Syaikh Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Sarusyan al-Busthami lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Beliau adalah salah seorang Sulthanul Awliya, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Sadziliyah, dan beberapa tarekat lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb:” …bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiyah.”
Kakek Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Syaikh Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali.” Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “Ijinkanlah aku untuk pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku.”
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata, “Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.”
“Anakku”, jawab ibunya, “Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.”
Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah.
“Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tangaku kaku.”
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?” ibuku bertanya.
“Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.” “Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.”
Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya, “Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”
“Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.” “Jika demikian”, kata sang guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah (diartikan menghina kota Mekkah), karena itu segera ia memutar langkahnya.
Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, “Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah, niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya.” Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah mesjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu.
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
“Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya.
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan sholat sunnah dua raka’at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan: “Ka’bah bukanlah serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.”
Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah, tetapi ia tidak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. Abu Yazid menjelaskan, “Tidaklah pantas berkunjung ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja, saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.”
Tahun berikutnya ia kembali menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
“Siapakah orang-orang ini?”, ia bertanya sambil melihat kebelakang.
“Mereka ingin berjalan bersamamu”, terdengar sebuah jawaban.
“Ya Allah!”, Abu Yazid memohon, “Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.”
Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, “Ana Allah ,Laa ilaha illa ana, Fa’budni.” Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku.”
“Abu Yazid sudah gila!”, seru mereka kemudian meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan “Tuli, bisu, buta.. mereka tidak memahami.” Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi”, gumamnya, “Yang menjadi tauhid di dalam Allah… ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenung secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya.”
Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya. “Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.” Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.
“Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda.
“Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya.
“Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”
MI’RAJ
Abu Yazid mengisahkan, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluq-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku.”
Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.
Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya. Aku bertanya, “Ya Allah, apakah ini?”
Dia menjawab, “Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku.” Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitasNya.”
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Kututup telinga dari derap perjuangan. lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepadaku, “Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan.”
“Ya Alloh.. Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau.”
Allah berkata, “Oleh karena itu perhatikanlah hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu.”
“Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya.”
“Dari siapakah engkau belajar?”, tanya Allah.
“Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya”, jawabku, “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya.”
Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
“Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki”, kata Alloh. “Engkaulah yang kuinginkan”, jawabku, “Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau.”
Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia, “Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran.” “Jika aku telah melihat”, kataku pula, “Melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar.”
Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku sebuah nama dari hadirat-Nya sendiri dan berkata-kata kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah perpisahan.
“Kepuasan Kami adalah kepuasanmu”, kata-Nya, “Dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena ke-aku-anmu.”
Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu, dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya, “Siapakah yang memiliki kerajaan ini.”
“Engkau”, jawabku.
“Siapakah yang memiliki kekuasaan?”
“Engkau”, jawabku.
“Siapakah yang memiliki kehendak?”
“Engkau”, jawabku.
Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh ke-Maha Perkasaan-Nya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidakberdayaan (fana, red). Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Dan tiada pula gerak yang lebih sempurna daripada diam. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan ruhaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.
Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam. Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, sedang aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku Dia berkata, “Hamba-hamba-Ku ingin bertemu denganmu.” “Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka”, jawabku. “Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini.”
Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu.” Akupun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya. Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan, “Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku.”
Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat – itulah saat pertama aku menatap Yang Esa – bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata, “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepada-Nya.”
Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifat-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatan-Nya, dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan Dzat-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.”
Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad Saw, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?”
Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.
Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata, “Aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad.
PERANG TANDING ANTARA ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU’ADZ
Yahya bin Mu’adz – salah seorang tokoh sufi, waliyullah jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid, “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu. Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga.”, jawab Abu Yazid.
Yahya bin Mu’adz menyurati lagi, “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.”
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, “Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam.”
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu, “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.”
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu sholat Isya’. Yahya berkisah sebagai berikut, “Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang sholat Isya’. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do’anya, “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.”
Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab, “Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satupun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.”
“Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja diantara raja yang pernah berkata, “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?”, Yahya bertanya. “Diamlah!”, sela Abu Yazid, “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.
Yahya bermohon, “Demi keagungan Allah.. Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu”, jawab Abu Yazid.
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata, “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”
Abu Yazid menjawab, “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya.”
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan menuju Ka’bah di Makkah, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. “Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”, tanya seseorang kepada Abu Yazid.
“Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan, terlihat olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata, ‘Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumah-Nya'”, jawab Abu Yazid.
Hatim Tuli – salah seorang waliyullah masa itu – berkata kepada murid-muridnya, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan muridku.”
Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid menambahkan, “Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarnya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, ia adalah muridku.”
ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.”
“Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati.”
“Mengapa demikian?”, tanya si murid.
“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid.
“Apakah yang harus kulakukan?”, tanya si murid pula.
“Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya”, jawab Abu Yazid.
“Akan kuterima!. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan.”
“Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka, “Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.”
“Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Mengapa begitu?”, tanya si murid.
“Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah?”.
“Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain”, si murid keberatan.
“Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan.
“Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya.
“Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid.
“Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid.
“Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu.”
“Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam.” “Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Allah.”
Abu Yazid ditanya orang, “Bagaimanakah engkau mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?”
“Pada suatu malam ketika aku masih kecil, aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikian kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi begitu sepi?” Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit, “Istana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka-pun yang pantas menghuni istana ini.”, jawab Abu Yazid.
“Maka aku lalu bertekat untuk mendo’akan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakuku sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku, “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari berbangkit nanti dan umat manusia akan menyebutmu.
RAJA PARA MISTIK
Abu Yazid menyatakan, “Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci (Ka’bah), yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku.”
Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya, “Anakku, siapakah namamu?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid, “Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku.”
“Anakku.. Aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”, Abu Yazid menjawab.
Abu Yazid mengisahkan:
Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.
“Sejauh ini engkau memanggilku”, katanya,”Hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”
“Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu, “Dari manakah engkau datang?”
“Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan, “Berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”
Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.
MASA AKHIR
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke hadhirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah: “Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al Qur’an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do’a- do’a yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.
Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepada-Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan.
Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru, ‘Tangri-Tangri’ Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.
Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.