuni oleh jama’ah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan aku mendapat tempat di depan mimbar. Di kala itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jum’at. Ada beberapa perkara yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, aku khawatir buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani turun dari atas mimbar dan berdiri di hadapanku. Sambil terus memberikan khutbah, Beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku seperti berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia, dan aku pun pergi buang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Ketika aku sedang berniat untuk shalat, tiba-tiba diriku berada di tempat semula di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang. Setelah shalat Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak kutemukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru. Pada keesokan harinya, aku meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami melewati satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada suatu kuasa ajaib yang menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ. Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Telah bercerita Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang berkumpul untuk mendengar pengajian Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Ketika Beliau sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat Beliau mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karena-Mu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik pun hujan yang jatuh ke kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, istri-istri Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kakanda dan tidak pula kakanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kakanda menyimpan rasa belas kasihan kepada anak lelaki kita, yang merupakan darah daging kakanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kakanda masih juga meneruskan pekerjaan kakanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang terjadi. Kakanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kakanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kakanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani: “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melempar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”
Maka wanita-wanita itu berkata pula, “Kalau benar kakanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kakanda, kenapa kakanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menjawab, “Wahai istri-istriku yang sedang berduka, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah dari anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku senantiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa lalu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berjalan-jalan dengan muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Mereka pun merasa letih dan dahaga. Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, muncul dari celah awan di hadapan mereka dan terdengarlah satu suara dari dalamnya yang berkata, “Wahai Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjawab, “Syari’at itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (wali-Nya).” Maka iblis pun berkata lagi untuk menguji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, “Aku mampu menipu 70 kaum dari golongan salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan keruhanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjawab, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku selamat, tetapi karena rahmat dari Allah, Pengatur sekalian alam.”