SHAHWU (KESADARAN HAKIKI)
Kitab: Jami’ al-Ushul fi al-awliya
Kesadaran hakiki dalam istilah tasawuf itu merupakan capaian ruhani setelah merasakan nikmatnya wushul sehingga tak lagi merindukan-Nya karena telah bertemu. Kondisi yg demikian baru dapat dikatakan benar apabila telah melalui fase syauq (merindukan) dan fase sakar (mabuk ruhani) yg biasanya disertai dengan syathahat (racauan mistis) sehingga tak lagi mengucapkan kata² yg menyatakan kerinduan (syathahat).
Tanpa sakar (mabuk ruhani) maka kesadaran hakiki belum benar. Sakar adalah fase yg benar² di alami sebelum wushul hanya saja berbeda² lamanya, ada yg sekejap ada pula yg lama bahkan hingga ajal menjemput masih tetap sakar sebagaimana di alami oleh “martir sufi” Syaikh Husein Mansyur Al-Hallaj.
Bagi sufi² Agung pewaris sejati Rasul biasanya sakar hanya sekejap sebagaimana sahabat Abu Bakar As-Shiddiq ra. karena terbimbing secara sempurna hingga mencapai shahwu (menggapai kesadaran hakiki).
AL-SHAHWU (KEBANGKITAN SPIRITUAL)
Fase paska mabuk spiritual (sakar)
Arti kesadaran spiritual/al-shahwu (kebangkitan spiritual, setelah mabuk spiritual) dari tidur panjangnya.
Dalam koridor akhlaq (fi al-akhlaq) yaitu bersihnya jiwa dan beningnya hati. Barangsiapa bangkit dari tidur panjangnya maka himmah (tekad spiritualnya) dan kepekaan sosialnya tinggi. Inilah tujuan bertarekat atau hasil akhir dzikir dan suluk.
Jika ditinjau dari akalnya maka akalnya munawwar (tercerahkan) sehingga akhlaqnya karimah yg mentarbiyah (mendidik ruhani) kepada siapapun. Sebagaimana firman Allah:
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا,
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ.
“Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (15).
tetapi kamu (orang² kafir) memilih kehidupan duniawi (16).
sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (17).”
[QS. Al-‘Alaq: 15-17]
Sirri yg jernih (shafi) atau bagian rahasia di dalam hati merupakan tempat beraudiensi seorang hamba dengan Sang Pencipta sebagaimana hamba-Nya Nabi Musa as. dan para ahlus shafa.
Kondisi hati akan tercermin dalam perilaku seorang hamba. Jika jiwa seorang hamba bersih dan hati bening maka senantiasa bersama Allah.
“kana Allah wa la syai’ maahu (kaidah tauhid)”, apabila benar telah bersama Allah maka lenyaplah kedirian rendahnya.
Pada koridor ushuluddin, shahwu bermakna terhibur dari efek aktivitas makhluk karena telah menghadap Al-Haq dan tertarik pada rasa jadzbah kepada-Nya sebagai refleksi dari kuatnya keintiman hubungan spiritual.
Pada koridor adwiyah, al-shahwu merupakan pancaran kejernihan aqal sebagai lanjutan dari hati bersinar oleh cahaya kesucian ilahi (nur qudus).
Sedangkan pada koridor “kondisi batin/ ahwal”, al-shahwu bermakna kedamaian batin karena kuatnya cinta yg menghibur akibat memperhatikan Sang Kekasih.
Sedangkan pada koridor/wilayah kewalian, al-shahwu mengandung makna kebeningan agung karena bahagia dan bertemu Dzat Yang dirindukan. Inilah akhir fana’ yg ditandai dengan lenyapnya dimensi kemanusiaan kemudian masuk maqam baqa’. Bai’at murid dalam fase ini adalah bai’at bittarbiyyah sehingga akan mendidik siapapun bahkan wali pun akan dididik untuk meningkatkan derajat kewaliannya.
Paling akhir koridof al-shahwu adalah beningnya puncak rasa cinta dan tajamnya cecapan rasa sirrinya (kerinduan yg menyebabkan segala penyakit lenyap) karena merasakan ke-esaan berkumpulnya shifat dan asma’-Nya (Menyaksikan ika/tunggal dalam aneka [untuk murid] – syuhudul wahdah fil katsroh, dan menyaksikan aneka dalam ika [untuk mursyid] – syuhudul katsroh fil wahdah ).
Inilah perspektif tasawuf yg membutuhkan proses ekplorasi yg lama dan tidak mudah. Wallaahu a’lam
***